Kutu Kupret (1)

5 0 0
                                    

Bagaimana rasanya jika kalian menjalani hidup seperti ini?

Kerap merasa hidup di alam mimpi, atau bermimpi saat menjalani kehidupan. Keduanya sama-sama membingungkan. Aku rasa tak hanya diriku sendiri yang seringkali mengeluh soal hidup. Kadang apa yang kita benar-benar inginkan tidak kunjung terjadi dan yang sama sekali tidak pernah kita inginkan malah terjadi. Seakan-akan semuanya yang kita jalani dalam hidup hanya seonggok mimpi belaka. Ya, seindah apapun mimpi, buat apa jika hanya menjadi mimpi. Meski percuma juga menjalani hidup yang sesungguh-sungguhnya jika tak pernah indah.

Namun, hari ini berbeda. Seolah-olah semua doaku didengar walau entah kenapa diriku malah merasa ini tidak lah benar. Karena seharusnya kami sudah berpisah.

"Ima, kita ini udah pisah, ngapain kamu mikir jalan-jalan segala macem?!" ujarku, dengan mimik masih kesakitan gegara pempek lenjer yang tadi tersendat di kerongkongan. Syukur gumpalan tepung kanji itu sudah turun ke perutku yang keroncongan.

"Apa sih pisah?!" sergahnya sambil menggerai rambutnya.

"Pisah itu Menara!" jawabku kesal.

"Yang miring itu 'kan?" timpalnya dengan wajah yang ditaburi dengan senyum bodohnya.

"Kayak otakmu!"

Wajahnya berubah masam. "Maksudku tadi siapa yang pisah?"

"Kita!" jawabku sambil menunjuk dirinya dan diriku secara bergantian.

Ima menangkap tanganku. "Sekarang udah menyatu belom?" ujarnya.

Rasanya ruh ini sudah melompat dari tubuhnya, saat tahu ia sedang menggombaliku. Ya, aku kaget, kenapa Ima jadi sebucin ini. Terakhir kali, aku ingat dia ini gadis yang kaku dalam menyampaikan perasaan. Lalu, kenapa sekarang jadi blak-blakan. Benar-benar tidak beres. Benar-benar bikin stres. Entah mimpiku atau otakku yang tidak beres. Apa memang karena aku terlalu banyak minum suplemen?

***

Angin berembus menyapu penat yang melekat. Kereta bawah tanah itu baru saja berlalu beberapa detik yang lalu. Diiringi dengan deru siren kereta yang sangat familiar di telinga. Padahal seharusnya kami sempat-sempat saja, kalau bukan karena tadi kelupaan membayar tagihan, sampai-sampai si Pemilik Restauran harus rela meninggalkan mimbar kerjanya hanya untuk meneriaki kami yang nyelonong pergi.

Suasana di stasiun ini tidak terlalu ramai, bisa terbilang cukup sepi karena daerahnya yang tidak berada di pusat juga. Ima duduk di bangku panjang tanpa sandaran. Ia menghela kasar, mungkin karena sudah terlampau lelah. Ya, beginilah, jadi kami harus menunggu armada selanjutnya, yang biasa datang sekitar 3-6 menit.

Aku terperanjat saat melihat wajahnya tertutup oleh rambut lurusnya. Ia menoleh sehingga tampaklah kuntilbolong—kuntilanak di siang bolong. Gadis itu pun tiba-tiba menyengir ke arahku; membuatku semakin takut saja. Tanpa aba-aba ia meniup rambutnya hingga terlihat wajahnya yang bulat sebulat tahu bulat digoreng nggak lagi dadakan.

Ima pasti merasa bosan juga, apalagi punya pacar sepertiku, pasti membosankan sekali. Aku yang dari tadi berdiri membawa kopernya yang berwarna merah atau maroon. Entahlah, aku memang buta warna kadang-kadang. Tidak seperti wanita, bisa membedakan mana hijau, hijau pastel, hijau tosca, hijau daun, kangen band, setia band, entah kenapa jadi nama-nama grup band. Intinya wanita memang terkadang lebih detail daripada pria. Contoh lain misalnya, setiap mandi wanita pasti menggunakan air. Pasti. Walau kadang ada yang pakai kembang sih. Tujuh rupa lagi. Tapi mereka juga punya berbagai jenis handuk, handuk muka, handuk, tangan, ada juga yang sampai punya handuk kaki. Kalau laki-laki kebanyakan cuma punya satu, nggak peduli habis dipakai ngelap apa, dipakai juga buat ngelap muka.

Aku pun duduk di sebelah Ima. Aku juga menghela kasar meniru perilakunya. Ima tertawa melihat diriku yang juga lelah dengan permainan dunia. Apalagi saat baru saja pantat ini menikmati nyamannya bangku, kereta yang ditunggu pun muncul di ambang mataku. Sungguh ironi.

Dengan setengah hati aku bangkit berdiri karena tak mau ketinggalan lagi. Pintu kereta sudah terbuka, tetapi Ima masih belum berdiri juga. Ia mengulurkan tangan minta dibangunkan. Tidak ada apalah memanjakannya hari ini.

Setelah Ima kuangkut berdiri, Ia langsung bergegas berlarian masuk ke dalam sebelum ketinggalan. Ima sudah di dalam, tapi ia meninggalkanku dan barang bawaannya. Setiap laki-laki pasti sudah biasa merasakan nikmatnya jadi tukang kuli khusus untuk pacarnya. Apalagi kalau punya banyak. Hmm, nikmat sekali.

Tit-tit-tit!

Rambu peringatan berwarna kuning itu mengerlip dengan bunyinya yang berisik. Pintunya pun tertutup.

>>> Berlanjut ....

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang