Rencana Tuhan (1)

4 0 0
                                    

Kesalahpahaman itu tak jua usai sampai ke meja dingin di dalam ruangan beraura panas. Aku disidang oleh beberapa guru jurusan dengan mata memicing emosi yang membara. Tepat di hadapanku kepala departemen internasional sedang duduk di kursi panasnya. Mereka sudah mengizinkan Ima untuk pulang, saat aku mengaku bahwa diriku yang memang memaksanya melakukan kejadian yang tidak senono tadi di dalam kamarku.

Tak ada pembelaan yang perlu aku jelaskan lagi kepada mereka. Tanganku gemetar saat hendak menanda-tangani surat yang ditunjukkan di hadapanku. Begitu semua selesai. Aku pun diperbolehkan keluar dari ruangan itu. Kudorong pintu berlapis kaca, lalu menjauh dari gedung dua lantai itu.

Tak kusangka Ima dan Jan tengah duduk di anak tangga, kenapa mereka mau-maunya menghabiskan waktu hanya untuk menungguku. Ima melangkah mendekat. "Gi-gimana? Kamu nggak apa 'kan?" tanya gadis itu, raut kecemasan di wajahnya benar-benar kasat di mata.

Aku tersenyum. "Nggak apa, aku cuma dikasih surat peringatan," ujarku sambil menunjukkan selembar kertas yang dari tadi aku genggam di tanganku.

Ima menarik kertas yang setengah tergulung itu, dan membaca tulisan dua bahasa yang tertulis di sana. Ia tersenyum senang ke arahku. Aku hanya menggusari rambutnya.

***

Aku menghabiskan waktu lebih lama di balkon kamarku. Memandangi langit yang biru cerah dan gunung-gunung di kakinya. Begitu tenang, hingga pikiranku hampir dibawa melayang. Seperti dejavu Jan masuk ke dalam dengan membawa dua gelas kopi hangat buatannya.

"Emang kronologi sebenernya kayak gimana sih?" tanya Jan sambil mengulur tangannya. Ia sebenarnya tidak percaya dengan pengakuanku, sebagai teman ia sangat mengenali karakterku yang tidak mungkin melakukan hal yang sembrono.

"Udahlah lu nggak bakal ngerti, semua udah lebih baik kayak gini," ujarku tanpa menjelaskan panjang lebar.

"Jadi adinda nggak boleh main ke asrama ini lagi?"

"Iya, emang pacaran harus banget di sini?" singgungku balik.

"Nggak sih, tapi dia bener-bener nggak apa kan sekarang?" Entah Jan memang banyak tanya sekali hari ini.

"Mudah-mudahan," tuturku, lalu mencoba meneguk minuman di dalam gelas berwarna putih itu.

Tak ada angin tak ada hujan, Jan menarik balik gelas kopinya di tanganku. "Kalau setiap saat harus memikirkan orang lain dalam keputusanmu, coba pikirkan, apakah orang itu memikirkanmu dalam keputusannya?" sambungnya lalu pergi meninggalkanku, tapi tidak kopinya.

***

Dalam kurun waktu satu minggu, aku sengaja tidak menemui Ima, aku juga ingin dia menyegarkan pikirannya. Mungkin kejadian itu akan terus membekas entah sampai kapan. Selama itu juga aku membereskan seluruh barang bawaanku. Tiket penerbangan pulang ke Indonesia sudah aku beli. Aku berangkat tengah malam, takut berpapasan dengan Jan yang akan membuatku semakin berat meninggalkan tempat ini.

Memang sudah jadi keputusanku, dan aku tak ingin orang-orang menghalangi langkah-langkah yang sudah aku tempuh untuk mencapai tujuan dari keputusan ini.

Aku menatap ke arah tiket Nanjing-Jakarta-Palembang yang baru saja aku dapat setelah melakukan proses check-in. Aku menoleh sejenak ke arah bandara sebelum akhirnya melangkah ke dalam barisan pengantrian untuk melakukan proses imigrasi. Aku menunjukkan paspor dan data-data yang diperlukan kepada petugas, lalu scan wajah dan jari.

Penerbanganku benar-benar lancar, tidak ditunda-tunda atau ada insiden-insiden aneh yang sering muncul di film drama atau novel-novel klise. Selama kurang lebih 12 jam lamanya dengan transit satu kali di Jakarta, aku pun tiba di Bandara SMB Kota Palembang.

Saat pertama mendaratkan kaki di kota kelahiranku ini, aku langsung minta diturunkan ke sebuah pemakaman. Aku turun dari taksi dan menutup pintunya setelah membayar tarif sesuai dengan yang tampak di argometer.

Cuaca siang menjelang sore hari itu masih terasa sangat terik. Berbeda sekali dengan cuaca di Nanjing. Aku menatap sinaran matahari yang sedikit jatuh ke arah timur, tetapi lumayan cukup menyilaukan mata. Aku pun melepas jaket saat ketiakku mulai basah sekaligus menyeka dahiku yang kian dibanjiri peluh.

"Ayah, Ibu, Feay pulang lagi," tuturku sambil mengusap-usap kedua batu nisan yang saling bersandingan. Di tengah-tengah mereka ada sepetak makam kecil milik adikku. "Kali ini Feay bener-bener pulang ke rumah, dan mungkin nggak akan pergi lagi."

Dari pos seorang penjaga kubur memperhatikanku yang sedang mencabuti-rumput-rumput liar. Ia sibuk mengipas tubuhnya dengan topi bulatnya. Memang terik di kota ini sangat lah mengerikan. Datang-datang, beberapa anak kecil dengan pakaian compang-camping menjajakan jualanan mereka. Aku pun membeli satu plastik bunga dan sebotol air.

Kutaburkan kembang-kembang itu di atas tumpukan pusara, lalu kusirami dengan air hingga tanah itu menjadi lengas sedikit dari yang tadinya kering sekering gurun pasir. "Ayah, Ibu maaf kalo aku gagal kuliahnya, tapi aku nggak bakal gagal meraih mimpiku karena harapan dan kebahagiaan kalian adalah rumahku untuk pulang," imbuhku.

>>> Berlanjut ....

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang