Jika Bisa Kembali Seperti Semula (1)

8 0 0
                                    

Sebagaimana kelima indraku rasakan. Keadaan benar-benar ganjil; benar-benar mustahil, semua terjadi di luar dugaan; di luar perkiraan. Aku menampar wajahku berkali-kali. Hingga terasa perih. Namun, aku tak kunjung sadar. Keseimbanganku buncah, jiwaku kelesah, semak hati saat merasa ini bukan mimpi, tapi kenapa bisa berubah seaneh ini? Betul-betul masih menjadi misteri. Yang tadinya malam seketika berubah siang.

Sebab tak mau gila sendiri, aku beranjak dari balkon keluar mencari Jan, lelaki itu sedang berdiri di depan kulkasmenikmati buah pare pahit favoritnya.

"Eh?! Virus Corona ke mana?" decakku.

Raut Jan berubah drastis; kerut dahinya berlipat, kedua alisnya merapat. Tampak bingung, sambil perlahan masuk dan menutup pintu. "Virus Corona apaan?" ujarnya membuatku benar-benar bingung.

"Covid-19 Jan! Masa lu nggak tau sih?! Kita diisolasi begini karena apa coba?" Aku mencoba menguraikan itu padanya.

"Diisolasi apaan?! Lu pasti minum suplemen lagi, 'kan udah gue bilang bukannya lu makin kuat, tapi otak lu makin rusak! Awas ah, minggir!" Jan mencoba menyingkirkan tubuhku yang menghalangi lajunya.

Mungkin Jan ada benarnya otakku sudah rusak. Aku sudah tidak waras. Pasalnya aku tak mengerti sama sekali kenapa semua tiba-tiba berubah seperti ini. Memang bertanya pada Jan sama saja dengan bertanya pada mantan perihal kapan balikan, tak pernah dapat jawaban yang signifikan. Aku pun menghiraukannya.

Siren dapur tiba-tiba berbunyi nyarik memecah gendang telinga, lampu merahnya kelap-kelip tanda bahaya. Aku benar-benar tidak menyadari jika asap di dapur mengepul meski tiada api. Jan benar-benar sudah ngawur. Ia meninggalkan panci sayur di atas kompor yang masih menyala.

Suara langkah kaki terdengar bergidik-gidik menaiki tangga. Penjaga asrama itu mendesak masuk. Ia muncul dengan raut cemas dan emosi yang mulai merajalela. Ia memarahi kami dengan segala kemampuan mengomel yang ia miliki. Kami seperti sedang kuliah, sebab ia mengoceh hampir satu jam pelajaran lamanya. Setelah puas dan haus, ia akhirnya pergi meninggalkan kami.

"Gua lupa matiin kompor tadi, gila untung baru ngerebus air doang," ujarnya sambil mengelus-elus dadanya yang rata. Sekejap ia memicing mata ke arahku. "Elu sih!"

Entah apa salahku.

"Gara-gara elu nih, gue jadi lupa kalo lagi masak air." Mengeluh memang sudah jadi profesi Jan. Apalagi menyalahkan orang lain memang itu bidangnya.

"Gua emang kenapa?!" semburku karena tidak terima dituding begitu.

"Lu yang buat gue makan pare ini, jadinya gue kebelet boker deh! Lu kan tau sendiri gue kalo udah boker suka lupa waktu!"

"Emang gue kok bisa nyuruh lu makan buah pare?"

"Lu nggak inget? Satu tambah satu berapa?"

"Yang gue inget terakhir gue kasih lu coklat?"

"Coklat apaan? Lu itu ngasih gua pare."

Entahlah momen seperti ini rasanya pernah terjadi. Aku benar-benar mulai sulit membedakan mana mimpi dan mana kenyataan. Karena kejadian itu aku dan Jan berniat untuk beres-beres ruang dapur yang sudah hampir menyerupai liang kubur.

Aku menyeka peluhku yang menetes saat lelah menyapu dan mengepel lantai yang penuh dengan lendir hasil tumpahan minyak dan percikan sabun. Susah sekali menghilangkannya. Sampai-sampai aku ingat kembali yang menjadi kembang api di kepala ini dari tadi.

"Eh, Jan!" celetukku membuat aktivitasnya mengerik kerak di dinding terhenti untuk sejenak. "Lu, cuma boongin gue kan tadi?" tanyaku mencoba memastikan.

"Kayaknya abis ini lu mesti dibawa ke rumah sakit deh, gue nggak ngerti lagi ini otak lu yang mengecil atau kepala lu sih yang membesar?!"

Kalau dilihat dari reaksinya, Jan benar-benar serius. Karena aku kenal dia bukan pemain film yang banyak drama dan pintar bersandiwara. Meski ia paling jago dalam mempermainkan wanita.

Namun, keadaan ini masih benar-benar terasa ganjil. Apa benar kepalaku yang membesar? Sepertinya benturan waktu itu benar-benar mempengaruhi kewarasan imajinasiku. Tapi bagaimana mungkin aku bisa sewajar ini.

>>> Berlanjut ...

Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang