Lebih Baik Jika Tidak Jatuh Cinta (2)

5 0 0
                                    

Mendengar hal itu Ima yang tengah menyiapkan ranjang tidurnya melempar pandang ke arahku. Aku sebenarnya lumayan peka, tapi isi kepalaku malah kebalikannya—aku malah berharap segera balik saja supaya bisa lekas berbaring di kasur. Dengan begitu aku bisa melek dari mimpi indah ini. Karena seumur hidupku selain mimpi basah, aku nyaris tak pernah merasakan yang namanya mimpi indah.

Memang sejak awal mampu menaklukkan hati Ima hanyalah mimpi belaka. Aku harus terbangun pada kenyataan bahwa aku bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang pria biasa yang tiada malu mencintai wanita yang luar biasa seperti dirinya. Namun, dosakah diriku mencoba untuk merasakan cinta darinya. Menjadikannya sebagai tujuan hidupku. Membawaku ke dalam kebahagiaan yang tak mungkin kudapat dari wanita lain. Ah! Sudahlah. Mimpi diriku ini menkhayalkan kisah tua bersamanya.

Ima adalah wanita sempurna, tidak hanya di mataku, tapi hampir di mata semua lelaki yang mengenalinya. Bahkan, Jan saja tak percaya saat aku berhasil menaklukan hati si Adinda. Parasnya yang cantik. Suaranya yang merdu. Tak pernah bisa aku singkirkan dari ingatanku.

Aku menyadari satu hal, jika kamu menyukai penampilan seseorang, kamu biasanya bisa menerima bagaimana pun suaranya. Tapi, jika kamu begitu menyukai suaranya, kamu harus lebih hati-hati, penampilannya bisa mematahkan ekspektasimu kapan saja. Aku pikir jatuh cinta berawal dari hal itu. Tidak peduli kamu bersama siapa, begitu waktu berlalu, kamu akan tahu. Mereka pasti begitu.

Entahlah, aku sempat bingung kenapa bisa jatuh cinta padanya. Aku tidak begitu yakin, tapi memang pada awal perkenalan aku lebih dulu memandangnya. Namun, aku baru jatuh cinta saat ia mulai berbicara. Setelah kupikir-pikir, mungkin lebih baik jika tidak jatuh cinta.

oOo

Ima, petang hari ini sangat cerah untuk dinikmati. Meskipun embusan angin terasa dingin saat menembus pori-pori. Aku masuk ke sebuah cafe. Masih dengan cafe waktu itu. Perihal liburan ke Beijing yang dipercepat minggu depan, aku jawab kapan-kapan. Sebab bagaimana pun, semua akan berakhir ketika aku bangun nanti. Kita akan kembali pisah, tak masalah seberapa nanti aku merasa rengsa.

Pelayan di seberang bar yang karib itu menanyai kenapa kamu tidak datang. Aku bergerak ke sudut ruangan, dindingnya berserakan sejumlah kenangan—sewaktu kau dan aku masih bersenang-senang. Melihatnya beberapa potongan, mendadak membuat jiwaku jadi tidak tenang.

Waktu itu mungkin memang aku yang masih terlalu naif yang beranggapan bahwa kita bisa terus beriringan sampai tujuan. Sementara, kau tak peduli jika cerita ini berakhir sampai di sini. Sekeras apapun cara aku mengembalikan, sudah terlampau hilang apa yang kau bimbang.

Orang pasti bermimpi bisa berjalan menikmati fajar dan senja bersamamu, membiarkanmu tertawa dan senyum penuh syahdu. Orang itu aku. Aku sedang bermimpi.

oOo

Aku mengeluarkan kunci dari saku jaketku, lalu membuka pintu. Entah sudah berapa lama waktu kuhabiskan di cafe tadi seorang diri. Merenung memikirkan puisi dan kata-kata untuk si Pujaan Hati. Yang jelas sampai langit tak biru lagi, awan tak lagi putih. Aku pun melangkah ke dalam, mataku langsung tertuju pada Jan yang sedang membaca buku. Aku tau buku apa yang ia baca. Buku 14 hari sebelum menikah.

"Eh, gimana?!" tanya Jan menutup bukunya.

"Apanya yang gimana?" tanyaku sambil meraih beberapa obat yang aku letakkan di atas kulkas. Aku sebenarnya menderita insomnia, tak lama setelah aku mendaratkan kaki di Cina. Berawal dari sulit tidur malam, hingga kusulitan tidur seharian.

"Adinda gimana? Sehat?" ujarnya sambil menurunkan kakinya yang dari tadi memajang di atas meja panjang.

"Kok lu tau sih?!" Aku berdecak heran, lalu meneguk beberapa pil untuk malam ini.

"Orang dari tadi siang dia nelponin aku terus nanyain lu udah dimana, gimana?" tanyanya sekali lagi, bedanya dengan senyum jahil dan alis yang naik turun hingga tampak mimik yang lebih menakutkan dari sebelumnya.

"Apa lagi yang gimana?!" ketusku, kemudian meneguk air yang baru aku tuangkan ke dalam gelas andalan.

"Masalah nikah yang kita omongin tadi siang, timing-nya pas banget kalo lu ngomonginnya sekarang," bacotnya, benar-benar tidak enak didengar di telinga.

"Palak lu pas!" tandasku, lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Aku heran kenapa playboy kayak Jan sekarang malah mikirnya udah nikah-nikah dan nikah aja. Apa karena terprovokasi oleh Uun yang sering mengiming-imingi kenikmatan birahi saat berhubungan suami-istri.

Akhirnya. Aku bisa melempar tubuhku ke atas kasur. Mungkin setelah ini aku akan terbangun dan kembali ke dunia asalku. Namun, saat hendak memejamkan mata. Entah kenapa sekarang aku malah merasa bimbang. Ketakutan.

Seolah ada rasa cemas yang tersembunyi dari balik tulang rusukmu. Cemas akan seseorang yang akan benar-benar pergi dari hidupmu. Seseorang yang mungkin kelak tak bisa kau dekati lagi. Hanya tinggal waktu hingga hal yang dicemaskan menjadi kenyataan. Karena seperti waktu yang terus berputar, lambat-laun harapan pun bisa semakin memudar.

Aku jadi sedikit menyesal. Barangkali memang jikalau ini benar-benar mimpi, tak ada salahnya juga untuk kunikmati waktu ini bersamanya. Namun, semua sudah terlambat, mataku sudah tak kuat, efek obat yang kuteguk tadi cukup cepat. Hingga membuatku terlelap.

>>> Berlanjut ...

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang