Drama Lamaran (1)

4 0 0
                                    

Hari itu aku beranikan untuk datang ke rumah Ima untuk yang kedua kalinya. Dari Jakarta kami berdua mengendarai mobil menuju Kota Palembang—tempat tinggal keluarga Ima. Karena ayahnya asli orang Palembang sama sepertiku. Di beberapa pemberhentian kami mampir untuk makan. Tanganku masih bergetar sejak dari tadi. Rasanya semakin dekat semakin gugup setengah mati.

Ima menyentuh tanganku yang terlihat sekali bergetar. Tatapannya mencoba meyakinkanku. "Aku tau surat peringatan itu palsu, Kak Jan yang ceritain semuanya," ujarnya sambil mengeluarkan kertas.

Aku membuka lipatan kertas itu. Amat tak kusangka gadis ini masih menyimpan surat peringatan buatan enam tahun lalu. Membuatku memutar balik jarum jamku kembali ke masa lalu bernostalgia.

Aku segera bangkit dari Ima saat guru-guru itu masuk tanpa mengetuk pintu. Sebuah kecelekaan itu membuat mata sipit mereka tiba-tiba melotot ke arahku. Apalagi melihat kera kaosku yang memakai ritsleting itu terbuka hingga tampak seperti ingin memakerkan dada. Saat aku sadar beringsut aku menarik ke atas, menutupnya rapat-rapat.

"Nimen zai zher gan shenme?! (Kalian di sini ngapain?!)" pekik pimpinan mereka.

Aku hanya terdiam, saat itu entah patah lidahku seolah kaku meski sekadar untuk menjelaskan kesalahpahaman. Namun, tetap aku dan Ima memilih untuk diam saat itu.

"Nimen liang ge dao wo bangongshi lai! (Kalian berdua ke kantor saya sekarang!)" perintahnya. Jan hanya menatapku sedikit tak kuasa bercampur kecewa. Ia tahu ada kejanggalan, tapi mulutnya juga memilih diam.

Selama perjalanan aku tak berani menatap Ima, ia pun sama. Kami sama-sama bingung. Meski begitu di kepala kami menyusun kalimat Mandarin yang pas untuk menjelaskan. Kemudian, kami berdua disuruh masuk ke dalam kantor. Aku mengerling kanan-kiri semua guru-guru dengan tatapan penuh pertanyaan. Mencekam.

"Bisa jelasin? Kamu bukan mahasiswa sini 'kan? Soalnya saya nggak pernah lihat kamu di sini?" tanyanya pada Ima, "kalian nggak dilarang pacaran, tapi nggak di asrama! Kalian tau peraturannya!"

Aku melirik ke arah Ima, lalu menghela tipis. Tepat saat Ima mencoba bercerita, aku memotong, "Kami bahkan nggak boleh pacaran sebenarnya."

Ima setop berbicara dan memperhatikanku.

"Kalo tidak boleh kenapa kalian lakuin?" ketus wanita yang duduk di sambil melipat kakinya.

"Aku yang maksa," kilahku, membuat kepala jurusan itu tak mampu bersilat lidah.

"Ka-kamu!" Ia beralih menghadap Ima. "Apa benar?"

Aku lagi-lagi menyilang perkataan yang baru mau keluar dari mulut Ima. "Percuma, dia perempuan paling pengertian, dia nggak bakal tega biarin aku nanggung beban itu sendiri, dia akan bicara dengan lagak mengaku, meski pada sesuatu yang nggak ia lakuin."

"Ta-tapi," tutur Ima berusaha menyela.

"Ssstt! Aku minta dia diizinin pulang sekarang dan jangan suruh balik lagi keisini, aku bakal cerita kronologinya," pintaku bersyarat.

Ima pun dibawa keluar dan diizinkan untuk pulang. Beberapa kali ia memanggil namaku. Telingaku seakan tuli kecuali mendengar suara pintu yang kembali tertutup.

"Jadi, semua ini salahku, aku siap menerima apapun itu resikonya, asalkan hal ini tidak sampai terdengar ke kampusnya. Aku tak mau beasiswanya terganggu karena kesalahanku, sebagai laki-laki aku harus bertanggung jawab," ceritaku dengan suara tegas di hadapan guru-guru yang berdiri mengitariku.

"Katamu mau cerita kronologinya?" sanggah wanita paruh baya, tapi belum menikah.

"Aku sebelumnya udah cerita!" kilahku tampak meyakinkan. Aku memang pandai berbohong, pandai sekali. Meski begitu orang-orang masih bisa merasakan kalau aku sedang menipu mereka.

Karena aku bersikeras dengan ungkapanku. Mereka mengancam akan menarik beasiswaku. Karena aku dianggap sudah melanggar tiga hal; pertama mengajak orang luar ke dalam asrama tanpa izin; kedua mengajak wanita ke dalam asrama; dan ketiga melakukan hal yang tidak-tidak di dalam asrama.

Sebenarnya aku masih diizinkan untuk melanjutkan kuliah, tidak di DO. Hanya saja darimana aku akan membiayai kuliahku. Hidupku saja bergantung dari beasiswa sekolah ini. Tidak ada pilihan lain. Kepala jurusan itu memintaku menanda-tangani surat pencabutan beasiswa.

"Apa aku boleh minta sesuatu?"

Mereka pun membuat 3 surat peringatan yang berpacu pada kesalahan yang aku lakukan. Meski tidak ada gunanya, aku cuma mengambil satu—surat mengajak orang luar ke dalam asrama tanpa seizin penjaga asrama.

"Satu lagi, aku merekomendasikan Jan untuk menggantikan posisiku sebagai Presiden Mahasiswa Internasional. Aku mengenalnya dengan baik, dia orang gigih, berprestasi. Tidak sepertiku hanya pelajar buangan, bahkan orang tuaku meninggal lebih dulu, karena tak sanggup merawatku," pungkasku, lalu melangkah pergi keluar sambil membawa dua surat di tanganku dan meninggalkan dua surat di atas meja.

Guru yang aku kenal baik itu mencegatku saat sudah di lorong koridor. "Kenapa kamu nggak jujur aja?" decaknya, guru ini memang dekat denganku wajar kalau dia tahu aku sedang berdrama. Namun, justru di balik drama ada drama.

"Aku memang pengen berhenti kuliah!" seruku, lalu kembali melangkah memunggunginya sambil melambaikan tangan tanda selamat jalan. Karena aku ingin pisah demi mempersiapkan diri untuk menikah.

>>> Berlanjut ....

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang