Kabur (2)

2 0 0
                                    

Jan memasukkan tangannya ke saku jaket, kemudian mulai menapaki satu per satu anak tangga. Karena aku memang lebih prefer untuk pergi ke atas jadinya ikut Jan, tak lupa aku menarik Ima untuk ikut bersamaku. Gadis bertangan mulus ini awalnya tidak suka mendaki. Namun, karena tukang tulis sepertiku punya hobi hiking, jadinya aku sering mengajak Ima untuk pergi naik gunung, bukit, atau bangunan-bangunan tinggi. Hingga akhirnya Ima pun terbiasa.

Jan menoleh ke bawah di mana Iqa tidak jua berkiprah dari kediamannya. "Lu lewat aja samping, kalo jodoh kita pasti bersua," goda laki-laki dengan ransel gelap itu, lalu kembali berpaling darinya.

Iqa menghentakkan langkahnya karena amat kesal dengan Jan. Entahlah melihat mereka berdua, rasanya susah memang kalau kemana-mana bawa peliharaan.

Kami mendaki melewati Sida Buzhou. Hingga sampai di puncaknya. Hal yang paling aku suka dalam mendaki yaitu setelah berada di puncak. Rasanya, proses mendaki itu ibarat kehidupan—membuat kita penasaran akan puncaknya yang bakal seperti apa. Meskipun kau lelah, asal kau tidak berhenti di tengah-tengah, seperti yang orang yakini pemandangan dari atas sudah pasti sangat indah.

Sementara, Iqa benar-benar kelelahan setelah habis menaiki ratusan anak tangga. Sesampai di atas, ia lebih dulu beristirahat, tidak peduli jika harus melewatkan panorama Beijing yang ditawarkan.

Aku suka sekali dengan ornamen atap Isatan yang tampak di mataku. Selain unik, aku juga bisa menikmati siluet pegunungan dari atas sini.

Jan pun menghampiri Iqa yang duduk di pinggiran tangga. Ia memberikan botol minumnya yang berwarna hitam. "Nih! Pasti capek 'kan?"

Iqa menengadahkan kepalanya. Sempat ragu dalam hati. Akan tetapi, ia emang benar-benar sudah haus setengah mati, lalu gadis berjilbab itu pun meraih botol dari tangan Jan. Sesaat memegangnya, botol itu ternyata kosong. Karena teramat kesal, Iqa langsung melempari Jan dengan benda di tangannya. Kurang puas. Ia mengejar Jan yang berlarian kesana-kemari seperti kucing dan anjing yang sering tayang di kartun Tom & Jerry.

Sementara aku dan Ima sibuk berdiri di pinggir pagar batu; menatap hamparan langit dan bumi yang padu. Embusan udara yang datang dan berlalu. Hening tanpa suara dan diskusi ringan tentang cinta. Bising dunia seakan tiada terasa saat tangan kami bercengkerama mesra, seolah mewakili seluruh isi hati, dan getarnya di dalam jiwa bagai tabrakan awan dengan awan yang bersua.

Kedua makhluk itu masih belum berhenti. Namun, kami tidak peduli. Hingga sepintas pikiranku dihantui. Aku pun membisikkan kepada Ima takut kedua anak itu mendengarnya.

"Beneran ga papa?" tanya Ima meragu.

"Kucing sama anjing itu harus dikurung berduaan dulu biar capek berantemnya, karena kita nggak punya kandang manusia, jadi cuma cara itu satu-satunya," jelasku. Lalu kami berdua diam-diam meninggalkan mereka berdua—pergi dari Summer Palace.

***

Kami mampir di sebuah restoran Hai Di Lao. Dulu aku pernah berjanji untuk mengajak Ima makan Bebek Peking. Hari ini lah waktu yang pas untuk membayarnya. Sebenarnya membuat Ima bahagia sangatlah mudah, ajak makan saja. Gadis ini paling bisa makan. Meski kadang sok jaim. Menu yang kami pesan pun datang, termasuk bebek peking si Menu Utama. Aku melihat bon tagihan yang diantarkannya. Cukup perih mata saat melihat deretan angkanya. Makan berdua saja sudah seperti menjamu orang satu asrama. Untungnya makan dulu baru bayar.

"Nih, kamu paling suka lumpia ini 'kan, terus daging ini juga, terus ini!" ujarku, sambil memindahkan semua itu ke dalam piringnya dengan sumpitku. Kami pun makan di restoran yang sangat terkenal se-Tiongkok—Hai Di Lao. Sudah lebih dari satu jam rasanya kami makan di restoran ini. Entah apa yang terjadi pada Iqa dan Jan aku pun tidak tahu. Kami terus melanjutkan hingga di mangkuk Ima tersisa sedikit lagi.

Ima juga menyumpit beberapa sayur dan memindahkannya ke piringku. "Aku nggak suka ini, ini juga." Ima mengambil kaleng dan meminumnya satu tegukan. "Ini juga nggak manis, kasihin kamu!" Aku hanya menyengir, mungkin inilah perbedaan laki-laki dan perempuan.

Begitu selesai, kami pun hendak balik.

"Berapa?" tanya Ima, lalu meraih bon di sisi meja. Seketika Ima pun kaget. "Mahal banget bebek pekingnya."

"Namanya juga di Beijing, btw uangku nggak cukup," ujarku.

"Yaudah aku tambahin pakai alipay-ku aja dulu," tutur Ima sambil meraih ponselnya.

"Jangan!" sergahku merebut smartpone itu dari tangannya. "Gimana kalau kita kabur aja??" hasutku sambil mengantungi telpon seluler itu.

"Nggak mungkin, suka nganeh kamu ya."

Tanpa banyak basa-basi dan penjelasan aku langsung mengucap aba-aba. "Satu-dua-tiga!" Aku menarik tangan Ima, lalu berlarian keluar meninggalkan restoran itu.

>>> Berlanjut ....

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang