Bibir Merah Jambu (1)

6 0 0
                                    

Pagi yang cerah kunikmati dari balkon ruang kamarku. Beberapa orang berlalu-lalang dengan kaki-kaki mereka atau dengan roda-roda kendaraan mereka. Burung-burung juga ikut menyemarakkan pagi itu dengan siulannya atau dengan sayapnya yang mengepak kesana kemari. Kapas-kapas putih bergerak sengat pelan, meski angin meniupnya dengan kencang.

Seseorang membuka pintu kamarku, sontak aku menoleh. Ternyata si Laki-laki kaya raya itu. Entah apa urusannya datang. Jan membawakan dua cangkir minuman hangat. Ia menyerahkan satunya padaku.

"Emang harusnya begitu," ucapnya. Jan pasti menyinggung kejadian semalam.

Aku meneguk secangkir kopi asli racikan tangan Jan. Dari aromanya saja sudah sangat khas. Laki-laki ini memang pecinta kopi. Karena baginya merokok tanpa kopi itu ibarat bagiku pempek tanpa cuka. Ada yang kurang.

"Asal lu tau aja, Fe, nggak semua anak orang kaya itu hidup bahagia, tiap manusia itu lahir dalam keadaan berbeda, mereka punya tantangan masing-masing, lu seharusnya paham ini, karena gue tau lu orang yang paling bijak dari semua temen yang gue kenal."

Entah hari itu Jan bercerita panjang lebar tentang dirinya. Bahwa dulu ia tidak benar-benar merasa bahagia sebagaimana aku membayangkan sosoknya.

Jan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, entah mungkin karena itu sejak kecil ia dianggap anak sial. Ayahnya adalah seorang rektor di salah satu Universitas di Pekanbaru. Ibunya juga bekerja sebagai pendiri sebuah instansi akademis di sana. Jan memang tidak pernah merasa kurang. Apa yang ia minta, berapapun harganya, orang tuanya jarang memberikan pertimbangan. Orang tuanya memang seorang akademisi hebat, tetapi kesibukan mereka membuat Jan merasa kurang diperhatikan.

Jan dulunya pernah masuk pesantren, tapi ia pernah mencoba kabur dan dikeluarkan dari sana. Beberapa sekolah biasa pun pernah mengeluarkan ia karena kenakalannya; mulai dari keseringan bolos sampai berkelahi.

Jan pernah hampir sekarat satu kali karena tertembak di bagian belikat selepas tawuran di masa SMA. Kaliber peluru ukuran 38 itu nyaris membuatnya meregang nyawa.

Setelah lulus sekolah ia masuk Universitas melalui jalur beasiswa. Namun, itu bukan hal yang bisa ia banggakan. Selama kuliah yang ia lakukan di kelas hanya tidur saja. Jika tidak bolos untuk pergi ke warnet. Jan tak pernah memiliki teman. Dirinya yang sangat dingin membuat orang enggan berteman dengannya.

Tanpa sadar ia sudah bolos selama satu semester. Jan pun dipanggil oleh dosen pembimbingnya hanya untuk memberitahu Jan bahwa dia resmi di DO melalui surat keluar yang bertanda-tangan ayahnya sendiri. Jan pun meninggalkan ruangan itu tanpa rasa bersalah atau putus hati. Biasa saja.

"Saya lihat nama belakangnya sama seperti nama Bapak, apakah dia anak Bapak?" tanya Pembimbing Dosen itu pada Rektor.

"Bukan," jawabnya.

Jan masih bisa mendengar perbincangan itu dari luar ruangan. Reputasi di atas keluarga. Jan berusaha tak peduli. Karena itu Jan dibawa ke rumah sakit jiwa. Melalui beberapa tes fisik dan mental oleh psikiater. Sebenarnya kondisi Jan normal, hanya mengidap autis ringan.

Semenjak hari itu laki-laki berambut ikal gondrong itu tidak diberi sangu oleh ayahnya. Jan harus mengurus hidupnya sendiri. Dengan sembarang ia melamar di berbagai perusahaan, jika tidak ia akan stres karena tak kunjung menghisap rokok. Baginya mending tidak makan daripada tidak merokok.

Memang sudah nasibnya untuk diterima di salah satu perusahaan manufaktur di Malaysia. Ia bekerja di bagian manajemen. Di situ Jan belajar banyak hal, ia paham mencari uang itu tidaklah mudah. Maka ia bekerja keras. Alhasil, atasan Jan menyukai kapasitasnya. Dalam dua minggu saja Jan sudah bisa menghasilkan uang 15 juta, belum bonus dan lain-lain.

Anehnya selama enam bulan bekerja, Jan masih belum bisa merasakan hidup yang benar-benar ia cari. Ia pulang ke Pekanbaru dan tidak kembali lagi. Dengan uang ratusan juta yang ia miliki, ia pakai untuk membiayai sekolah kedua adik perempuannya. Sisanya ia pakai foya-foya. Kelabilan di masa muda memang kadang membuat orang lupa.

Syahdan, begitulah Jan akhirnya memutuskan untuk kuliah di Cina. Setelah ia mendapat peluang beasiswa. Semenjak di sini banyak hal yang berubah dari Jan. Karena saking berbedanya aku sampai tidak percaya dengan cerita dirinya di masa lalu. Namun, aku bisa percaya pada satu hal bahwa orang benar-benar akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Pengalaman lah yang merubah mereka. Karena aku juga merasakan itu.

Mungkin memang benar adanya bahwa di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar bahagia, tanpa melalui tantangan hidup yang berat. Kita itu semua pada dasarnya sama, barangkali yang berbeda itu hanya porsinya saja. Ada yang diberi Tuhan banyak, ada yang Tuhan beri sedikit. Tinggal kita bagaimana mensyukurinya, meskipun itu sulit.

Tiba-tiba dering telpon Jan berbunyi, ia mengangkatnya, ternyata telpon dari Kepala Jurusan. Biasanya kalau telpon masuk begini ada keterkaitannya dengan departemen kedisiplinan dengan Jan sebagai koordinatornya.

>>> Berlanjut ....

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang