Arrival (2)

5 0 0
                                    

Di tengah-tengah huru-hara dalam kepalaku, aku akhirnya berbalik menghadapnya, kutatap dalam sorot mata hitamnya—bersih. Aku masih hapal ukuran mata kirinya yang sedikit lebih kecil dibanding sebelahnya. Pipinya yang bulat yang senantiasa membuat aku ingat. Aku pegang kedua bahu lembutnya, meski terasa sedikit lebih kurus dari sebelumnya. Di dalam benakku cuma ada satu, terkadang kita harus menghadapi kenyataan dari apa yang kita anggap itu kenyataan.

"Ima, ada baiknya memang kita pisah, eh maskudnya kita emang udah pisah, meski kamu ngerasa kita belum pisah, ta-tapi kita harus pisah, karena kita sebenarnya udah pisah!" Entah aku jadi bingung sendiri dengan kalimatku.

"Kamu ini kenapa tiba-tiba begini? Pasti minum suplemen lagi 'kan?! Kok ngomongnya ngawur gini!"

Astaga! Sudah kuduga, Ima pasti salah paham. Tidak ada cara lain, mukaku tidak setebal dompet Mark Zukaberag untuk menanggung rasa malu sebesar ini. Tanpa pikir panjang dan penuh pertimbangan, aku beringsut menjauh darinya.

"Kok! Kamu jahat sih sama aku, aku kan baru nyampe tau!" keluhnya, ia hanya berdiam diri, tanpa mengejarku seperti tadi.

Aku menjeda langkahku untuk sesaat, lalu saat selanjutnya aku melangkah lagi. Ingin sekali dapat segera bangun dari mimpi yang menyeramkan ini dan pulang kepada kenyataan, meskipun itu perih.

"Ih, kamu tau capek nggak sih?!" sergahnya, "capek itu makanan khas Palembang!"

Geluduk tawa di dada berasa melonjak. Bukan karena lucu sebenarnya, tapi karena ia mencoba melucu, apalagi di saat krusial seperti ini.

Aku setengah berbalik menghadapnya dengan senyum menyeringai lebar, meski tak selebar stretch mark di paha bawah. "Jauh amat capek sama pempek."

"Aku dari Indonesia ke sini apa nggak jauh?" pungkasnya benar-benar mengenai hatiku. Mungkin aku tidak amat tega untuk memperlakukannya buruk terutama di saat ia baru tiba. Alangkah baiknya kata pisah ini ditunda sementara.

Entah saat itu kami hanya saling melempar pandang dijaraki beberapa depa tangan yang mendepang. Tak lama berselang, karena keadaan kikuk membuat Ima pun jadi mesam-mesem sendiri, hingga menular kepadaku yang ikut tertawa karena melihat ekspresinya seperti menahan boker. Detik selanjutnya, Ima terkekeh keras, lalu seketika menutup mulutnya karena malu, meski wajahnya masih memerah dan ingin tertawa lebih keras. Memang kami berdua ini makhluk rada nggak jelas.

"Laper pastikan? Mau makan apa?" tanyaku.

"Makan pempek!"

"Mau cari pempek di mana? Yang ada capcai di sini, Ma!"

"Siapa suruh kamu cari? Orang aku bawa kok!" Perempuan itu menunjukkan tas coklat kecil yang ia tenteng, sambil menjelek-jelekkan muka, mentang-mentang cantik tiada dua.

Kami tidak benar-benar makan pempek. Aku masih tetap mengajak Ima mampir ke sebuah restoran untuk memesan dua piring capcai. Kuraih dua kaleng minuman dingin berisi cincau dari dalam lemari pendingin di sisi pintu masuk kaca yang transparan.

Dalam langkah menghampirinya yang tengah duduk di meja. Ima membuka kotak makan yang berisi pempek-pempekan; pempek lenjer; pempek kulit; pempek ikan; pempek keriting; dan pempek adaan. Tanpa jeda, aku tancap gas duduk dan merebut cemilan itu darinya. Bagi orang sepertiku pempek adalah cemilan. Entah di saat pagi, siang, malam, hidupku wajib diisi pempek, itu tandanya tanpa pempek aku tidak bisa hidup.

oOo

"Seperti aku yang nggak biasa hidup tanpamu, tapi itu dulu sebelum aku merubah segala kebiasaanku dan mulai terbiasa dalam membiasakan sesuatu yang tidak biasa."

oOo

"Eh, nanti libur May Day kita jalan-jalan ke Beijing yuk?! Gimana?"

Aku mendadak berhenti bereaksi, aku kira kenapa, rupanya aku tersendat pempek yang baru saja aku lahap. Aku beringsut meneguk minuman kaleng, lalu memukul-mukul dadaku supaya pempek segera turun dari kerongkonganku. Ya, aku kaget. Pasalnya gadis ini tadi bilang capek, tapi pikirannya sudah melayang sampai pergi liburan. Wanita memang suka membingungkan.

>>> Berlanjut ....

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang