Akad, Resepsi dan Rumah Tangga (1)

5 0 0
                                    

Sekitar 4 bulan berlalu, tepat saat pembangunan rumahku dan calon istriku jadi. Akad nikah pun di gelar di sini, sekaligus pengajian untuk merayakan rumah yang baru berdiri ini. Tapi, rencana resepsinya akan digelar di Palembang—di pekarangan rumah ayah dan bunda nanti minggu depan.

Saat itu aku sedang mengenakan kopiah berwarna putih sambil bercemin. Tampak seragam akad yang serba putih dari atas hingga kebawah. Aku kaget saat melihat bayang ibu dan ayahku menggusar-gusar bahuku. Mereka tersenyum paling manis yang siap kapan saja mengantarku keluar menuju mimbar—tempat pengucapan ijab kabul.

Andai kalian sempat melihatku mengenakan ini, batinku.

Entah air mataku harusnya sudah terjatuh jika tidak bersikeras kutahan. Aku tidak ingin tampil jelek di hari pernikahan ini. Sekelebat ingatan akan kata-kata Ima melintas di pikiran.

Unseen isn't mean doesn't exist.

Seketika aku menggeleng-geleng kepala. Aku percaya mereka ada di sisiku, selalu, dan sekarang mereka sedang tersenyum. Indah seindah hari ini. Aku keluar dari kamar, di sana Jan sudah menanti di depan pintu. Ia menatapku dari atas ke bawah.

"Makin ganteng lu! Enak ya punya kulit putih cocok banget pake yang putih!" pujinya sambil menepuk-nepuk bahuku dengan semangat hampir mengalahiku saja.

"Siapapun ganteng kalo pake putih, apalagi kalo mati," gurauku pada Jan.

"HAHA, kalo ada pocong ganteng berarti itu elu!" pungkasnya, lalu mengajakku ke ruang tengah tempat dilangsungkannya akad nikah.

Tiba-tiba dari sisi lain, baru keluar dari pintu seketika menarik perhatianku. Sosok bidadari dengan gaun berwarna putih. Aku salah, ternyata Ima jauh lebih cantik dari apa yang pernah aku bayangkan saat ia mengenakan gaun itu. Tak luput mataku memandanginya langkah demi langkah.

Aku menoleh ke arah Jan yang juga terpukau melihat istrinya—Iqa—berjalan mendampingi calon istriku. Aku menyikut bahu laki-laki dengan mulut menganga untuk menyadarkannya. Aneh lah, ia kayak belum pernah dikasih jatah saja.

Kemudian, akad nikah pun berlangsung setelah semua syarat terpenuhi. Dimulai dengan mendengar khotbah nikah langsung oleh penghulu. Selanjutnya, Penghulu itu menjabat tanganku ini proses yang paling menegangkan salah bicara bisa jadi sangat memalukan.

"Saudara Feay Hullah apakah Anda setuju untuk menerima saudari Nay Whazima sebagai istri dengan mahar maskawin 500 gram?" Penghulu itu bertanya sampai tiga kali. Mau seribu kali pun ia bertanya pasti akan kujawab dengan seribu satu kali kata setuju.

Syukurnya proses ijab kabul berlangsung dengan lancar. Aku lumayan lega karena tak perlu menanggung malu. Penghulu pun memimpin doa setelah akad. Lalu pegawai KUA itu meminta kami untuk menanda-tangani buku nikah. Lebih dari sering aku mengunjungi toko buku. Dari sekian buku-buku yang ingin aku punya, yang paling itu buku nikah.

Aku memasangkan cincin emas putih itu di jari manisnya. Prosesi ini terasa amat lambat mengiring waktu yang sangat singkat. Cincin itu terpasang sangat pas di jemari Ima. Putih serasi dengan warna kulitnya.

Ima balik memasangkan di jemariku, lalu mencium tanganku. Dan aku mengecup keningnya. Mata kami terpejam. Waktu seakan terhenti.

***

"Woy!! Pulang!"

Aku seperti mendengar suara Jan. Tiba-tiba, aku tersadar karena Jan menggoyang-goyangkan tubuhku.

"Lu kenapa tiduran di balkon sih? Bikin kaget gue tau nggak, gue kira lu mati!" celoteh laki-laki itu. Padahal kepalaku masih pusing sekali.

"Gue mati pun lu repot juga nggak?" gumamku yang masih setengah sadar.

"Repot sih nggak, tapi gue nggak bawa buku yasin!" Jan pun bangkit menuju ke dapur mengambilkan aku air minum. "Nih, lu itu jangan kebanyakan minum obat tidur! Jadinya kan gini lu tidur sampe mau maghrib gini. Kalo insomnia itu coba deh banyak minum susu sapi!"

Aku baru ingat, kalau aku ketiduran pas selesai sholat petang. Pake acara mimpi lagi. Mimpi covid-19 lenyap lah, jalan-jalan ke Beijing lah, sampe akad nikah. Udah kayak novel romansa aja. 

>>> Berlanjut ....

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang