Surat Untuk Istri (1)

11 0 0
                                    

Aku belajar membiasakan diri di hari-hari tanpamu. Pelan-pelan, kubiasakan. Di dalam lemari masih tergantung kaos biru. Pemberian pertamamu. Masih ingat kau pernah bilang padaku. Jangan terlalu lelah. Bisa menderita. Sekarang dadaku seakan terpasak di sudut belahan bumi hingga membuatku sesak inginkan mati.

Aku belajar membiasakan diri mengenal sepi. Bergelut dalam selimut tanpa kau temani. Salahkan aku yang terlalu bodoh dan sangat ceroboh. Mematikan lampu tidurmu dan lupa menghidupkannya kembali. Salahkan saja aku tak pelajari guraumu, mungkin ini hasil keegoisanku. Selalu menuntut waktu berhenti di momen termanis antara kau dan aku.

Aku sudah coba mencari teman untuk melupakanmu. Tapi kenangan kita malah semakin menghantu. Bolak-balik setiap lembar, semua senyum manismu yang tergambar. Tersebar. Masakanmu di dalam kulkas dapur, masih tersisa. Andai bisa kujaga. Namun, ibarat es batu seberapa kuat pun aku genggam dan jaga pada akhinya akan hilang oleh waktu. Masih saja aku yang egois. Selalu menuntut waktu berhenti di momen termanis antara kau dan aku.

Bagaimana caranya agar aku terbiasa melawan sunyi?

Dan cara agar aku bertahan meski sepi?

Kau bilang ingin bahagia denganku. Tapi, aku kehilanganmu. Pantaskah?

Katakan cara aku menamatkan buku? Terjerat dalam ending yang sedu? Aku mengaku tak sanggup menulisnya. Namun, aku akan bersikeras pelan-pelan menyembunyikanmu di balik termpurung dadaku. Aku tahu, dalam menghadapi hidup ini ada dua hal, satu sabar, kedua lupakan. Namun, semua ada pengecualian, aku tak bisa sabar jika memimpikanmu, dan aku tak bisa lupakan bila tentang mengenangmu.

Meski tak ada cara melupa tentang hari-hari kenang kita. Tapi, aku akan pelan-pelan merubah sepi menjadi kamu.

Surat untuk Istri


Aku menggulung surat di tangan kananku. Angin sepoy-sepoy mengayun pepohonan kesana kemari. Sayap-sayap burung terkepak membawa tubuhnya terbang tinggi. Melupakan bumi. Tempatku berdiri. Rumput-rumput liar menjalar di kaki. Geli jika sampai menyentuh urat nadi. Sesekali ilalang jauh di hadapan melambai-lambai. Mengucap tinggal pada usia yang usai.

"Kak," panggilku pada anak laki-laki, "tolongin ayah, taruh ini di kuburan bunda." Kef meraih kertas yang kuberikan. Anak sulungku itu memang penurut sekali, ditambah ia juga cerdas. Kef mengikat gulungan kertas dengan pita, lalu meletakkannya di sisi batu nisan.

Sementara kulihat Azi—putra keduaku yang baru masuk sekolah dasar beberapa bulan lalu sedang mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di tanah pusara. Dia memang anak yang sangat berbakti hanya selisih dua tahun dari kakaknya. Dan, dia anaknya tidak cengeng. Mungkin begitulah anak tengah.

Terakhir, Dee—anakku paling kecil—paling mirip dengan bundanya. Matanya yang cantik, kulitnya yang bersih sedang kutimang-timang dalam pelukan. Usianya baru satu tahun lebih berapa bulan. Biasanya ia paling rewel, Ima saja mengakuinya. Tapi, entah kenapa Dee merasa sangat tenang tiap saat mengunjungi bundanya.

Sayang, kamu meninggalkan harta karun yang sangat berharga bagiku. Aku takut akan menyia-nyiakannya. Apa yang membuatmu percaya jika aku bisa menjadi ayah dan ibu di waktu sama?

Seminggu yang lalu ....

Aku sedang menemani anak-anak bersantai di ruang tengah. Kecuali Kef, ia selalu sibuk dengan buku-bukunya. Kadang, ia tak menghiraukan Azi jika mengajaknya bermain. Ia benar-benar mirip denganku. Jadi, kalau libur aku yang pasti menemani Azi dan si Bungsu Dee. Entah itu main lego, kuda-kudaan, atau perang-perang orang Indian.

Prang!

Suara nyarik piring pecah berasal dari arah dapur. Kami semua kaget. Aku langsung menurunkan Dee, kemudian berlari dengan menggebu-gebu ke belakang. Ima sudah tersudut lemas dengan bercak darah di celananya.

Sontak aku menggendong Ima dan membawanya ke rumah sakit.

"Bunda kenapa ayah?!" seru anak-anak.

"Kef, jagain adik-adikmu, nanti ayah balik lagi, jemput kalian!" tandasku lalu membawa istriku ini masuk ke dalam mobil. Kemudian berkendara dengan menggunakan mobil.

>>> Berlanjut ...

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang