Di Balik Kerelaan (2)

9 0 0
                                    

Tampaknya aku sudah benar-benar gila, tenggelam dalam pikiranku sendiri hanya karena seorang wanita. Lebih gila lagi sampai berandai-andai membuang harga diri hanya agar dia bisa kembali. Dia sudah punya orang lain sekarang, apakah langit yang kurang terang atau hanya aku saja yang masih menutup mata pada sebuah kenyataan.

Aku lebih dulu membereskan foto-foto kenanganku bersamanya. Benar kata Jan, melakukan segalanya demi orang yang tidak menaruh hati padamu itu sia-sia. Sudah seharusnya aku berhenti menganggunya, dan menyulitkan diri sendiri.

Kukumpulkan satu persatu foto itu ke dalam sebuah kotak berisi permen. Aku berniat membuang semua kenangan itu besok pagi-pagi.

Jan sialan itu masuk tanpa mengetuk pintu.

"Buset dah!" erangku emosi, "lu bisa ngetuk pintu dulu gak sih?"

"Etdah, kita ini sekamar beda pintu doang."

"Ya, kalo gua lagi coli, lu main nyelonong aja gimana?"

"Ya gua ikutanlah!"

"Najis! Ada urusan apa lu kemari?"

"Cuma mau info kalo mantan lu udah punya pacar baru?"

Apa kataku, takperlu waktu yang lama kalo sudah lupa ya beneran lupa. "Itu urusan cepat atau lambat, dan gua gak begitu peduli," ujarku sambil membawa kotak permen dan menyerahkan padanya. "Nih, bantu gue buangin, permen coklatnya udah gak manis lagi, jangan lu makan."

Jan menarik satu bungkus dan mencobanya. Larangan itu untuk dilanggar mungkin prinsipnya temanku yang gila ini. "Manis kok!"

"Sudah jelas-jelas gak manis, lu bilang manis," bantahku.

"Bukannya kamu bawa pulang banyak waktu itu? Yang lain mana?"

"Udah gak ada."

"Tunggu!" pinta Jan, entah apa maksudnya ia meninggalkanku dan menuju ke dapur. Aku melangkah mengikutinya. Ia mengeluarkan pare hijau dari dalam kulkas.

"Makan ini!" perintahnya.

Hanya orang gila sepertinya yang mau makan buah itu langsung tanpa diolah. "Gua masih waras Jan!"

"Dikit aja."

Aku belum pernah melihat sorot matanya yang seserius ini. Sepertinya menjadi gila untuk hari ini saja bukan suatu hal buruk untuk dicoba. Aku mengigit buah itu, dan seketika memuntahkannya.

Kemudian Jan mengambil satu bungkus permen dan memintaku mencobanya.

"Mmm ... loh kok manis!" jawabku bersemangat, "ternyata makan sedikit pahit baru tahu kalau ...," aku terdiam, "kalau sebenarnya rasa itu begitu manis."

Aku segera mengambil kembali kotak permen itu membawanya masuk ke kamar dan mengunci pintunya.

Sekarang malah tidak ada hal yang paling ingin kulakukan selain menemuinya, meminta maaf, dan mengharapkan kesempatan kedua.

Namun, kondisi dunia sedang sakit begini, tiket pulang ke Indonesia sudah hampir seharga kuliah satu semesterku. Untuk saat ini aku hanya bisa berdoa supaya dunia segera sembuh.

Aku melangkah keluar balkon, sudah terbiasa aku sholat di luar. Rasanya aku terhubung langsung dengan alam, apalagi pemandangan gunung tepat di seberang sana. Kugali liang hatiku yang paling dalam, kucari apa yang benar-benar aku inginkan. Kupejam mata, dalam sujud kuselipkan doa. "Ya Allah, jika memang perpisahan harus terjadi, tidak apa, tapi berikan aku kesempatan untuk meminta maaf dengan perginya virus corona."

Seketika angin bertiup kencang menyibak-nyibak sejadahku. Sontak mataku terbuka. Angin pun semakin kencang dan menggila. Aku perlahan bangkit dan berdiri. Langit tiba-tiba beralih keruh disabur dengan berisiknya raungan gemuruh. Salah satu tanganku menghalau angin yang menghantam tubuh dan wajahku, salah satunya lagi berpegangan pada pagar besi. Namun, apalah daya angin begitu kencang hingga membuat mataku terpenjam seketika.

Aku heran. Ketika angin tiba-tiba berhenti, semua terasa berubah, telingaku mendengar riuh keramaian dari berbagai arah. Perlahan kucoba membuka mataku. Seketika jalanan di bawah asramaku penuh akan mahasiswa yang berlalu-lalang. Apa yang terjadi? Apa doaku benar-benar terkabul?

>>> Berlanjut ....

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang