Jika Bisa Kembali Seperti Semula (2)

11 0 0
                                    

Di tengah-tengah kejanggalan ini, aku masih mencoba mencerna satu demi satu keanehan. Setidaknya ada sebuah petunjuk yang bisa membantuku memecahkan kebingungan ini, minimal agar aku tidak disangka orang sakit jiwa di dunia yang tak kukenali ini..

"Terus kenapa Uun pulang ke Indonesia?" Aku sempat bilang dalam satu apartemen diisi tiga orang yang menempati tiga kamar, selain kami berdua ada lagi Uun, bukan penjaga asrama. "Bukannya karena takut sama virus corona?" paparku sambil berdiri menopang dagu di gagang sapu.

"Kan Uun tiba-tiba balik karena kebelet nikah! Lagian dia sendiri yang bilang kalau melepas hasrat seorang diri itu dosa!" terangnya membuat aku ingat waktu itu Uun memang mengetuk kamar kami pagi-pagi, cuma untuk mengabari kalau lamaran online-nya diterima oleh mertua. Tak lama setelah itu ia pulang yang kebetulan masih awal-awal liburan.

"Oh iya!" Pertanyaannya Kenapa aku ada ingatan ini?

Aku jadi termenung sendirian jika mendengar kata pernikahan. Entah sejak kapan aku ingin sekali menikah. Ya, aku tau diriku masih belum siap; masih terlalu muda; bahkan usiaku belum mencapai 22. Tapi, rasanya menikah dan punya anak itu dua hal yang asik jika dipikirkan. Ya, meski kejadian di antara dua hal itu jauh lebih asik jika dilakukan.

Lama sekali aku termenung. Kepalaku seakan berputar-putar pada mimpi-mimpi yang pernah aku bayangkan waktu bersama Ima dahulu. Meski mimpi itu tidak begitu kuat, karena aku masih perlu berkutat pada kuliahku; pada karirku; dan pada kesiapanku. Sebab menikah bukan sesuatu yang gampang. Kita harus siap membuang keinginan diri yang tidak gamblang.

oOo

"Menikah itu adalah sebuah ikatan dari keputusan yang sudah sangat dipertimbangkan. Pernikahan bukan cuma urusan dua orang, tapi dua keluarga yang disatukan dalam ruang lingkup kasih dan sayang."

oOo

"Kenapa mikirin adinda lagi nih?" celetuk Jan menyadarkanku dari lamunan.

Jan di sini juga berbeda, kenapa dia bisa bersikap berbeda? Tanpa menjawa, aku kembali pura-pura bekerja. Dulu Jan memang kerap memanggil Ima dengan sebutan adinda tiap ia main kemari, karena memang Ima lebih muda dari pada kami.

"Ya, gue paham kondisi lu, tapi elunya udah bilang belum sama dia?" singgung Jan. Entah memang laki-laki menyebalkan ini kadang-kadang bisa juga membaca suasana hati seseorang. Meski aku tak pernah bercerita, ia seakan tahu kalau aku selalu bermimpi untuk menikahi Ima suatu saat nanti.

Berhubungan dengan pertanyaannya aku memang pernah sesekali berucap asal untuk menikahi Ima. Entah Ima dulu hanya menganggapnya candaan semata atau tidak. Karena memang aku hanya berucap tanpa bercerita skema dan langkah-langkah yang akan aku pijak.

"Pernah," ucap di mulutku, tapi kepalaku menggeleng-geleng. Spontan saja. Jangan mencobanya karena kau pasti akan gagal pada cobaan pertama.

"Baguslah, adinda pasti nungguin sampe lu siap!" tutur Jan. Entah dia berbicara seakan lupa atau tidak tahu hubunganku dengan Ima sudah lama bubar.

"Insya Allah." Senyumku menyimpul untuk sejenak sebelum kembali menggosok-gosok lantai. Aku sendiri memang tak pernah benar-benar mengganggap hubungan ini selesai. Aku punya banyak mimpi dan janji. Sebagai laki-laki sejati, pantang menarik ucapan sendiri.

***

Ada sesuatu yang rasanya masih menggantung di pikiranku. Tak habis otakku memutar-mutar mencari jawaban. Entah mungkin munculnya virus corona itu hanyalah mimpi belaka? Atau malah kehidupan yang saat ini kujalani? Siapapun tak berhak menentukan mana yang nyata dan mana yang bukan.

Aku sudah mem-browsing di internet mengenai virus corona, ada beritanya tapi bukan covid-19. Berita itu seakan lenyap dari dunia ini. Keadaan benar-benar terasa seperti sedia kala. Ramai, riuh, campur aduk. Setelah kupikir-pikir bukankah ini yang aku inginkan memang. Baru saja aku hendak memasukkan ponsel ke saku, tapi tiba-tiba bergetar di tanganku.

Aku menganga lebar. Mataku mendelik tak kuasa saat melihat sebuah panggilan masuk dari Ima yang kontaknya kunamai "Bakpao" sebuah deskripsi yang sesuai dengan bentuk wajahnya yang bulat dan pipinya yang tembam seperti roti isi daging itu. Aku ragu-ragu mengangkat telponnya. Pikiranku menduga-duga ia akan mengomeliku sebagaimana yang sering ibu dulu lakukan padaku.

"Halo ...," desisku melirih.

"Beb, jangan lupa hari ini jemput di Bandara ya!"

>>> Berlanjut ....

Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang