Kabur (1)

2 0 0
                                    

Banyak orang sewaktu muda berpikir dirinya sanggup merubah seluruh dunia. Kemudian, sadar. Diri bukan cuma nggak sanggup merubah dunia. Malahan cuma ingin hidup baik-baik saja.

Seperti diriku. Banyak sekali mimpi yang pernah aku tulis, hampir sebagian besar tak sempat kuukir. Hanya terlupakan bersama kenaifan. Semenjak hidup penuh kesulitan, mimpi-mimpi itu seakan hilang ditelan. Entah apa yang menelannya. Mungkin ikan paus di lautan atau buaya yang sedang berjemur di antara sungai dan daratan. Hingga aku sadar aku hanya ingin hidup baik-baik saja.

Aku bangun setelah tertidur malam itu. Kuraih arloji yang kuletakkan di atas meja kecil samping kiri. Sudah pukul setengah lima pagi. Aku menoleh ke arah Jan di kasur seberang. Ia masih tergeletak bagai buntang. Dengan perlahan, aku bangkit dari kasur, lalu keluar menuju kamar mandi.

Lampu kamar mandi menyala, tanda sudah ada orang di dalam sana. Bahkan suara air yang mengalir terdengar jelas, apalagi di pukul begini. Aku bersandar di dinding sambil memasukkan tanganku ke dalam saku karena di ruang ini suhu terasa sangat dingin.

Kemudian, pintu dari kaca buram itu terbuka hingga muncul Iqa. Wajah dan rambutnya seperti habis dibasuh air. Mungkin baru saja selesai mengambil wudhu buat sholat subuh. Ia menoleh ke arahku.

Kami sama-sama menyadari sesuatu. Saat Iqa melihatku menunggu di ambang pintu, ia meraba kepalanya, spontan gadis itu beringsut kembali masuk ke dalam kamar mandi. Sebelum pergi ke kamar mandi, sepertinya Iqa tadi sengaja melepas penutup kepalanya dan meninggalkannya di kamar. Aku pun menjauh untuk sejenak karena tidak enak.

"Iqaa!! Aku pinjam mukenahmu yaaa," seru Ima tiba-tiba menyembulkan kepalanya dari sela pintu kamar.

"I-iyaa pake aja!" balas Iqa yang masih bersembunyi di kamar mandi.

Ima melirik ke arahku, kemudian ia membuka lebar pintunya. "Kamu ngapain diri di situ?" Ima yang saat itu mengenakan mukenah berwarna pink dengan motif bunga melati tengah berdiri di ambang pintu menghadapku. Aku tercengang melihatnya mengenakan mukenah, padahal ini bukan pertama kalinya. Tetapi, tiap kali melihatnya seperti itu kembali memunculkan anganku yang rasanya terlalu jauh, yaitu menjadi imamnya.

Ketermenunganku pun berakhir saat Ima berdehem. "Eh? Itu, lagi nunggu giliran."

Ima menganggu pelan. "Yaudah, aku subuhan dulu," ujarnya dengan malu-malu.

Sebelum gadis itu itu menutup pintunya, dengan acap aku memanggilnya. Ima pun menoleh. "Iqa di dalam dia kayaknya malu buat keluar, karena nggak pake kerudung," terangku.

***

Kami sedang dalam perjalanan menuju tempat wisata yang cukup iconic di Beijing—Drum Tower and Bell Tower. Perhatian utamanya pada bangunan yang berupa menara jam. Ya, kalau di London punya Big Ben, mungkin di Beijng punya menara jam ini. Meski tidak setinggi Big Ben, bangunan jam ini memiliki banyak sejarah di balik pembangunannya. Apalagi kalau dilihat dari bentuknya yang sangat mengandung unsur budaya lokal.

Kami kemari hanya untuk menginjakkan sejarah bahwa kami pernah kemari. Tempat ini tidak lah buruk untuk dikunjungi, apalagi di sekitarnya banyak rumah-rumah tua yang berjejer rapi. Kami tidak masuk ke dalam bangunan Beijing Drum karena tujuan utama kami hari ini adalah Summer Palace.

Kereta bawah tanah melaju dengan kecepatan penuh. Aku melihat deretan list stasiun di atas pintu subway line 4. Satu stasiun lagi sampai ke Stasiun Beigongmen. Setelah sampai keluar dan berjalan sedikit hingga sampailah kami di gerbang masuk Summer Palace.

Kami mampir ke loket pembelian karcis, dan membeli 4 karcis yang perlembarnya dikenakan tarif 30 RMB. Setelah itu, dengan rasa penuh penasaran akan sebetapa menakjubkannya objek wisata satu ini, Iqa dan Ima sampai berlari-lari menaiki anak tangga.

Mungkin teknologi di negara ini memang sudah sangat canggih. Kalau biasanya di Indonesia ada penjaga yang menunggu dan menyobeki karcis masuknya. Sementara di sini kami hanya perlu menempel hologram yang ada di karcisnya pada screen scanner yang ada pada jalur masuk.

Sesampainya di dalam. Kami berhenti sejenak untuk menentukan pilihan. Melihat ada dua jalur yang bisa diambil yaitu naik tangga atau berjalan ke samping. Karena bingung aku pun bertanya, "Mau lewat mana kita?"

Jan pun menimpaliku dengan bertanya kepada Iqa. "Lu mau naik atau nggak?"

"Mm ... aku nggak suka naik tangga, kita jalan lewat samping aja," jawab Iqa, lalu mencoba menarik lengan Ima.

"Boleh juga," respon Jan, "kalo gitu kita naik tangga! Ayo Fe!" 

>>> Berlanjut ....

>>> Berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pisah untuk MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang