1

164 8 0
                                    

Aku pulang dengan mobil, Bang Anggar duduk di belakang, di sampingku, dan Pak Joko menyupir dengan tenang. Jalanan cukup ramai dipenuhi lebih banyak motor daripada mobil. Aku merasakan ketegangan, dimana ini tidak biasanya terjadi. Bang Anggar biasanya sangat berisik dan mengomentari apapun yang ada di sekitarku. Namun saat itu dia diam saja, dan tenang.

"Bang, kok diem aja?" Aku bertanya. Ia hanya melirikku, berusaha membalas tetapi hanya menghela nafas. "cerita dong sama Rana."

"Ga perlu, Ran," ia menatapku sedih. Suaramya hancur dan gemetar. Aku mulai mempertanyakan kabarnya.

"Abang sakit?" Tanyaku lagi. Sejak ia sudah kuliah di Universitas, sangat jauh dari sekolahku, aku tidak pernah mengetahui kabarnya yang sebenarnya. Aku hanya bisa bertanya dan mendengarkan, entah bohong atau tidak.

"Abang abis diputusin, Ran," ia mulai mengeluarkan suara akan menangis. Tetapi tidak setetes pun air mata jatuh dari matanya. "orang tuanya ga setuju kita pacaran."

"Dua taun pacaran, habis gitu aja gara-gara orang tua?" rasanya aku ingin memeluk abangku ini. Tubuhnya yang tinggi dan besar, brewoknya berantakan tetapi entah kenapa ia samgat tampan. Ia hanya bisa mengangguk lemas. Lalu handphone-ku berbunyi. Panggilan telfon dari nomor tak dikenal. Aku ingin mengabaikannya saja, tetapi apa jadinya jika itu nomor telfon Aris?

"Halo?" Suaranya suara laki-laki. Mirip dengan suara Aris yang berat dan angkuh. Hanya sepatah kata darinya sudah membuatku bahagia. Mendengar suaranya saja, aku sudah bisa tersenyum, walau bukan aku yang ia ajak bicara.

"Um, maaf ini siapa ya?" Aku menjawab panggilan laki-laki di ujung telfon tadi.

"Ini Aris. Laptop kamu ketinggalan, Ran. Nanti aku anter ke rumahmu, tapi jam lima ya, aku ada rapat sebentar," jelasnya. Hatiku ingin meledak rasanya. Suaranya serak, telingaku merinding, lalu menjalar keseluruh tubuhku.

"Oh, iya, Ris, makasih ya," aku ucapkan kata terima kasih yang terdengar seperti ucapan selamat tinggal.

"Iya, sama-sama," ia menutup telfon dan aku tersenyum lebar. Lebih lebar dari senyum saat aku berulang-tahun.

"Kamu kenapa Rana? Abangmu lagi patah hati gini, kamu malah seneng. Siapa tuh tadi? Aris ya?" Biasanya ia lebih berisik dari ini.

"Apaan sih," tegurku. Rumah kami sudah terlihat di depan mata. Aku dan abangku segera turun dan menghilang ke kamar masing-masing. Lalu kami tidak bertemu lagi sampai makan malam, atau jika sesuatu tertinggal di kamar antara kami berdua. Bahkan tidak bertemu lagi sampai besok pagi.

-

Sesampainya aku ke kamar, aku langsung mengganti baju dan menunggu Aris datang. Jam masih menunjukkan pukul empat. Satu jam lagi, bisikku. Aku

RealitaWhere stories live. Discover now