Bab Sebelas

64 9 0
                                    

Mba Nia terbangun pada pukul enam, entah karena memang sudah pagi atau karena berisiknya Bang Anggar dan teman-temannya. Aku hanya tidur selama lima jam, dari jam sepuluh hingga jam tiga. Karena besok adalah hari Sabtu, maka itu tak terlalu penting.

Kami berlima, Aku, Aris, Bang Anggar, Bang Gio dan Rangga, bercanda diluar. Membahas lelucon yang mereka temui di sekolah. Rangga adalah teman SMA bang Anggar. Karena sudah lama tidak bertemu, ia menundangnya kerumah.

"Rana, aku pulang dulu yaa," kata Aris . Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, dan orang tuanya mungkin sudah kembali.

"Iya, Ris," sahutku sambil mengikutinya keluar. Kami berpelukan selama kurang lebih lima detik. Memang kurang rasanya, kehangatannya belum sepenuhnya menjalar ketubuhku. "Makasih ya."

Ia mengangguk, mengenakan helm, melambaikan tangan, lalu pergi.

Jika saja Aris sebaik itu padaku sejak dulu, kami mungkin sudah menjalin suatu hubungan. Aku tak pernah sabar untuk bertemu dengannya lagi. Bahkan jika mungkin, aku ingin selalu bersamanya. Jika mungkin, aku ingin menjalani perjalanan ku mengelilingi sedikitnya tiga negara di dunia dengannya. Jika mungkin, aku ingin bersama Aris selamanya.

✖️

Bayangan pelangi masih tersisa setelah aku terbangundan menyadari bahwa awan-awan kelabu yang kupandang hanyalah mimpi. Aku mengirip Aris sebuah pesan jika ia sudah sampai rumah dengan selamat, tetapi aku tak menerima balasan. Mungkin belum sampai, pikirku positif. Tak ada rasa cemas atau curiga sedikitpun atas apa yang sebenarnya terjadi.

Jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat lima menit. Aku memutuskan untuk mengerjakan PR Kimia dan Fisika. Aku tidak terlalu lelah hari itu, tetapi entah mengapa rasanya aku lemas. Aris belum juga membalas pesanku, yang membuatku merasa cemas. Biasanya ia mengirimkan setidaknya sebuah senyuman singkat sebelum izin untuk melaksanakan kesibukkannya.

Aku sempat menanyakkan kabarnya pada Putri yang rumahnya bersebelahan dengannya. Ia juga tak tahu apakah Aris sudah sampai kerumah. Tak terdengar suara motor. Pikirku, mungkin ia sibuk mengerjakan persiapan acara 17 Agustus.

Tiga Hari Kemudian

Tiga senja sudah berlalu, Aris masih belum membalas. Aku kerap kali melihat sosoknya di sekolah, tetapi nampaknya ia menghindar dariku. Ia berusaha keluar dari pandanganku. Aku cemas, pikiranku tidak fokus pada pelajaran. Apa jika aku telah melakukan suatu kesalahan?

Luna dan Putri bahkan bertanya-tanya tentang kabarnya. Ia terlihat pucat. Ia disibukkan oleh Tamara, tetapi wajahnya tak sebahagia dulu. Banyak senyuman simpul yang ia berikan pada Tamara, tetapi semuanya tampak tak ikhlas.

"Aris kenapa deh, Ra?" Tanya Luna sebelum mengunyah bekal yang ia bawa.

"Aku gatau. Dia belom ngabarin dari tiga hari lalu, abis balik dari rumah, dia ngilang gitu aja," jelasku. Api kebahagiaan yang dulunya berkobar di dalam diriku, kini hampir padam. Rasanya dalam diriku dingin, lembap, hampa.

✖️

Hari mulai menggelap, aku bersandar pada rumput yang basah akan butiran embun. Belakang bajuku mulai lembap, tapi aku tak peduli. Aku menatap langit. Keindahannya yang dipertontonkan oleh seluruh umat manusia. Dulu ia akan bersandar bersamaku, dulu ia akan tertawa denganku, dulu ia akan menemaniku, dulu aku tak hampa, dulu aku tak sendiri. Perbedaannya datang secara tiba-tiba, tanpa proses agar aku bisa beradaptasi. Perbedaannya datang secara tiba-tiba, membuatku benar-benar merasa kehilangan dan kesepian. Aku tak mengerti sama sekali atas apa yang telah kuperbuat. Maafkan aku, Ris.

--

Yey! Thanks for the readers!
Aku bakal ngeskip banyak kejadian yang gak terlalu penting dimana Aris dan Rana bener bener ga ketemu dan langsung skip ke tangg 15 Juli dimana Aris dan Rama berangkat ke Atlanta.

Please vote & comment x

RealitaWhere stories live. Discover now