Bab Tiga

84 7 2
                                    

Liburan sudah berakhir dan aku tak percaya aku harus melihat wajah Aris lagi setelah hampir sebulan lamanya melupakan sosoknya. Hari Senin, 28 Juli, aku mengenakan seragam kuning dan rok hitam, kaus kaki pendek dan sepatu hitam. Kuikat rambutku yang sudah kering dan kumasukkan sebotol air kedalam tas sebelum keluar kamar dan bertemu bang Anggar. Kami berdua turun bersama dan jam tanganku menunjukkan pukul enam lewat empat puluh lima. Mobil sudah siap di depan garasi dan kami pun segera beranjak ke sekolah. Aku menghela nafas dan berdoa semoga bukanlah Aris yang sudah duduk di dalam kelas. Aku meyakinkan diri bahwa aku sudah berusaha menjauh darinya, tetapi kesulitannya jauh dari perkiraan.

Mobilku tidak sempat parkir di lahan sekolah karena Anggar terburu-buru ingin bertemu dengan Gio, sahabatnya sejak kecil. Lagi-lagi aku ditinggal sendiri dan keadaan sekolah masih sangat sepi.

"Aduh, sepatu Aris. Mampus aja deh gue," pikirku lalu menghela nafas, berharap itu hanyalah murid lain dengan sepasang sepatu barunya. Alangkah kurang beruntungnya aku hari itu, ternyata ia betul-betul Aris. Telinganya tersumpal tuli oleh sepasang headphone merk Beats. Kuhatap ia tidak menyadari kedatanganku walaupun kursiku berada tepat di depannya. Aku pun duduk terdiam. Hanya ada aku dan dia di kelas, yang lain menghilang entah kemana.

"Hai," sapanya. Aku menutup mata karena kecewa. Aku gagal menjauh. "kok tumben angkuh dan gak nyapa?" Lanjutnya. Headphone tadi melingkar di lehernya dan ia tersenyum malu.

"Hai, iyanih lagi...gaenak badan.." jawabku. Aku ingin pulang rasanya, sebelum benar-benar gagal menjauh.

"Kenapa? Mau minyak kayu putih? Nih aku ada," katanya sambil menggapai tasnya dari kolong kursi. Ia tidak melihatku menggeleng. "nih." ia memberikannya padaku, sebelum menyadari bahwa aku masih menggeleng. "oh..ga mau..ngomong kenapa Ran, kamu sunyi banget." Aku tersenyum dan tetap terdiam.

"Yang lain mana, Ris?" Tanyaku. Lalu ia menaikkan pundaknya polos, dan mengeluarkan selembar kertas yang dilipat.

"Kamu harus liat ini," ia memberikanku kertas tersebut dan kubuka perlahan. Apa jika isinya adalah sebuah pemberitahuan bahwa ia dan Tamara.. Ah, Tamara lagi. Otakku tidak bisa berhenti mengingat nama itu. Wajah cantiknya terngiang di kepalaku.

"Peta dunia?" Tanyaku. Awalnya aku tidak mengerti sama sekali, lalu aku mengingat ucapan salah satu antara Luna dan Putri bahwa Aris akan segera keliling dunia, entah apa tujuannya. "Mau keliling dunia?"

"Cuma yang di lingkarin pake spidol merah," katanya lalu tersenyum manis dan bangga. Tuhan, aku tak akan bisa melepasnya jika ia terus begini. Rasanya ia mempermainkanku.

"Filipina, Vietnam, Amsterdam, Atlanta, California, Paris, Belgium, India," sebutku. Semua negara tersebut dilingkari spidol merah. Aku melipat kembali kertas itu dan mengembalikannya pada Aris. "kapan kamu mulai pergi?"

"Lulus SMA, aku langsung berangkat ke Amerika, lalu ke wilayah Eropa, kembali ke Asia yaitu India, Filipina dan Vietnam. Lalu akan pulang dan tidak pergi lagi hingga aku mendapatkan pekerjaan tetap." jelasnya.

"Wah, bagus deh," kataku, lalu melihat Tamara berjalan di luar jendela. Aku langsung berbalik badan dan menunggunya masuk. Ia langsung berbincang dengan Aris. Mereka terdengar sangat dekat. Aku berusaha menghiraukannya, dengan mencatat semua negara yang dilingkari spidol merah di buku kecil. Kuharap aku bisa pergi bersamanya, dari awal hingga ia kembali pulang. Dan pergi bersamanya setelah ia mendapatkan pekerjaan tetap. Mustahil, sangat mustahil. Lebih besar kemungkinannya jika ia pergi dengan Tamara.

✖️

Tiga hari berlalu dan aku memutuskan untuk memenuhi papan tulis kapur yang kumiliki di kamar. Bersama dengan secangkir teh hangat yang setiap hari menemani soreku, aku mulai menuliskan nama-nama negara yang akan Aris kunjungi. Aku akan memberi tahu Ayah agar ia memperbolehkanku pergi ke setiap negara, tentunya bukan dengan alasan ingin bertemu Aris, tetapi dengan alasan ingin mempelajari budaya mereka semua.

Baru kali ini Bang Anggar dan aku duduk bersamaan di meja makan, dengan kedua orang tuaku. Aku merasa aku harus izin sekarang kepada Ayah maupun Ibu. Tentu atas persetujuan bang Anggar juga, karena ia sudah pernah pergi ke beberapa negara yang akan ku kunjungi.

"Yah, Rana mau pergi ke beberapa negara, boleh gak yah?" tanyaku polos, perlahan tapi pasti sambil mengambil beberapa sendok nasi.

"Mau ngapain, Rana?" Tanya Ibu.

"Cuma mau liat aja, Rana bosen di rumah, sekalian belajar budaya mereka," jelasku, merasa semuanya sia-sia. Jika orang tuaku sudah mengajukan pertanyaan, satu saja pertanyaan, rencanaku lenyap ditelan bersama nasi makan malam. Harapanku akan habis tenggelam bersama matahari di waktu senja. Walau hatiku masih berteriak mohon, mereka seakan tuli karena sebenarnya hati tak pernah bisa berbicara.

"Ayah sih boleh-boleh aja, gak tau ibu tuh," ucap Ayah. Ia memberiku kesempatan untuk setidaknya mengharapkan sepatah kata izin dari Ibu.

"Ya, Ibu juga boleh-boleh aja. Sendirian kamu?" tanya Ibu. Hatiku kemudian pecah, dan terbuatlah yang baru lagi, yang bersih dan sepenuhnya bahagia.

"Hah! Bener bu? Alhamdulillah!!" Sahutku gembira. Aku tak pernah merasakan kepuasan sebegitu besarnya. Aku pun bersedia untuk tidak memberi tahu siapapun akan rencana bepergian tersebut.

Malam itu berbeda. Bukannya masuk kamar sendiri, aku malah melenceng masuk ke kamar Bang Anggar untuk mencari tiket pesawat murah ke California, tujuan pertamaku. Lalu aku sadar, aku belum tahu tanggal berangkat Aris. Maka kuputuskan untuk menelfonnya terlebih dahulu. Karena setengah mati gembira, aku berdoa agar ia tidak mengecewakanku, semoga Tamara sedang tidak bersamanya.

"Halo, Aris?" Sapaku dengan senyuman lebar yang membentuk sebuah lesung pipit di kedua pipiku.

"Ada apa, Ran? Kok kayaknya seneng banget??" Ia juga terdengar semangat.

"Kamu berangkat ke California tanggal berapa, Ris?" Tanyaku langsung tanpa basa basi. Aku sudah lelah menunggu, jadi kupastikan aku menanyakan hal yang seharusnya kutanyakan, bukan malah membahas hal lain.

"Entahlah, lima belas atau enam belas Juni tahun depan." jawabnya. Kali ini suaranya lebih rendah dan serak.

"Oh, oke deh."

"Ada apa?" Tanyanya.

"Engga, cuma nanya aja kok," kataku lalu ia terdiam, seakan jawabannya adalah ekspresi wajah yang heran. "sampe ketemu besok."

"Iya, kamu juga," katanya lalu menutup telfon.

RealitaWhere stories live. Discover now