Bab Dua Puluh

32 3 3
                                    

Aris

29 Juni, Paris, France.

Tamara tertidur lelap di pangkuanku setelah kami menyelesaikan setidaknya tiga film drama. Aku berusaha memindahkannya ke kamar, namun ia tidak menunjukkan bahwa ia ingin bergerak.

Dadaku sesak rasanya, menyadari bahwa hal seperti ini akan berhenti terjadi sepulangnya kami ke Jakarta. Ia akan melupakanku, walaupun aku tak akan melupakannya. Penyesalan akan dimulai, pertumpahan darah. Aku tak hentinya memikirkan pedihnya rasa kehilangan.

Irana. Tiba-tiba pikiranku tertuju padanya. Aku tahu dia sedang berada di Paris, dan akan berangkat ke Belgium hari ini. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, dan koperku dan Tamara sudah siap di samping pintu. Aku menelpon Rana.

"Halo?" Suaranya pelan, aku tersenyum.

"Hai, Rana," sapaku. Ia pun terdiam selama beberapa saat.

"Hai...Aris," aku dapat mendengar senyuman dibalik napas lembutnya.

"Kamu dimana?" Tanyaku. Hatiku berdegup kencang sebetulnya, tetapi aku menahan senyuman dan teriakkan.

"Dihatimu. Eee gadeng. Di hotel, kenapa?"

Aku tertawa perlahan. Ia masih Rana yang dulu. Dan aku bersyukur, "Cuma nanya aja. Besok berangkat ke Belgia ya?"

"Iya," jawabnya lembut.

"Ketemuan yuk," ajakku. Aku rindu padanya, sungguh. Dibalik keangkuhan, kejengkelan, adalah kebohongan yang sebenaranya adalah rindu. Ya tuhan aku rindu padanya. Pertemukan kami.

"Eh, ayo! Mumpung lagi di luar nih," sahutnya antusias. Ia selalu semangat mendengar kabar dariku dan aku sebaliknya.

"Dimana?"

"Hmm, aku sih lagi ada di Lumiere, disitu aja mau?" Tanyanya. Angin seperti berhembus kencang dibalik telepon.

"Boleh. Lima belas menit ya," kataku lalu ia mengiyakan dan menutup telfonnya.

Aku pamit pada Tamara beberapa menit setelah ia terbangun. Aku segera bergegas ke Lumiere, salah satu coffee shop terkenal di Paris. Aku hanya butuh beberapa menit berjalan kaki ke tempat tersebut. Dan tak lama, aku melihat Rana.

Matahari yang masih terik, menyinari Paris dan sekitarnya dengan indah, menghangatkan kota cinta ini. Aku berjalan menuju sebuah meja besi dengan dua kursi dimana Rana duduk. Hatiku berdegup kencang sebetulnya. Tetapi masa ku katakan?

"Aris!" Sapanya padaku saat ia melihat kehadiranku. Kami berdua tersenyum dan saling tatap.

"Hey," sapaku.

"Gimana trip nya?"

"Oh, bagus, banget," jawabku.

"Sendirian aja?"

"Iya, Tamara di hotel,"

Deg. Aduh. Bodohnya aku.

"Ohh, ada Tamara segala? Asik dong ada temennya!!" Suaranya tak berubah. Ia seperti tidak peduli, hanya bagaikan angin.

"Iya heheheh, kamu sendiri?" Tanyaku padanya.

"Ng...aku sama Bang Anggar and Mba Nia," jawabnya dengan senyuman malu.

"Wiih asik juga,"

"Yaa, lumayan," ia terkikik manis.

"Yaudah, kita masuk ke dalem aja. Disini panas, Ra," ajakku. Ia mengangguk sambil berjalan menuju kedalam Lumiere.

Interiornya terbuat dari kayu berwarna gelap. Dan menyocokkan dengan namanya, banyak lampu lilin bertebaran di dindingnya. Walaupun siang itu lilin-lilin kecilnya padam. Aroma kopi bercampur krim dan susu mulai menelusuri tubuhku. Aku suka baunya.

"What're you getting?" Tanyaku padanya. "It's my treat."

"Thanks, Aris. Aku hazelnut frappucinno aja," jawabnya dengan senyuman lembut sebelum memesan kepada seorang pelayan di kasir. Ia menyapa kami dengan sapaan Prancis yang aku kurang paham. Tetapi Rana menyapanya dengan bahasa yang sama.

"I'll have the same," sahutku pada pelayan kami. Lalu aku mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar.

Kami lalu berbicara mengenai beberapa hal yang kurang penting. Dimana aku lebih banyak membuat lelucon daripada membicarakannya. Ya tuhan, aku cinta tawanya.

"Oke, jadi?" Mulaiku.
"Apa?"
"Dimana kita tadi," tawaku perlahan, diikuti dengan tawanya.
"Dimana ya?"
"Oh, yes, kuliah."
"Oh, iya. Kamu masuk mana tadi katamu?" Tanyanya.
"Trisakti," jawabku. "Kamu?"
"Masih belom yakin juga sih, tapi kayanya gak di Indonesia."

Deg. Lagi-lagi aku hancur sedikit. Sedikit. Tetapi aku tersenyum.

"Keren, dimana?" Lanjutku sebelum menyeruput kopi dingin kami. Rasanya tak terlalu pahit, bahkan tak juga terlalu manis.

"Disini? Mungkin. Atau di Amsterdam." Jawabnya. Aku sedikit kecewa. Namun apa boleh buat? Inilah yang terbaik untuknya. Dan aku tak ingin dia membebaskan mimpinya hanya karena ia tahu aku kecewa.

"Kedengarannya menyenangkan," sahutku.

"Jadi, gimana kabar Tamara?" Tanyanya sambil mengaduk minumannya.

"Ah, dia baik-baik aja," bohong. Tetapi aku tak mungkin bilang padanya bahwa Tamara sedang sakit keras. Ia tak akan peduli juga. "Lagi tidur sih dia."

"Bagus deh," senyumnya.

"Mba Nia sama Bang Anggar?"

"Hmm, sehat, sehat! Pacaran terus berdua. Mentang-mentang di Paris, tiap hari beli bunga." Jawabnya dengan tawa.

"Oh kamu mau juga? Ayo kita beli,"

"Hah?"

"Hah?" Aku spontan mengatakannya. "Ayo beli bunga!" Aku membawa kopiku lalu menarik tangannya keluar dari kafe.

Kami menuju sebuah toko bunga pinggiran dan aku membiarkannya memilih bunga kesukaannya. Lily, tentu saja. Aku memaksa untuk membelikan bunga padanya, tetapi ia kembali memaksa untuk membayarnya sendiri. Aku menolak dan memberikan uangku kepada penjual sebelum menarik Rana keluar dari toko tersebut.

"Rana," angin bertiup kencang dan aku tak kuasa menahan dadaku yang bergemuruh.

"Ya, Ris?"

"Aku pengen bilang sesuatu sama kamu," kataku sebelum menelan ludahku. Aku bergetar.

"Apa?"

--
Maap pendek dan lama bc lagi fokus un cinta ku sayang qm

Next chapter lebih asik deh kepo kan kepo yngss thanks

RealitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang