Bab Empat

76 6 0
                                    

Aku menghela nafas sambil menulis catatan yang belum kuselesaikan. Luna dan Putri sudah menungguku di luar jendela. Saat aku menoleh kebelakang, aku melihat mereka menempelkan wajah mereka ke kaca, menyuguhkanku dengan wajah-wajah konyol mereka. Aku bisa saja tertawa, tetapi ujung mataku melirik kearah Aris, dan Tamara lagi-lagi sedang bersamanya.

Selesai tidak selesai, aku keluar dari kelas. Aku tidak mau menonton dan mendengarkan percakapan mereka. Sama saja dengan jika aku menonton hatiku sendiri sedang dicabik-cabik. Namun aku berusaha melupakannya dan lebih banyak membahas hal yang lain dengan Putri dan Luna.

"Gila juga tuh si Aris. Delapan negara mau dia kunjungin," kata Luna sambil mengunyah makanannya. "eh, apa lebih ya?" Gumamnya. Aku tidak mau terlihat terlalu antusias membahas Aris.

"Ah masih lama ini. Tiket juga masih murah," sahut Putri. Aku lagi-lagi menghela nafas.

"Ya tetep aja, kan banyak banget, jauh semua lagi." Luna membantah.

"Eh udah ish kalian. Ngapain ngeributin Aris? Gue ceweknya aja cuek." candaku. Betapa mustahilnya jika ia menyukaiku. Kepedihan menghantamku keras, tetapi aku menghiraukannya.

"Ceweknya? Ga salah tuh?" Kata Luna lalu kami bertiga tertawa.

✖️

Bel berbunyi dan saat itu jam menujukkan pukul dua belas lewat empat puluh. Murid-murid dari kelas IPS mulai berdatangan ke kelas IPA, karena kelas musik akan dimulai dimana kedua kelas memiliki jam yang sama. Aris sudah lama bermain gitar, dan hari itu ia memutuskan untuk mengajarkan Tamara. Aku mencoba untuk menjadi tuli akan percakapan mereka, tetapi alangkah sulitnya. Hari itu, hanya mereka yang bisa kudengar.

"Aris, ajarin gue gitar dong." kata Tamara seakan mereka sudah lama bersahabat. "gue punya gitar tapi ga bisa main."

"Kasian lo ah sini," Aris lalu berjalan kearah pojokkan kelas dan duduk. Ia menarik tangan Tamara agar mereka duduk bersebelahan. Aku memerhatikkan gerak gerik mereka, walau faktanya aku benar-benar tidak ingin.

"Stop, jangan tarik-tarik," katanya lalu duduk di samping Aris. Wajah mereka berdua sangat bahagia. Aris begitu semangat, Tamara terlihat berbunga-bunga.

"Iya iya, maaf," sahut Aris lalu tertawa kecil. Ia mulai memainkan gitarnya, sehingga Tamara memerhatikkan gerak jarinya dengan detil.

"Rana!"

"I..Iya??? Kenapa pak?" Jawabku kaget setelah seseorang memanggilku, ternyata itu guru musikku, Pak Lukas.

"Kamu ngapain daritadi bengong ngeliatin yang lagi pacaran?" Tanyanya. Aku tersenyum palsu.

"Engga kok, saya ga ngeliatin mereka. Cuma..." kataku, tapi terpotong.

"Cuma apa? Udah mending kamu, Putri sama Luna, latihan vokal sama saya." katanya lalu aku berdiri dan berjalan kearahnya.

Latihan vokal hari itu tidak berjalan lancar karena aku kurang fokus. Alasan pelajaran dan pekerjaan rumah tampaknya tidak lagi relevan. Maka aku mulai membuka rahasia kepada guru musikku yang menjadi favorit semua orang.

Bukan hal yang sulit bagiku untuk bercerita kepada orang lain. Mungkin karena aku jarang mempercayai orang dan belum pernah dikhianati sebelumnya. Aku belum pernah belajar tentang mengkhianati dan dikhianati, dan aku tidak ingin mencobanya.

✖️

"Rana, ayo keluar, makan malem udah siap," panggil bang Anggar. Malam itu juga ada Gio, ia sedang menginap karena orang tuanya sedang pergi ke luar kota.

"Iya, bentar bang!" Sahutku. Aku berusaha menyibukkan diri, tetapi sungguh, tak ada yang bisa ku lakukan.

"Cepetan, ditungguin Ibu," suaranya mendekat seperti menembus pintu. Aku lalu berjalan keluar kamar dengan lesu.

"Halo, Rana," sapa Gio. Aku hanya bisa melambaikan tangan karena terlalu malas berbicara. "gue denger lo mau jalan-jalan ya taun depan?"

"He-eh," gumamku. Kami berdua berjalan menuju meja makan dimana Ayah dan Ibu sedang menikmati makan malam mereka. Aku tidak ingin makan, walau rasa lapar sudah merasukki tubuhku.

"Negara pertama apa Ran?" Tanya Anggar. Aku berfikir sebentar, mencoba mengingat tanggal berangkat Aris.

"Umm...Amerika sih..California." jawabku, "trus Atlanta." lanjutku. Tujuan pertama Aris mungkin dari yang paling jauh, ke yang paling dekat dengan Indonesia. Aku punya kemungkinan kecil untuk bertemu dengannya, tetapi aku meyakinkan diri untuk menjadi kuat mencarinya.

"Sendiri?" Tanya Gio, sambil mengunyah. Kami semua sedang mengunyah. Porsi makanku jauh lebih sedikit dari biasanya. Aku mengangguk. "kayaknya kamu lagi diet ya?"

"Engga, bang. Cuma ga niat aja." aku menghabiskan makananku dan pergi dari meja makan secepatnya. Karena bang Anggar dan Gio sudah sangat lama bersahabat, maka aku memanggil Gio dengan panggilang Bang juga.

Kamarku begitu sunyi walaupun speakerku sudah menyala dengan lagu-lagu terkenal era delapan puluhan. Aku memang suka lagu-lagu yang ayahku dengarkan. Tetapi hari itu aku benar-benar tuli akan semuanya. Pikiranku kosong, hanya terisi dengan Aris dan Tamara. Bagaimana jemari Aris menyentuh jemari Tamara, bagaimana mereka saling berbagi cerita dan tawa, bagaimana mereka saling mengajari dan mungkin, dengan kemungkinan yang lebih dari besar, saling mencintai. Aku tak bisa bilang aku sakit hati, karena aku dan Aris tidak pernah dekat, apalagi menjalin suatu hubungan.

RealitaWhere stories live. Discover now