Bab Sembilanbelas

36 4 0
                                    

27 Juni, Paris, France.

Aku terbangun. Tentu saja. Dan matahari Paris sangatlah terik. Sinarnya masuk ke kamarku melalui jendela yang telah dibuka oleh entah Mba Nia atau Bang Anggar. Pikirku pergi jauh, melayang entah kemana. Aku merasa bodoh, mengejar sesuatu yang tak akan kudapatkan. Mengejar sesuatu yang tak menghargai usahaku.

Aku bangun dari tidurku dan mencari setidaknya sebuah apel untuk mengisi perutku sambil menunggu waktu sarapan yang tepat. Aku melihat keluar jendela dan membubarkan sekumpulan burung gereja yang sedang berkicau. Aku dapat melihat Eiffel dari balkonku, cerahnya matahari pagi yang membalut Paris dengan kehangatannya.

"Eh, udah bangun," kata Mba Nia. Senyumnya tetap cantik. Andai aku bisa menjadi bahagia sepertinya. Tak pernah ada tetesan tangis keluar dari matanya; atau paling tidak, ia menangis tanpa diketahui orang lain selain Bang Anggar yang dapat menenangkannya. "Mau sarapan sekarang?"

"Um, terserah Mba aja. Aku ikutin," senyumku.

"Kamu kenapa, Ra?" Tanyanya, berjalan menghampiriku tanpa terdengar.

"Gapapa, mba. Agak laper, sih," tawaku perlahan. Aku tidak menginginkan tawa itu, tetapi setidaknya aku harus terlihat bahagia, di Paris.

"Oh yaudah, ayo kita makan dibawah deh," ajaknya. Tangannya menarik tanganku, tetapi aku berhenti sejenak.

"Tar dulu, eh...! Belom ganti baju mba!!" Teriakku. Mba Nia hanya tertawa lalu mengangguk. Akh mengaguminya, sungguh. Semua yang ia lakukan seakan begitu sempurna dengan sentuhan senyuman lembutnya yang khas. Bibirnya tidak terlalu menunjukkan kegembiraan, tetapi polesan simpul yang sopan dan positif. Dan cantik.

Sepiring croissant, semangkuk selai dalam berbagai rasa, bermacam-macam merk butter tersedia di meja yang mewah ini. Croissant hanyalah pemula, selanjutnya adalah menu prasmanan yang tertata rapi di sebuah meja panjang dan tak hentinya diperbaharui.

Di tengah keramaian dan tawa, pikiranku tertuju pada Aris. Hahaha apa mauku. Aku sudah setengah lelah dengannya. Aku tahu ia tidak menyadariku mengejarnya. Bodohnya aku.

"Rana?" Panggil Bang Anggar. Mereka berdua selalu menyadari jika aku tak fokus. Aku menoleh padanya. "Makan."

"Iya, Bang," aku menggapai sebuah croissant dan memotong bagian tengahnya untuk diisi dengan selai dan mentega.

✖️

Kami kembali ke kamar dua jam setelah menyelesaikan sarapan, lalu aku memutuskan untuk menghilang sesaat. Aku mandi seadanya, lalu mengenakan sebuah kaus abu-abu, jins hitam berlubang dan sepatu Adidas berwarna putih. Matahari lumayan terik siang itu, walaupun anginnya cukup sempurna di dominasikan dengan hangatnya suhu Paris.

Sebuah kamera kukalungkan, lalu aku mengambil banyak foto pemandangan indah Paris. Seorang lelaki menghampiriku. Wajahnya familiar; aku pernah bertemu dengannya. Dia bukan Jack.

"Matt?" Sapaku penuh tanya. Matanya berkilau cerah.

"Rana," ia menyapaku, lalu menghampiriku untuk mendekapku erat.

"Hey, sedang apa kau disini?" Aku membalas pelukannya.

"Berkeliling kota," tawanya perlahan. "Come with me."

"Hah? Where?"

"Anywhere," sahutnya, menarik tanganku ke arah sebuah mobil Porsche berwarna silver. Aku meragukannya, tetapi bukankah aku berencana untuk menghilang?

"Alright," aku menggapai tangannya, lalu ia menuntunku lebih jauh kearah mobilnya.

Ia membuka atapnya, lalu sinar matahari menyorot kepala kami. Matt melaju kencang dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya. Ia mengajakku pergi ke Monte Carlo, dan menyebutkan bahwa perjalanan akan terasa lama, bahkan kami tidak akan bisa menghabisi hanya sehari disana.

"Where's Monte Carlo?" Tanyaku padanya. Rambutku berkibar dengan semangat.

"The edge of France, I guess," jawabnya sambil mengganti tongkat transmisi.

"There are beaches?"

"Yeah, and fancy livings," tawanya lembut lalu melajukan mobilnya lebih cepat.

Kami sampai di Monte Carlo tepat pukul enam, dimana matahari sudah mulai menghilang. Kami berhenti sebentar di sebuah hotel mewah, Hotel de Paris, lalu mobilnya melaju kembali kearah sebuah pantai. Langit yang masih cukup terang membuat pantai diramaikan banyak kalangan, termasuk Matt dan aku.

Pantainya berpasir putih, lautnya berwarna biru cerah, menyatu dengan indahnya langit. Matt segera memesan dua gelas virgin Mojito dan sepiring pizza untuk kami berdua. Aku duduk di sebuah kursi berseberangan dengan kursi Matt, dan kami pun menikmati indahnya matahari terbenam. Aku tak pernah melihat langit seindah ini. Seperti hasil karya Tuhan dengan goresan ungu, biru dan merah terang. Aku mengabadikan momennya. Matt juga bersedia untuk mengambilkan fotoku dengan indahnya langit.

"How'd you like Monte Carlo?" Tanyanya selagi kami berjalan menyusuri pertokoan kecil yang menjual berbagai macam buah.

"It's beautiful! I took hundreds of pictures," sahutku semangat. Kami berhenti di sebuah toko bunga yang sudah hampir tutup.

"Ini, untukmu," ia membalukkan badan kearahku, lalu memberiku sebuket bunga lily yang cantik.

"Wow, terima kasih, Matt," senyumku sambil mencium bunga lily pemberian Matt. Jarang sekali aku diberikan bunga oleh siapapun.

Kami kembali ke Paris pada pukul tujuh, dan sampai pada pukul duabelas. Ia tidak langsung mengantarkanku pulang. Aku membawa bunga pemberiannya kemanapun kami beranjak. Termasuk taman Eiffel. Kami duduk di sebuah bagian dari tamannya, tidak di kursi, tetapi di rumput. Lalu kami menatap indahnya bintang-bintang di langit.

"Have you met Aris?" Tanyanya.

"No," aku menghela napas panjang. Aku bahkan lupa tentangnya saat aku bersama Matt. Aku lupa akan tujuanku saat aku mengelilingi Monte Carlo bersama Matt.

"Perlu bantuanku?"

"No, it's not just Paris. It's Amsterdam, India, Vietnam, it's all over the world," jawabku.

"You're going around the world to look for your world?"

"Iya," senyumku malu. Aku baru menyadarinya. Tetapi apa definisi dari your world? Apakah sesuatu yang kita tinggali? Atau sesuatu yang berarti segalanya bagi kita? Ataukah sesuatu yang sangat kecil? Atau sangat besar? Aku tak akan pernah tahu.

--

Hai omg maaf lama dan pendek I'm running out of ideas!

Anyways Happy New Year's Eve buat kalian semua pembaca setia realita i love you all jangan lupa baca ceritaku yang lain ya! Lovelove

RealitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang