Bab Tujuh

51 4 0
                                    

Tak perlu dipertanyakan lagi, tentu Aris segera menyapa Tamara dengan senyuman lebar. Aku berdiri dan beranjak dari tempat tadi, menuju kamar Luna yang luas dan bersih. Aku menjatuhkan diri ke kasurnya. Sunyi. Sepi. Aku bahkan tak mendengar ocehan orang-orang di luar. Serasa seperti benar-benar sendiri. Membayangkan kehidupan - yang sudah kulalui, yang akan kulalui dan yang tak mungkin kulalui.

Bagaikan matahari dan purnama. Tak mampu bersatu.
Bagaikan matahari dan senja. Hanya melewati satu sama lain.
Bagaikan senja dan purnama. Hanya bisa menyapa.
Kami bukanlah malam dan purnama. Yang selalu bersama, tak peduli apa rintangannya, melalui siang dan terang, melalui hujan dan badai, pada akhirnya bulan dan malam akan selalu bertemu.
Kami adalah siang dan malam. Mustahil untuk bersatu. Apakah matahari selalu berusaha bertemu bulan? Apakah malam selalu berusaha bertemu siang? Sepertinya tidak. Matahari harus berdiam diri, karena nampaknya bulan sudah memiliki bintang-bintang yang menemaninya, yang jauh lebih indah. Yang jauh lebih berarti.

Aku membuka mataku. Tersenyum karena dapat kembali ke realita. Menegakkan badanku, aku menghela nafas sambil memerhatikan sekitar. Pandanganku teralihkan ketika Luna membawa masuk beberapa saudara kecilnya, membiarkan mereka memberantaki ruang tidurnya.

"Loh, ngapain disini Ran?" Tanyanya. Ia tampak sangat cantik hari itu. Aku lalu menatapnya. Mataku ingin berkaca-kaca rasanya, tetapi aku menahan emosi yang akan meledak di dalam diri. "Oh...Tamara ya?" Aku mengangguk dan berdiri lesu. Bibirku terasa kering karena gugup. Entah mengapa aku gugup. Tanganku sedikit bergemetar.

"Mau makan? Mau es krim? Minum mau??" Tanya Luna padaku. Ia memang sangat perhatian terhadap sahabat-sahabatnya. Aku menggeleng lemas. Aku hanya butuh tidur, sendiri. Itu saja.

"Lunaaaaa!!!" Putri mendobrak pintu sekuat tenaga, padahal tidak dikunci. Selemas apapun aku hari itu, mereka berdua akan tetap membuatku merasa semangat. "Rana kenapa ya ampun sedih amat muka lo?"

"Tuh si drama queen pake dateng. Siapa coba yang ngundang?" Kata Luna lalu tertawa. Kami bertiga membuat lingkaran tak sempurna di ranjang. Anak-anak kecil tadi bermain di karpet, entah main apa tapi mereka terlihat bahagia. "Kalo nyokap gue tau ceritanya, ga bakal diundang deh. Yakin."

"Tamara ga salah sih. Secara, dia gatau apa-apa gitu. Trus kita mau nyalahin dia karena doyan ama cowok lo yang ga peka itu?" Sahut Putri. Aku tidak kesal ia bicara seperti itu. Ada benarnya. Tamara memang tidak salah. "Cuma ya...GAUSAH SE NEMPEL ITU JUGA BOLEH KAN???"

"Hmm. Udah, cari cowok lain aja napa, Ran. Lo ga capek apa ngurusin dia mulu padahal dia ga ada peka-pekanya sama sekali?" Tanya Luna sambil mengelus rambutku dengan lembut. Aku terhanyut dalam memori. Ingatan yang manis - Aris yang berbicara lembut padaku, yang mengembalikan laptopku, yang tersenyum manis di hadapanku.

"Tapi dia beda loh..kalo cuma sama gue doang," jawabku pelan. Mereka berdua menatapku bingung. "Dia kaya..jauh lebih baik, ga angkuh, murah senyum."

"Ya baguslah. Tapi lo liat kan kalo dia di depan Tamara gimana?? Di depan bamyak orang lagi." Putri membantah. Mereka dulu setuju aku menyukainya. Tetapi setelah menyadari seberapa tersakitinya aku karena Aris, mereka melarangku untuk mencintainya lagi. Sulit bagiku untuk melepaskannya. Tapi akankah semua menjadi lebih sulit jika aku bertahan?

RealitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang