Bab Enam

45 5 0
                                    

"Rana!! Bangun Rana! Udah jam berapa ini??" Ibu membangunkanku. Matahari menyoroti sinarnya tepat ke wajahku, lalu membuatku membuka mata.

"Duh, bu," sahutku, memutar badan ke arah sisi lain. "baru jam tujuh."

"Jam tujuh, jidatmu? INI JAM DUA BELAS. REUNI KELUARGA SAMA TEMEN-TEMEN JAM DUA." teriak Ibu. Demi tuhan aku terlalu lelah untuk hal seperti itu. Tetapi terpaksa aku membersihkan diri, mengenakan baju rapi dan semacamnya, karena acara seperti itu hanya dirayakan dua tahun sekali. Dan akan melewatkan semuanya jika melewatkan acara ini.

"Bu, pak Joko udah siap tuuuhh!!" Bang Anggar tiba-tiba masuk ke kamarku.

"Ini, loh, Rana, leletnya setengah mati," kata Ibu sambil menyisir rambutku. Lalu ntah mengapa Aris kembali muncul di pikiranku. Namanya selalu tertulis di seluruh tubuhku. Menatap wajah sendiri, aku mengingatnya. Menatap wajah Tamara, aku mengingatnya. Rasanya ingin kulepaskan dia dari pikiranku, dari hatiku. Tapi ntah mengapa itu sangat mustahil.

"Ayo, ayo, aku udah siap," kataku. Baju yang kukenakan hari itu berwarna putih, dengan hiasan emas di bagian leher dan ujung lengan. Bentuknya panjang seperti kaftan.

"Bu, Nia ikut gapapa kan?" Kata Bang Anggar.

"Iya gapapa, dia udah dateng kan?" Tanya Ibu. Gerakannya tergesa-gesa, terburu-buru.

"Iya tuh udah di bawah," sahut Bang Anggar yang bergegas turun kebawah. Ditemukannya seorang perempuan langsing, cantik, kulitnya putih, senyumannya manis, mengenakan kaftan berwarna ungu keabuan. Rambutnya terurai cokelat tua. Suaranya yang lembut menyapaku dan Ibu.

"Mba Nia cantik banget," kataku terkagum. Kecantikannya memang tidak pantas dipertanyakan.

"Ah kamu juga," jawabnya. Lalu telfonku berdering keras, bergetar di dalam genggamanku. Aris.

"Iya ada apa Ris?" Sapaku di garis telfon. Sunyi sejenak sebelum suaranya terdengar.

"Eh...ini, mau tanya, hari ini kamu dateng?" Tanyanya. Aku bingung sejenak, ikut apa? Dia mengundangku ke suatu tempat dan aku melewatkannya?

"Hah? Acara apaan??" Tanyaku kaget. Aku tidak ingin melewati kesempatan bersama Aris. Walaupun harus melewati reuni bersama Ibu.

"Itu loh, reuni Ibu mu," sahutnya.

"OHHHH!!!" Teriakku bersyukur. "Kamu diundang juga toh?? Iya iya aku dateng kok. Fiuh kirain apaan."

"Semangat banget," tawanya. Sudah lama aku tak mendengarnya tertawa karenaku. Sering, saat ia bercanda dengan Tamara. Semoga dia tidak hadir nanti. "Yaudah, sampe ketemu nanti. Daa Rana."

Aku bergegas memasukkan barang-barang ibu dan tiba-tiba aku semangat. Aku tidak pernah merasakan api di dalam diriku yang begitu membara. Sampai-sampai aku lupa akan siapa diriku. Walaupun sekeluarga sudah tak asing dengan kebahagiaanku yang tiba-tiba datang, yang mereka konklusikan berhubungan dengan Aris, mereka akan tetap mempertanyakan mengapa aku begitu senang, atau mengapa aku selalu tersenyum.

✖️

"Rana!" Sang pemilik rumah menyapaku, yang tak lain adalah Luna. Ternyata orang tua kami sudah lama tak bertemu, maka dibuatlah sebuah acara reuni sekaligus arisan tahunan. Jarang juga anak-anak mereka dibawa ke acara seperti ini.

"Hey, ada Tamara ga?" Tanyaku sambil berjalan menuju ruang tamu, dimana Aris sedang duduk diam dengan telfon genggamnya. Masih aja malu-malu, pikirku.

"Insyaallah sih ga ada," kata Luna lalu tertawa. "Gue juga males ketemu dia Ra." Kami berdua duduk di seberang Aris. Aku mengunci pandanganku padanya yang belum menyadari keberadaanku. Aku tersenyum seraya memerhatikannya bingung harus apa. Lalu ia melihatku dan membalas senyumanku dengan malu.

"Eh iya, Aris kok diem aja?" Tanya Luna lalu menarikku berdiri, mendorongku duduk di samping Aris dan membiarkan kami sendiri. Ditinggalkan.

"Halo," sapaku. Hatiku berdebar keras. Kerah baju Aris juga tampak bergetar, entah karena apa. Yang pasti suasana saat itu sangat intens dan kaku.

"Hai," jawabnya padaku. Pandangannha lurus kedepan. Tak sekalipun ia melirik kearahku. Aku duduk agak condong kearahnya, wajahnya terlihat canggung.

"Udah lama disini?" Tanyaku lalu mengambil setoples nastar.

Ia mengangguk, "lumayan. Sejaman lah."

Lalu aku mengangguk setuju. Pintu depan rumah Luna kembali terbuka lebar, satu lagi keluaga besar datang untuk bersilaturahmi. Ntah apa judul acaranya tapi banyak orang yang kukenal dan yang tidak kukenal. Muncullah seorang perempuan tinggi, sangat langsing. Tubuhnya dibalut dress berwarna salmon pastel, rambutnya terkepang longgar. Ia tersenyum kearahku dan Aris.

Tamara.

RealitaWhere stories live. Discover now