Bab Lima

52 5 0
                                    

Hari Sabtu tanggal dua Juli, aku memutuskan untuk mulai mencari dan memesan tiket-tiket pesawat ke semua tujuan. Memang dibutuhkan uang yang sangat banyak, tetapi Ayah sudah setuju membayarkan semuanya. Ayah adalah yang paling mendukukngku dengan keputusan apapun yang kubuat. Apalagi soal pergi dan belajar, Ayah delapan puluh persen berpengaruh pada jadi atau tidaknya.

Aku meminta bantuan bang Anggar dan Gio untuk mencarikan tiket pesawat karena sebelumnya aku sendiri benar-benar kesulitan. Kami mencari beberapa tiket pesawat untuk tujuan berbeda dari negara yang berbeda pula. Di setiap negara aku akan menghabiskan empat sampai lima hari, sama seperti Aris. Aku sempat banyak bertanya tentang rencananya. Sebuah pertanyaan terngiang di dalam otakku. Bagaimana jika aku tidak bertemu Aris di semua negara? Namun aku mencoba menjadi optimis, bahwa tak ada salahnya menjelajahi beberapa negara sendirian. Aku sudah cukup lelah berada di Jakarta.

Terlalu lelah rasanya untuk melanjutkan pencarian tiket pesawat untukku. Kami bertiga memutuskan untuk istirahat sebentar. Bang Gio, Bang Anggar dan aku sudah memesan setidaknya empat tiket. Aku juga sudah mencari hotel di empat negara tersebut. Waktu istirahat kami gunakan untuk berbincang dan setidaknya menikmati minuman kaleng dari lantai bawah. Lalu aku bersandar pada beberapa bantal. Memejamkan mataku, aku mulai bermimpi.

✖️

Aku bahkan tak sadar aku sudah tertidur lelap hingga kedua laki-laki yang membantuku tadi sudah lenyap entah kemana. Hujan deras memukul jendela kamar, aku mengenakan baju hangat dan bergegas keluar. Di lantai bawah, banyak keluarga berdatangan. Aku tak ingat ada acara apa hari itu, tetapi yang pasti aku mengenali beberapa wajah mereka. Aku berjalan menuruni tangga, disaksikan setidaknya dua puluh orang dewasa dan delapan anak kecil. Aku menguap, jiwaku masih setengah tertidur dan aku tak siap untuk keramaian seperti ini.

Kerap kali aku mengasingkan diri pada acara-acara keluarga. Tetapi pada akhirnya aku tetap saja keluar kamar. Entah aku bosan dengan diriku sendiri atau ibu dan ayah memanggilku.

Aris tak pernah ada habisnya untuk terlintas dalam pikiranku. Apapun hal yang sedang ku pikirkan, bayangannya selalu muncul di kepalaku. Aku pernah beberapa kali mencoba melupakannya, bahkan membuatnya pergi dari hidupku. Tetapi aku sadar, bahwa ia tidak pernah masuk. Hanya aku saja yang terlalu mencintainya.

Akhir-akhir ini, seorang perempuan bernama Rania sering datang kerumah. Ia memperkenalkan diri sebagai teman Bang Anggar. Dari sorot mata mereka berdua, dan senyum terhadap satu sama lain, memang berbeda dari ucapan hanya sekedar teman. Aku yakin, mereka memiliki perasaan terhadap satu sama lain. Rania, atau akrab kusebut Mba Nia, sangat sering mendengarkan cerita-ceritaku. Mulai dari yang menyenangkan, hingga yang menyedihkan, ia sudah dengar hampir semua. Kata Aris selalu muncul di setiap cerita. Ia selalu tersenyum. Sorotan matanya sangat bahagia. Hari itu ia datang ke rumahku pukul tujuh malam. Lalu aku mengundangnya ke kamarku.

"Wah, lemari baru ya?" Katanya, menjatuhkan diri ke ranjangku.

"Ah engga, itu dari kamar Bang Anggar, dia baru lagi lemari nya," aku duduk di sampingnya, memerhatikan raut wajahnya yang selalu tersenyum itu. Tubuh langsingnya seringkali dibalut gaun selutut yang membuatnya tampak cantik.

"Gimana Aris?" Tanyanya padaku lalu tertawa kecil.

"Baru aku mau tanya tentang Bang Anggar," tawaku.

"Lah, kamu adeknya, Ran," ia tetap tersenyum malu, sebelah matanya kadang tersapu rambut cokelat tuanya yang diurai.

"Engga, maksudnya...hubungan Mba Nia sama Bang Anggar," senyumku, mendekap wajahku dengan bantal.

"Hubungan apa? Kita cuma temen kok,"

"Mba, aku udah tau..Bang Anggar udah cerita. Apa perlu aku ceritain ulang?" Sahutku lalu ia tertawa. Jelas saja Bang Anggar cinta mati padanya. Caranya tertawa saja sudah memukau, senyumnya manis, tubuhnya sempurna dan ia adalah definisi cantik.

"Iya deh, terserah kamu aja," katanya pasrah, dengan senyuman manis yang selalu ia berikan kepada siapapun. "beruntung loh aku, bisa dapetin abangmu itu." Seharusnya Bang Anggar merasa lebih beruntung.

"Lah, kenapa emangnya dia?" Tanyaku. Rasanya aku ingin menjalani hubungan seperti mereka - apa adanya, tak menuntut kesempurnaan tetapi menyempurnakan satu lain.

"Dia orang yang baik, pendiam dan sulit diajak bekerja sama. Tetapi dia udah menginspirasi banyak orang," jelasnya. "termasuk aku."

Aris kembali muncul di pikiranku. Entah mengapa, setelah keburukan yang telah ia perlakukan terhadapku - atau mungkin hanya perasaanku saja - aku masih menganggapnya sempurna. Ia telah banyak memotivasiku untuk menjadi lebih baik.

RealitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang