Bab Sepuluh

68 7 0
                                    

Aku suka faktanya.
Entah fakta atau mitos tetapi aku percaya saja, bahwa - jika ia tak mencintaimu seperti yang kau inginkan, bukan berarti ia tak mencintaimu - meringankan beban-beban pikiran yang kembali mengulang nama Tamara dan Aris. Akhir-akhir ini aku selalu bersama Aris. Ia mengantarku pulang, pergi, membeli makan dan sebagainya, karena Ibu dan Ayah belum pulang dari Surabaya. Kami menghabiskan waktu berdua, melupakan Tamara yang tak kunjung datang. Ia menghilang entah kemana, tapi tak ada dari kami berdua yang mencarinya.

"Rana, kok lo akhir-akhir ini main sama Aris? Ga takut diomelin Tamara?" Bisik Luna. Saat itu sedang pelajaran Sejarah. Aku duduk di antara Aris dan Luna, di barisan kedua dari depan.

"Kenapa coba Tamara marah? Kan aku punya hak untuk deket sama siapapun. Lagian emang dia punya status sama Aris?" Bisikku sambil tersenyum bangga. Walau aku sebenarnya takut. Bibir Tamara bisa dengan mudahnya mengeluarkan keburukanku yang tak pernah terjadi. Ia bisa memfitnah dalam semua bahasa, dan siapapun akan percaya.

"Iya sih. Tapi kan lo tau dia," kata Luna sebelum kembali menulis catatan yang ada di papan tulis. Aku mungkin takut, tetapi aku tak akan terlalu peduli.

✖️

Seperti biasa, Aris mengantarku pulang. Walaupun Tamara memerhatikan dari kejauhan dan kami berdua menyadarinya, kami tak terlalu peduli.

Aku mengenakan helm cadangan milik Aris dan berpegang erat kepadanya; melingkarkan lenganku di sekitar pinggangnya, sebelum ia melaju kencang. Aku dapat merasakan dinginnya udara musim hujan menyentuh kulitku. Tetesan embun dan serpihan angin merambat lembut di sekelilingku. Aku tersenyum, tersipu sendiri. Alangkah menyenangkannya; jika saja aku dapat melakukannya setiap hari selama seumur hidup. Menunggunya selesai berbincang dengan sahabatnya, menunggunya mengajakku pulang dengannya, menunggunya memberiku helm miliknya, dan seterusnya.

Yang lebih menyenangkan adalah bahwa aku tak akan kehilangannya, karena aku tak pernah memilikinya. Bagaimana kau kehilangan sesuatu yang tak kau miliki? Mustahil hukumnya.

✖️

"Thanks ya, untuk ke sekian kalinya," kataku, melepaskan helmnya dari kepalaku, lalu memberikan padanya.

"Ga masalah. Kalo kamu butuh seseorang untuk nganter kemanapun, ada aku," katanya, mengikuti jejakku masuk. Setiap kali ia mengantarku pulang, Mba Nia selalu saja menyajikan berbagai macam hidangan kecil beserta teh. Walaupun Aris sudah mengatakan tidak, terimakasih, mba Nia tetap bersikeras untuk menyuguhkannya. Jadi Aris sudah bisa menganggap rumahku sebagai rumahnya.

Hari itu sudah hari kelima setelah Ibu dan Ayah pergi keluar kota untuk bekerja, dan hari keempat mba Nia menetap dirumahku. Walaupun suasananya lebih ramai, aku lebih suka. Dulu aku lebih memilih suasana sepi dan tentram, tetapi yang berisik dan rusuh ternyata lebih menyenangkan.

Bang Anggar sering mengundang kawannya, termasuk Bang Gio, untuk bermain di rumah kami sampai pagi, bahkan menginap hingga beberapa hari. Aku kadang ikut bersama mereka; terbangun hingga larut, hingga matahari kembali terlihat. Aris seringkali menjawab pesan yang kukirim saat itu juga. Ia sering menanyakan mengapa, bagaimana dan dengan siapa aku masih terbangun. Aku hanya bisa tersenyum, lalu dipertanyakan.

Aris: Ranaa
Irana: iya ris kenapa?
Aris: laptopmu ketinggalan di sekolah. Lagi.
Irana: oh..iya nanti aku ambil. Thanks.
Aris: hahahaha gausah. Aku udh dibawah. Turun dong.
Irana: hah????? Ini kan jam tiga pagi!!!

Aku berlari ke lantai bawah, melihat lelaki menghadap fotograf tua milik Ayah di atas piano. Lalu ia juga melihatku. Aku menyapanya, kebingungan dengan tawa yang terdengar dari luar rumah.

"Itu siapa diluar?" Tanyaku selagi berjalan menghampirinya. Ia tersenyum lebar.

"Bang Anggar, Gio sama Rangga," jawab Aris sembari memberiku laptop yang selalu saja tertinggal di sekolah. "Aku disini sebentar ya. Nginep boleh?"

"Hah??"

"Nginep, boleh?"

"Hah? Ohhh, boleh boleh!" Sahutku sambil tertawa polos, meletakkan laptopku di sofa. "Mau tidur dimana?"

"Dimana aja. Mama sama Papa lagi pergi, jadi sepi dirumah dan..lebih seru disini." Katanya meletakkan tasnya di lantai sebelum menaik tanganku keluar. "Eh iya, bentar." Ia berlari kembali kearah tadnya, merogoh sesuatu dan menariknya keluar. Ia membuatku menutup mata, berbalik badan, dan melakukan hal-hal seperti akan diberikan kejutan. Kuharap. Jantungku berdegup kencang, merasakkan seseorang mengenakanku sebuah kalung.

"Ris?" Panggilku.

"Shhh bentar, dikiiiit lagi.." Ia berusaha memasangkan sesuatu. "Anddd oke selesai. Buka matamu." Aku membuka mata dan secara otomatis menghadap kearah kaca.

"Apa nii?" Tanyaku sambil tersenyum, menggapai kalung yang ternyata benar-benar ia pasangkan. Kalung itu terbuat dari perak, berbentuk dua burung merpati.

"Baca tulisan dibalik merpati itu," jawabnya malu. Ia terlihat bangga dengan kejutannya.

Irana & Aris

Aku kesulitan bernapas. Jantungku berhenti berdetak. Kakiku hampir terjatuh lemas.

Aku menatapnya.

RealitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang