Bab Delapan

79 6 0
                                    

Tak terasa matahari sudah tidak menunjukkan sinarnya. Berganti dengan bulan yang cahanya kalah hebat dari sang surya. Tubuhku terasa sangat lelah, namun jalan raya Jakarta hampir tak pernah tak padat. Aku juga tak punya sesuatu untuk dilakukan di mobil. Ibu duduk di depan bersama Ayah, bang Anggar seperti biasa di sampingku. Ia tampak sangat bahagia, tanpa hentinya tersenyum, mungkin sedang berbicara dengan Mba Nia.

Sesampainya di rumah, aku langsung memanaskan air untuk membuat teh hangat. Malam yang dingin dan berembun membuatku bergidik selagi menunggu air untuk berbuih. Tercium harum gula dari dalam gelas seraya aku mengaduknya agar larut bersama teh hijau yang pahit, membisikkan kehangatan dengan uap.

Terngiang nama Aris selagi aku memangku buku harianku, yang mana hampir seluruh lembarnya terisi dengan nama lengkap Aris; Ramadhanika Aris. Tulisan-tulisan di dalam buku tersebut kutumpahkan dengan perasaan. Sungguh, kadang aku terlalu benci dengan diri sendiri sehingga memberi terlalu banyak tekanan pada kertas - membuat tulisannya terlihat tebal, namun sulit terbaca, tertulis dengan emosi sehingga ujung pensil yang kugunakan patah di tengah kata. Jika aku menggunakan pena, akan terlihat tetesan air mata yang mengering, menyamarkan goretan pena biru yang menuliskan syair lagu dan puisi. Beberapa kalimatnya tidak diselesaikan dengan sempurna, karena kadang aku merasa terlalu lelah untuk tetap menulis.

Saat cangkir teh ku mulai dingin - sedingin suhu kamarku, aku merangkul bantalku dan memejamkan mata sesaat. Aku menghela nafas dan menatap kearah atap, membayangkan skenario-skenario mustahil di hidupku, seperti; bertemu Aris di salah satu negara yang akan kukunjungi nanti.

Itulah mengapa aku sering lari dari kenyataan. Dari realita. Namun aku belum sempat mengerti sepenuhnya, apa arti realita yang sebenarnya. Apakah realita selalu pahit? Selalu buruk, karena tidak sesuai harapan? Adakah salahnya kita tinggal di kenyataan? Aku selalu menunggu waktu yang tepat untuk mengerti betul apa definisi realita. Dan haruskah kita lari?

✖️

Hari Sabtu itu hujan turun perlahan, membuat dentaman halus di jendelaku. Sarapan sudah kuhabiskan tanpa harus bertemu dengan seisi rumah. Aku memang terkenal suka menyendiri, walaupun berteman bukanlah hal yang kubenci. Pagi itu, aku memutuskan untuk mencari puisi, frasa ataupun kata-kata yang terukir, yang mendefiniskan realita. Sebetulnya hal itu bukan hal sulit. Lalu aku menuliskan apa yang ada di pikiranku.

Realita.

Tak seindah fantasi, memang.
Apa yang kita bayangkan; imajinasikan, selalu lebih tinggi dari kenyataan.
Tetapi, harapan tak selalu datang.
Dan nampaknya semua orang tau itu.
Dan semua orang tetap menciptakan fantasi.

Singkat cerita, apakah realita selalu berhubungan dengan kepahitan? Tidak. Bersyukurlah, maka kau akan bahagia dengan kenyataan, walaupun itu tidak sesuai harapanmu. Tetapi yakinlah bahwa jika kau bersikeras untuk menjadi bahagia dengan apapun pilihanmu, maka realita-lah dimana kau harus menetap.

Ku tutup buku-ku, menghela nafas dengan kepuasan. Aku tak perlu bantuan siapapun untuk yakin akan arti realita. Walaupun belum sepenuhnya. 

Matahari sudah berada diatas kepala, aku masih berada di ranjangku. Aku hanyalah lelah, sangat lelah. Padahal aku belum melakukan apapun hari itu.

Aku hanya bisa mengulang kata-kata di kepalaku. Entah manis atau pahit, kata cinta berputar perlahan di otakku. Luna dan Putri mulai berkicau di media sosial. Aku hanya bisa tersenyum membaca ucapan mereka yang humoris.

Aku meraih sebuah novel berdebu dari rak buku di dalam kamarku. Novel tersebut masih tertulis dalam sastra Indonesia kuno, dimana u adalah oe, j adalah dj dan y adalah j, dan sebagainya. Tulisannya terlihat memudar dengan warna kertas yang kecokelatan dan berdebu. Aku sudah setengah jalan membaca buku itu. Puitis dan menyentuh hati dengan segala cara.

Kembalilah padaku, jika kamu benar-benar menginginkanku. Di dermaga aku akan menunggu hangatnya senyumanmu. Aku tak sabar, tetapi apa jika kau tak kembali?

Semua harapan tertulis dengan sempurna, tanpa ada salah ejaan. Aku bisa saja menangis sewaktu membaca buku ini; buku tentang lelaki yang menunggu kekasihnya untuk kembali, di dermaga, walaupun dia tahu kekasihnya tak akan pernah kembali. Karena dia sudah tiada.

✖️

Aku membersihkan tubuhku, lalu mengenakan gaun putih yang membalut tubuhku dengan sempurna. Bahannya lembut dan elastis, mengikuti lekukan badan yang kumiliki. Gaun itu pemberian Mba Nia. Merk gaunnya adalah Alexander McQueen. Hidup Mba Nia memang sempurna. Rupanya yang cantik dan menawan, pikirannya yang bersih dan pandai, hidupnya mewah tetapi ia sangat rendah hati, seakan kesempurnaannya tidak berwujud. Lalu aku berjalan keluar kamar, menyusuri lorong dan tangga yang di dindingnya terdapat lukisan dan foto keluarga kami.

Pandanganku tertuju pada setangkai bunga mawar yang baru saja tumbuh. Warnanya merah gelap dengan tetesan embun yang mulai menguap. Duri-duri pada tangkainya terlihat tumpul, namnun jika kau sentuh, kau akan merasakan faktanya. Kadang yang indah akan menyakitkan.

✖️

Waktu berjalan cepat. Bagiku, setiap detiknya harus dibuat berharga. Walaupun mustahil karena aku terlalu bergantung pada satu titik.

Hari Senin, kami membagi tugas untuk membuat hiasan untuk acara sehabis lebaran dan 17 Agustus. Sebagai siswa di penghujung tahun ajaran, kami diberikan kesempatan untuk melakukan berbagai dekorasi sekolah. Aku, Luna dan Putri adalah pelopor pertama. Lalu Aris dan Tamara tertarik untuk bergabung. Lengkap sudah penderitaanku di sekolah. Sempat aku berpikir bahwa rencana berkeliling kontinen tak seharusnya dipengaruhi oleh Aris. Uangku (yang dibantu oleh Ayah) akan habis dengan sia-sia. 

"Ayo, guys, ah jangan becanda mulu ah itu baju Aris kena spidol tuh," Luna mengrenyitkan dahi. Tamara dan Aris tidak bisa berhenti bercanda walau hanya berdua.

"Hahah, iya iya sorry," kata Aris sambil meletakkan spidol yang ia pakai untuk bercanda bersama Tamara.

"Serasa nyamuk." Canda Putri. Seragam kami hari itu berwarna kuning, dengan bawahan, entah rok atau celana, berwarna hitam.

✖️

Mataku tertuju pada peta dunia milik Aris yang memaparkan lingkaran merah tebal dan lebar. Peta itu tergeletak lesu di lantai dengan lipatan dan robekan tak disengaja di sekelilingnya. Aku hendak mengambilnya. Namun seseorang melarangku menyentuhnya.

"Ehh! Jangan! Itu punya Aris!" Teriak seorang perempuan dari belakangku. Peta itu sudah ada di kepalan tanganku. Tak salah lagi, perempuan itu adalah Tamara dan ia merebut lembar peta Aris dari tanganku. Suasana kelas sangatlah sepi. Tidak terlihat batang hidung siapapun kecuali aku dan Tamara.

"Aku cuma mau ambil aja daripada keinjek-injek," sahutku. Wajahku merah padam, bukan karena malu, tapi karena amarah dan rasa kesal yang membludak di dalam diri.

"Gausah sentuh barang-barang Aris. Biarin dia sendiri aja yang ambil, ntar juga liat." Katanya sambil menyelipkan peta itu ke dalam tas Aris sebelum beranjak keluar kelas dan meninggalkanku sendiri dalam kesepian. Aku tahu pasti apa yang harus kulakulan. Menyerah. Aku sudah berjuang terlalu keras, namun aku yakin perjuangan akan kalah dengan penampilan. Maka kuputuskan untuk menyerah.

RealitaWhere stories live. Discover now