Bab Empatbelas

41 3 0
                                    

21 Juni, LAX Airport, Los Angeles.

Tak kusangka ternyata LA jauh lebih panas daripada Atlanta. Anginnya tak terlalu kencang sehingga suhu saat itu kurang rendah, dan tidak menyejukkan, tidak seimbang dengan teriknya matahari. Penerbanganku hanya berlangsung satu jam setengah. Dibanding sebelumnya, tentu sangatlah sebentar. Aku tak sabar untuk menemukan perpustakaan-perpustakaan baru. Dan Aris. Aku tak lupa akan tujuan utamaku. Aku tak tahu jika ia benar-benar berada di sekelilingku, seperti yang ia katakan.

Sudah lama sekali aku tak mendengar suaranya, tak mendengar tawanya. Sudah lama aku tak melihatnya. Aku masih kecewa - tak tahu apa yang sebenarnya terjadi karena ia tiba tiba saja menjauh dariku.

"Enjoy your trip," wanita imigrasi yang menganalisaku tiba-tiba berkata, menyadari jiwaku yang melahang entah kemana. Aku pun membisikkan terima kasih dengan perlahan sebelum menarik koperku.

✖️

Aku, Bang Anggar dan Mba Nia segera mencari cab dan mencari keberadaan artis-artis Hollywood terkenal. Tentu, aku semangat. Tetapi aku akan merasa lebih semangat jika Aris lah yang kutemui.

"RAN! ADA KATY PERRY TUH RAN!" Teriak Bang Anggar, berlari kearah Katy dan mendapatkan sapaan hangat. Dan sebuah foto.

"Yeah, oke," kataku, melirik jam tangan yang sudah menetap di pukul empat. Matahari LA belum turun. Lanngitnya masih biru terang.

"You have a sister?" Kudengar samar-samar suara Katy seraya mencariku di kerumunan. "I wanna see her!" Sahut Katy. Mimpi apa aku semalam; Katy Perry ingin bertemu denganku. Aku pun berlari menghampirinya.

"Hi, Katy!"

"You must be his sister, you look exactly like him," dia tertawa kecil. Kami tidak di kelilingi Paparazzi atau orang lain. Hanya kami berempat berbincang-bincang. "Oh, no. I have to go. We might see again in two days."

"I hope so," kata Bang Anggar perlahan, melambaikan tangan pada Katy yang mulai berjalan menjauh.

✖️

LA

Kami melihat lebih banyak lagi artis-artis dan penyanyi Hollywood, yang sedang dikejar Paparazzi saat keluar dari restoran, kantor dan rumah mereka. Hotel kami tak jauh dari LAX, melewati ramainya kota LA, café-café klasik kecil yang redup dan sunyi. Rasanya kurang lengkap, bepergian keluar negri, melihat sebuah kafe, tetapi bukan musim dingin. Seharusnya kami berangkat November saja.

"Baiklah, mari kubawakan," kata para pembawa tas. Koperku dan Bang Anggar, juga Mba Nia.

"Terima kasih," gumamku.

Kami menghabiskan sekitar lima jam untuk beristirahat, termasuk membersihkan diri dan melakukan sedikit tidur siang. LA merupakan salah satu kota paling sibuk yang ada di USA, dan sore itu kota tersebut diramaikan sebuah festival meriah yang cukup menakjubkan. Kami merasa sangat beruntung karena dapat mengunjungi LA di saat festival diadakan. Karena waktu yang cukup renggang, maka kami putuskan untuk menghadiri acara meriah tersebut.

Aku terduduk diam di sebuah balok jerami terletak di belakang sebuah tenda besar yang ramai dan meriah. Aku tidak mengelilingi acara bersama Bang Anggar maupun Mba Nia. Aku berjalan menyusuri bayang-bayang wajah Aris. Aku tak pernah bisa melupakannya. Apa memang betul, cinta hanya terbentuk untuk saling melukai? Cinta hanya terbentuk untuk mereka yang kuat? Cinta hanya terbentuk untuk mereka yang gila? Entah aku tidak kuat dan tidak gila atau aku benar-benar kuat dan benar-benar gila.

Aris

Ya ampun, apa-apaan ini? Kenapa Rana selalu berada ditempat yang aku kunjungi? Aneh rasanya. Apa yang sebenarnya dia lakukan?

Aku berdiri jauh darinya, segelas soda berada di tanganku. Aku memerhatikannya dari kejauhan; masih sangat cantik seperti dulu. Ah, apa yang dia lakukan?

"Ris," seorang perempuan memanggilku dari belakang, lalu menepuk pundakku. Aku menoleh, tersenyum lembut untuk menghilangkan kebingungan yang tumbuh di dalamku. "Yuk, mau kemana lagi?"

"Umm..lo laper gak? Gue sih laper. Mau makan?" Tanyaku. Sudah seminggu ini, aku menghabiskan waktu dengan perempuan tersebut, yang tidak lain adalah Tamara. Ia memaksa untuk ikut berkeliling dunia bersamaku, dengan perjanjian singkat bahwa kita hanya pergi sebagai teman. Mengesampingkan itu, perjanjian pertama kami tetap berlaku.

"Erm, yaudah ayo makan. Dimana tapi?" Tanya Tamara, sebelum akhirnya kita berjalan kearah berlawanan dari Rana. Setengah hatiku menghela napas lega, sementara yang lain agak kecewa. Haruskah aku bertemu dengannya? Menyapa lembut dan meneluknya erat? Mengingkari perjanjian dan mengatakan yang sebenarnya?

"Ris, jangan bengong dong," sahut Tamara sambil perlahan mendorong tubuhku. Ia tertawa kecil, hampir tak terdengar. Senyumannya tak lepas dari wajahnya yang cantik sejak pertama kali kami berangkat dari Jakarta. Secantik-cantiknya Tamara, yang ingin kuperhatikan setiap hari adalah Rana. Aku lebih ingin menatap wajahnya. Aku ingin menggenggam tangannya, mendekapnya erat di malam dingin kota LA. Aku ingin bersamanya.

Tetapi tidakkah perjanjian pertama terlalu sulit untuk diingkari? Menyangkut banyak jiwa, yang akan hancur perlahan. Mengapa aku menghabiskan waktu bersama Tamara, yang bersangkutan?

--

Ada yang kepo gak sama perjanjian pertama nya Aris dan Tamara?
BACA TERUS YA JANGAN LUPA VOTE TRUS COMMENT OK DANKEEEE

RealitaWhere stories live. Discover now