Bab Limabelas

59 6 2
                                    

Aris

23 Juni, Los Angeles, United States of America

Aku berjalan menyusuri sebarisan toko bertingkat, semacam rumah toko yang bertempat di sepanjang jalan LA. Mataku tertuju pada sebuah kafe kecil, dihiasi lilin-lilin kecil di seluruh bagian ruangan. Aroma vanilla dan kopi menghangatkan suasana, dengan sedikit sentuhan romansa dari pasangan-pasangan yang berbisik lembut pada satu sama lain. Aku memesan secangkir kopi hangat, lalu duduk di sudut ruangan berdinding kayu tersebut. Suara mesin kopi dan cangkir yang diletakkan di wastafel terdengar dari tempatku, dan entah mengapa, suara-suara tersebut membawa suasana lebih nyaman.

"Aris," panggil Tamara. Kami belum bertemu sejak pagi, karena beristirahat di kamar yang berbeda.

"Hey," aku berdiri lalu menarik sebuah kursi di hadapanku untuknya. Ia terlihat simpel dan rapi dalam balutan T-Shirt putih dan jeans biru.

"Maaf agak terlambat," sahutnya perlahan. Rambutnya dikepang satu, terlihat rapi dan agak cuek dengan sisipan warna cokelat muda.

"Gak apa-apa, waktu kita masih banyak," aku tersenyum lembut, menyeruput kopi hangatku yang sudah setengah kosong. Ia tersenyum lembut padaku.

"Jadi ini," raut wajahnya berubah seketika, senyumannya menghilang begitu saja. "Keputusan Ayah udah bulat. Dia udah ga akal ngebatalin rencananya. Aku ga tau harus apa. Aku harus minta maaf ke Rana."

"Loh, kenapa jadi Rana?" Alisku mengerut. Percakapan ini tak akan berujung.

"Kita harus kasih tau dia yang sebenernya terjadi, Ris," ia kembali tersenyum, lalu senyuman itu kembali memudar.

"Itu ga sesuai perjanjian. Ini bukan keputusan kita, Tam," sahutku lembut. Perjanjian ini singkat, namun rumit. Aku tak bisa menolak, karena akan menghancurkan banyak pihak. Ayah dan Ibu Tamara terkenal gila dan keji, walaupun di sisi lain mereka adalah manusia yang bisa memberikan apapun kepada siapapun.

"Ya tapi kan,"

"Udah lah jalanin dulu aja. Nanti juga dia tau sendiri, dan bakal ngerti," aku menggenggam tangannya erat, ia melepaskan semua kesedihannya padaku. Ia benar-benar merasa kehilangan. Hidupnya yang penuh kebahagiaan menjadi hampa. Ia tak terlihat hampa. Namun jika kau perhatikan sepasang mata cokelat miliknya, kau akan mengetahui betapa pedihnya menjadi seorang Tamara.

✖️

Irana

"Oh my god, I'm sorry!" Teriak wanita tersebut setelah tanpa sengaja menabrakku, dan menjatuhkan barang-barang di dalam paper bag yang kubawa. "I didn't see where I was going." Lanjutnya seraya membantuku dengan apel-apel yang bergelining di lantai Subway.

"It's okay, ma'm," aku berdiri tegak, membiarkannya berlari keluar mini market terkenal itu. Siang itu aku memutuskan untuk mencari sebuah toko buku kecil yang sunyi dan dingin. Aku ingin mencari buku-buku fantasi baru karena sudah cukup membaca romansa klasik seperti Shakespeare dan Austen. Tetapi aku berakhir berdiri di sebuah kafe dengan live music yang memainkan lagu-lagu rock tahun 2000-an yang dijadikan acoustic seperti Sleeping With Sirens dan Muse. Aku memesan sepiring panini dan segelas iced chocolate untuk mengisi perutku yang mulai lapar.

Meja-meja di seluruh penjuru ruangan dipenuhi orang-orang yang berbincang kepada pasangan mereka. Dan ntah mengapa aku dapat melihat Tamara dari kejauhan. Ia duduk sendiri di sebuah meja. Setengah dariku mengatakan bahwa itu Tanara, namun setengah lainnya meyakinkan bahwa ia hanya mirip dengannya. Aku pun mengalihkan pandanganku pada seorang pelayan tampan yang jauh lebih tinggi dariku. Namanya Matt, dan ia sepertinya tertarik untuk bicara padaku.

"Sorry, I thought you raised your hand," katanya lalu mengambil piring kotor di mejaku, menggantikan dengan sepiring tart cokelat dan sebuah lemon cupcake yang terlihat meriah.

"Oh, what's this?" Senyumku ramah, tidak menolak hidangan penutup yang secara spontan ia sajikan padaku.

"I thought you'd like some. It's free," kata Matt, memerhatikanku dengan matanya yang biru terang. Rambutnya hampir pirang, namun masih termasuk golongan cokelat muda.

"I'd love some tarts," aku mengambil garpu kecil di seberangku, lalu memotong tartnya perlahan. Tartnya lezat, aku tak bohong. "This is very delicious." Ia tetap memerhatikanku dengan senyuman yang mulai melebar.

"I saw you walking past the cafè, since yesterday afternoon. You don't seem too familiar," Matt melanjutkan pembicaraan kecil kami. Aku tetap menikmati kue yang ia suguhkan.

"Well, this is my third day out of five," ceritaku singkat. Matt adalah seorang asing. Aku tak ingin menjadi terlalu spesifik.

"I've thought you were a visitor," senyumnya lebar. "MATT!!" Sebuah teriakkan keras terdengar dari balik dapur dan Matt menoleh sambil menghela napas perlahan.

"Yeah. Maybe you should go," tawaku perlahan. Matt dan aku bicara seperti kami sudah lama berteman. Dan mungkin itu adalah awal mula dari pertemanan kami.

✖️

Keesokan harinya aku kembali ke kafe milik Renee, tempat dimana Matt bekerja. Aku ingin melanjutkan pembahasan kemarin, yang berlangsung singkat. Matt adalah seorang lulusan desain grafik dan bekerja sebagai desainer lokal, selain menjadi seorang waiter di Cafe c'est Leone.

Aku duduk di meja yang sama, menikmati secangkir teh kamomil hangat dan sepiring molten cake di hadapanku.

"Jadi, hari ini kau tak bekerja?" Tanyaku pada lelaki berumur dua puluh dua yang duduk di hadapanku. Ia mengangguk lembut. Matanya yang cerah membuat suasana lebih menyenangkan. Ia mengenakan sebuah mantel hijau tua dan kemeja putih di baliknya.

"Aku diliburkan pada hari Senin," jawabnya. Suaranya tidak berat, ataupun terlalu ringan. Suaranya enak didengar.

"Right. Jadi kau seorang grafik desainer?" Tanyaku. Aku terdengar lebih semangat untuk bicara darinya.

"Yes, and also an amateur photographer," katanya, mencicipi sepiring pai limun yang segar. "What about you?"

"I'm a student on Literature, and I'm on summer break," jawabku perlahan.

"Great, would you mind me taking pictures of you?" Tanya Matt dan aku mengangguk setuju. Wajahku tertuju pada novel yang sedang kubaca, sehingga ia mengambil fotoku secara candid. "Beautiful."

Kami berbincang selama setidaknya satu jam, setelah beberapa jepretan foto. Beberapa hal darinya sangat menyenangkan, dan sebagian sangat pribadi. Aku menyukai caranya berbicara, caranya menjelaskan kejadian-kejadian dengan sangat detil - hingga cantiknya warna-warna sekelilingnya saat kejadian. Lalu tak lama kemudian, Bang Anggar menelponku.

"Ra, kamu dimana?" Tanya Mba Nia yang menghubungiku melalui telfon genggam milik abangku.

"Di café yang kemaren, kenapa, mba?" Tanyaku kembali.

"Nanya aja. Aku kira kamu kemana gitu. Pulang ya, Ra, kita mau pergi ke suatu tempat," jawabnya dengan nada menyenangkan.

"Oke," lalu keheningan, "bye!"

"Ok. Aku harus pulang," sahutku ramah pada Matt. Matanya yang semakin membiru menatapku penuh harapan. Ia mengangguk setuju seraya berdiri bersamaku.

"Oke. Mau kuantar?" Tanyanya sambil mengalungkan kameranya yang bermerk Nikon.

"Tidak perlu, hotelku dekat," jawabku.

"Baiklah," ia berjalan mendekat, melebarkan tangannya untuk memelukku, lalu meninggalkan sebuah kecupan kecil yang hangat di pipiku. "Kuharap kita akan bertemu lagi."

Aku yang membeku hanya bisa menatapnya, mengangguk mengiyakan dengan senyuman pucat pasi.

"Alright, see you," katanya. Aku yang seharusnya pergi terlebih dahulu, hanya bisa berdiri diam. Mataku mengikuti arahnya. Tetapi jantungku berdegup terlalu keras. Sehingga aku kesulitan bernapas.

--

BAPER GAK????? HAHAHAHA YEY
THANKS FOR READING JANGAN LUPA FOT N KOMEN 💖💖💖💖

all the love, zhk.

RealitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang