Bab Duabelas

48 5 0
                                    

16 Juni, Jakarta

"Rana!" Panggil Bang Anggar. Sudah seharusnya kami semangat. Ia dan Mba Nia memutuskan untuk ikut bersamaku, walaupun akan menjalani perjalanan yang berbeda. "Pelan-pelan, oy!"

"Ihhh! Udah boarding tau ga sih, Bang? Kalo telat kita bisa gagal berangkat," kataku sambil memberikan Pasportku kepada seorang penjaga gerbang.

"Iya tapi gausah secepet ini juga larinya," ia tergopoh-gopoh sambil berusaha bernapas.

"Udah lah, Gar, adekmu itu semangat, kita juga harus semangat. Ya ga, Ra?" Kata Mba Nia. Ia tampak sangat cantik hari itu; tubuh langsingnya dibalut gaun biru tua, pipinya terlihat merona dan rambutnya di kepang satu. Kami bertiga masing-masing membawa satu koper. Enam koper lainnya terpaksa harus diletakkan di bagasi pesawat.

✖️

Aku merangkul sebuah bantal sambil menonton film Sylvester Stallone berjudul Escape Plan. Hari sudah malam, dari yang kulihat melalui jendela disampingku. Di samping kiriku terlihat Bang Anggar dan Mba Nia sedang tertidur, tangan mereka berpegangan erat. Kepala Mba Nia bersandar pada pundak Bang Anggar.

Segelas teh hangat kupegang erat saat hari berganti lebih gelap, sebelum matahari kembali mengambil bagian. Aku mulai melihat pantulan cahaya matahari dibalik awan, tersorot redup kedalam lautan luas. Aku mulai melihat kontinen Amerika dari kejauhan dan kami akan terbang selama delapan jam lagi. Mba Nia terbangun, menyapaku selamat pagi dan beranjak ke toilet. Bang Anggar masih tertidur pulas dalam sunyi. Aku bahkan belum sempat tidur.

Sudah terlihat puncak Empire States dari atas langit, yang mana artinya kami sudah sampai setidaknya di New York. Dari ketinggian luar biasa, terlihat gedung-gedung pencakar langit terlihat begitu kecilnya. Kehijauan Central Park terlihat sangat hidup, dengan sentuhan awan dibawah kami yang membuat perjalanan sedikit berguncang. Perjalanan kami non-stop tanpa transit, dan lumayan melelahkan. Mba Nia beberapa kali bolak-balik ke kamar mandi dan Bang Anggar tak hentinya makan. Sementara aku duduk terdiam menunggu saat dimana kami akan mendarat, setelah berjam-jam mengudara. Kelelahan ini mungkin tak ada artinya jika dibandingan dengan petualangan yang akan kulalui, mencari Aris. Bukan mencari, tetapi mengejar. Mempelajari, membuat kenangan, bahkan penyesalan.

17 Juni, Hartsfield-Jackson Atlanta International Airport

Matahari sudah kembali dengan cahayanya yang dengan indah menerangi seluruh lapisan bumi. Aku menarik dua koper dengan kedua tanganku dan beranjak mencari taksi. Aku, Bang Anggar dan Mba Nia segera menuju hotel. Kami akan menghabiskan setidaknya tiga hari di Atlanta, menghabiskan waktu mengambil fotograf dari berbagai sudut kota dan keunikannya. Di satu ruangan hotel terdapat dua kamar kecil, satu kamar mandi dengan bath tub, satu ruang makan yang bergabung dengan ruang TV dan balkon yang menghadap kearah pusat kota.

Aku memutuskan untuk tidak mengeluarkan bajuku dari koper. Setelah perjalanan cukup panjang, aku beristirahat sejenak, menikmati secangkir teh hangat dan croissant renyah di sebuah café lokal bernama Hatterswiltch. Nampaknya café tersebut cukup terkenal di kalangan menengah keatas. Orang-orang yang datang kesana berpakaian layaknya pekerja, membawa lembaran proposal dan laptop untuk meeting. Walaupun aku adalah seorang penyendiri, aku suka bisikkan tawa orang lain dari kejauhan. Mereka bukanlah bisikkan, tetapi karena jarak, mereka terdengar lebih pelan dan lembut.

Aku memerhatikan beberapa keindahan di luar sana - lampu-lampu taman yang sengaja dinyalakan untuk menarik perhatian pengunjung, banyak orang berlarian mengikuti derap langkah peliharaan mereka, banyak yang bersepeda, bahkan banyak yang tertawa bersama sahabat mereka. Aku tak tahu apa yang kulakukan disana.

Aku mengalungkan kameraku, agar dengan mudah memotret semua kejadian menakjubkan yang tak setiap hari kulalui. Aku berjalan menyusuri kota, menangkap aksi jalanan - mulai dari perkusi, tarian serta sulap - di antara ramainya penonton.

Aris

Rana. Apa yang ia lakukan disini? Diantara kerumunan orang-orang berambut pirang, mataku tertuju padanya. Tak pernahkah ia berhenti berjuang? Tak pernahkah ia berpikir untuk melepaskanku? Kutahu menurutnya melepaskan tak semudah itu. Aku pergi menjauh, entah ia sudah melihatku atau belum, aku akan mencoba berpura-pura tak menyadari keberadaannya.

Irana

Mungkinkah aku akan bertemu Aris saat ini? Tapi akankah menjadi kurang menyenangkan perjalananku? Aku sudah sangat lama tak berkomunikasi dengannya. Melalui telfon genggam-pun tak pernah. Ia sudah jarang datang untuk melihatku, sudah jarang mengirimkan pesan untuk menanyakkan kabarku. Sebetulnya, bukannya aku keberatan. Hanya saja, rasanya hilang, hampa. Tak tersenyum pada namanya di layar telfon genggam adalah hampa.

Aku kembali duduk di sebuah restoran Meksiko, lebih ramai dari tempat sebelumnya. Disini, mereka menyediakan makanan ringan dan berat serta minuman khas Meksiko - seperti Nachos, Burritos, Guacamole dan lainnya. Aku mengambil beberapa foto sekelilingku; orang-orang yang tertawa lepas, yang fokus berdiskusi dan yang dengan lembut berbicara pada pasangannya.

Di setiap meja, diletakkan sebuah vas berisi bunga matahari berwarna cerah. Aku ingin membawanya pulang, sebagai penerang kegelapan, menemaniku dalam kesepian. Aku memang selalu suka kesunyian, aku suka menyendiri, dikelilingi ketenangan hangat dan sebuah jurnal untuk menumpahkan isi hati.

Angin Atlanta cukup dingin. Setiap hembusannya membuatku mendekap diri di balik lapisan mantel cokelat yang kukenakan. Celana putih yang panjangnya tepat di depan tulang kering, membalut kakiku dengan sempurna. Rambutku terurai lebat, tertiup angin sesekali.

Aku mendatangi sebuah perpustakaan umum, dimana kami dilarang mengenakan sepatu didalam karena lantainya dilapisi karpet berwarna hijau tua. Aku menyapa seorang pria penjaga perpustakaan tersebut dengan lembut - wajahnya terlihat rapuh, tua dan lembut. Aku mencari buku-buku di lorong panjang, semua bukunya diatur sesuai abjad dan kebanyakan dari mereka bersampul beludru merah. Aku menarik keluar sebuah buku tebal - The Chronicles of Narnia. Sebuah senyuman kecil tebuat di wajahku, mengingat masa lalu saat membaca buku tersebut. Aku segera menuju ke sebuah meja kecil, dapat memuat setidaknya empat sampai lima orang.
Aku mulai membaca, menikmati terangnya hari yang bersenandung dengan suara redup dari lagu klasik. Kesunyian ini lah yang kuinginkan. Kenyamanan dan kehangatan ini lah yang kuharapkan.

✖️

Pria penjaga tadi menghampiriku, menepuk pundakku beberapa kali sebelum aku terbangun dari tidurku yang nyenyak. Aku bahkan tak menyadari bahwa aku sudah memejamkan mata selama lebih dari setengah jam.

"Sorry, dear, but we're closing," pria tersebut berkata sebelum aku terbangun dan berdiri dari kursi yang nyaman, disediakan di sekeliling meja kayu bundar.

"Tentu saja, my apology," sahutku.

"Kau boleh membawa buku itu pulang, tetapi kembalikanlah sebelum kau pergi jauh lagi," katanya. Tawaran tersebut sangatlah istimewa, dan aku adalah seorang pecundang jika menolaknya.

"Terima kasih," kataku seraya berjalan keluar toko.

"Tak masalah," jawabnya, melambaikan tangan sebelum mengunci pintu dan menutup semua tirai.

Dinginnya angin Atlanta membuatku ingin segera pulang. Aku ingin bertemu Aris, tetapi dia entah dimana. Mungkin ia masih di Jakarta? Mungkin sudah di California? Aku tak tahu betul lokasi sebenarnya.

Secangkir kopi hangat ada di dekapan tanganku, buku The Chronicles of Narnia tadi ada di tangan yang lain. Aku menyukai suasana ini. Dimana kesunyian menghampiri dan sentuhan fantasi di setiap halamannya. Mataku menyusuri hutan kata yang menyenangkan, petualangan-petualangan mulai terjadi di kepalaku.

"Kamu sepi banget hari ini, Rana," kata Mba Nia selagi melipat beberapa syal untuk dipakai esok hari.

"Kita aja baru ketemu tadi pagi sama sekarang. Tadi Mba ngilang, yaudah aku ke toko buku di deket cafe itu," jelasku. Dibandingkan dengan Mba Nia, aku sangat kekanak-kanakan. Kesampingkan caraku berbicara pada orang lain, caraku berbicara pada orang yang sudah dekat sangatlah kekanak-kanakan. Aku merengek, tertawa tanpa batasan. Aku hampir bisa melakukannya terhadap Aris, tetapi ia sudah terlanjur pergi. Dan aku benci hal itu.

--
Hai guys! Sorry postnya agak lama! Aku lagi sibuk ngerjain tugas essay ini itu banyak banget jadi ga sempet nulis Realita. Aku juga lagi lanjutin beberapa cerita ku yang lain, jadi mohon dimengerti dan dimaklumi. Thank you!!

Jangan lupa vote and comment yaa!
Tell me what you think, saran juga boleh 💞

RealitaWhere stories live. Discover now