Bab Delapanbelas

41 5 1
                                    

Aris

"Ris," bisik Tamara.

"Hmm," sahutku perlahan. Kami menatap puncak Eiffel yang indah nan bersinar, menyandarkan punggung pada rerumputan yang hangat dan kering.

"Kenapa kau disini?" Hah? Aku hanya menatapnya pilu, wajahku tidak menangkap apa yang ia bicarakan. "Kenapa kau memutuskan untuk berkeliling dunia?"

"Iseng aja," jawabku. Hatiku berdegup kencang. Aku tak mau Tamara membahas Rana karena ia menyadari ialah yang kutunggu. Aku tahu ia menginginkan perjalanan ini, tetapi ia juga tidak menginginkannya menjadi sebuah paksaan terhadapku.

"Hmm," desahnya perlahan. Lalu aku dapat merasakan tangannya berada di samping tanganku. Rasanya hangat. Tubuhnya mengeluarkan kehangatan yang nyaman, walaupun sesungguhnya bukanlah itu yang kuinginkan. Aku hanya ingin membuatnya merasa nyaman dan diinginkan.

Aku menggerakkan tanganku kearahnya, mendekap jari-jarinya di dalam milikku. Energi kami berdua bersatu. Jantungku berdegup lebih pelan, karena kecanggungan lebih menegangkan daripada sentuhan. Rasanya hangat, lembab..dan dingin secara tiba-tiba.

Ia dengan erat membalas dekapan tanganku, walaupun mata kami tetap tertuju pada puncak menara Eiffel yang menyorotkan sinar-sinar indah ke langit yang luas. Walaupun masih musim panas, angin malam Paris tidaklah hangat.

"If I die tonight," ucapnya lembut. Semua ketakutannya telah ia lampiaskan padaku. Dan aku takut jika ini akan menjadi yang terakhir kalinya.

"Jangan ngomongin kematian," ucapku, mengeratkan genggaman tanganku.

"Please make sure Rana knows the deal,"

Tamara takut kematian. Ia takut akan kehidupan setelah dunia. Ia takut akan hal seperti itu. Dan aku tak bisa mengatakan apapun sesungguhnya. Karena manusia dapat pergi kapan saja. Dan kematian bisa terjadi kapan saja.

--

Rana

Bibliothéque tidaklah terlalu nyaman, walaupun penerangannya sempurna, tetapi bentuk kursi dan dekorasinya kurang menenangkan. Buku-buku yang tersedia juga bukanlah buku klasik Jane Austen, Charles Dickens ataupun William Shakespeare, tetapi penulis-penulis modern seperti John Green, J.K Rowling, dan Veronica Roth. Tetapi sungguh, penulis-penulis modern ini menciptakan novel-novel yang bermoral, dan aku menyukainya.

Aku meminjam sebuah buku oleh John Green berjudul Looking for Alaska, menghabiskan secangkir kopi yang luar biasa, lalu berjalan pulang.

"Bang," panggilku perlahan sambil berjalan kedalam kamarnya.

"Lagi mandi, Ra," sahut Mba Nia dari balkon. Aku mengangguk dan berjalan menuju kamarku. Dekorasi hotelnya cukup indah - ukiran kayu berwarna emas, dinding marmer berwarna merah muda, lantainya berwarna kecokelatan. Ranjangnya memiliki semacam penutup kain berbahan satin yang lembut dan hangat.

Aku membuka Looking for Alaska pada halaman enam belas, lalu mulai membacanya lagi. Telepon genggamku yang sudah lama terabaikan tiba-tiba berbunyi, mengagetkanku sejenak sebelum kugapai. Path.

Tamara is now at Eiffel Tower, Paris with Ramadhanika Aris.

"Hah?" Aku yang tadinya berbaring lemas pada ranjang yang lembut, terbangun kaget sehingga hampir terjatuh. Aku mengucapkan syukur, walaupun kemungkinan bertemu Aris masihlah kecil.

"Ra? Kenapa?" Mba Nia mendobrak masuk kedalam kamarku. Suaraku yang lantang mungkin mengagetkannya.

"Aris ada disini mba!" Teriakku.

"Ih kirain apaan. Bikin kaget aja," senyumnya lembut. Wajahnya terlihat segar tanpa balutan makeup. Pipinya tetap merona.

"Maaf," tawaku sambil melihatnya berjalan keluar. Tetapi bodohnya aku, bukannya mengejar, malah berdiam diri berharap ia akan menghubungiku. Tak menyadari ia akan menghilang beberapa jam setelah itu.

Bang Anggar, Mba Nia dan aku makan malam pada pukul delapan waktu Paris. Restoran mewah yang terletak di dekat Lobby hotel itu menyajikan banyak sekali jenis makanan yang tak kalah mewah. Dimulai dari yang tidak dimasak, hingga yang matang, tersedia. Dan aku merasa ingin mencicipi semuanya.

"Mau pesan apa?" Tanya seorang pramusaji dalam bahasa Inggris.

"Rare oyster dan filet mignon serta salad salmon," pesanku. Lalu Mba Nia dan Bang Anggar memesan makanan yang berbeda.

Kami sempat disuguhi wine, tetapi karena merasa belum legal, kami tidak mencicipinya. Sangat disayangkan, padahal katanya wine itu terasa seperti bintang.
Walaupun tak menegak wine tersebut sedikitpun, kami bertiga membuat toast.

"To the stars, to Paris and to our living," ucap Bang Anggar sambil mengangkat gelasnya. Tak menyangka, semua orang mendengarnya dan mengangkat gelas mereka, mengucap to the stars, to Paris and to our living. Lalu bertepuk tangan dengan meriah.

✖️

Tubuhku yang lelah terbaring lemas di kasur berwarna emas terang. Aku tak menyadari betapa pentingnya mengejar Aris pada malam itu. Firasatku mengatakan bahwa aku harus mencarinya di Eiffel tower, memeluknya erat dan membisikkan kata-kata yang selama ini terpendam.

"Tapi capek ah," ucapku dalam hati, lalu tertawa perlahan sambil memejamkan mata. Selelah apapun aku malam itu, aku tak bisa tertidur pulas. Mataku terus terbuka setiap beberapa saat, lalu memerhatikan ukiran pada langit-langit ruangan sebelum terpejam lagi.

Kesekian kalinya aku terbangun, keputusan untuk tidak tidur pun bulat. Aku berjalan keluar kamar, mengelilingi ruang tamu yang besar lalu menuangkan diri segelas air hangat. Aku membuka pintu balkon lalu memerhatikan gemerlapnya menara Eiffel. Sungguh aku jatuh cinta. Ada banyak hal yang kucintai di Paris. Eiffel, Louvre, Elysses, Aris. Hanya saja aku tak akan mendapatkan semuanya.

---

Maaf pendek aku lagi bingung sayangggg HAHA oke sekali lagi makasih buat 1k!!!!! 💖💗💞💖💝💗💞💖💝💗💖💞😘😘😘😘😘

RealitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang