Bab Dua Puluh Satu

34 3 4
                                    

"Umm," gumamku gugup. "Sebetulnya.."

"IYA RIS KENAPA???"

"Sebetulnya Tamara itu lagi sakit," ucapku. Sebetulnya bukan itu yang ingin kukatakan.

"Ohh, flu?" Tanyanya.

"Engga. Bukan," senyumku cemas. "Leukemia."

"Bercanda kamu, Ris?" Raut wajahnya yang tersenyum berubah menjadi pucat pasi. Leukemia adalah kanker darah. Itulah mengapa Tamara sering pusing dan mimisan. Itulah mengapa ia sakit. Itulah mengapa dia berada di hotel bersamaku.

"Ngapain aku bercanda soal ginian, Ra?" Sahutku. Mencoba untuk tidak panik.

"Ya ampun," ia terlihat pucat. Wajahnya menunjukkan rasa kasihan, panik, sedih. Tak dapat dijelaskan. "Dia dimana sekarang?"

"Di hotel, Ra. Bapanya pengen dia ikut sama aku, soalnya kata dokter..."

"Oke. Oke. Aku gaperlu tau semuanya. Ntar aku bisa pingsan disini." Jelasnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia pasti kaget, tentu. Teman sekelasnya sakit parah, dan umurnya diperkirakan tidak akan lama lagi.

"Kamu gapapa?" Tanyaku. Ia hanya menangguk.

"Kamu?" Tanyanya dengan senyuman yang hampir tak terlihat. Aku membalas anggukannya. Rasanya aku ingin mendekapnya erat di balik tanganku, memeluknya hangat sehingga semua rasa takutnya hilang perlahan. Tetapi aku tidak bisa.

Kamu memutuskan untuk berpisah sebelum akhirnya merencanakan untuk bertemu kembali di Belgia, dan Amsterdam, dan seterusnya.

✖️✖️✖️

Irana

Tamara? Leukemia? Kenapa dia gak bilang sama aku??? Oh ya. Karena kami bermusuhan, disebabkan oleh Aris. Pikirku selagi berjalan kembali pulang ke hotel, mengambil barang sebelum akhirnya akan berangkat ke Belgia.

Perjalanan menuju Belgia tidak terasa panjang. Nafasku berembun di dalam kereta. Suasana kering dan sejuk menunjukkan akan datangnya musim gugur. Dedaunan mulai mengering dan dengan kencang angin melaju.

Kereta yang kami tumpangi adalah buatan lokal dan kecepatannya lebih cepat daripada sebuah mobil sport Itali. Pemandangan hutan hijau terlihat dari kejauan, langit biru yang mulai kelabu melapisi atmosfer jauh di atas.

Aku tidak akan lama di Belgia. Hanya satu hari, bahkan kurang. Kami kesana hanya untuk melihat beberapa hal indah yang tertulis di buku-buku geografi.

Aku duduk kaku, terdiam. Bang Anggar dan Mba Nia memerhatikanku dalam sunyi. Hatiku berdegup kencang seirama dengan deru derap kereta.

Ponselku terus berdering. Aris, Tamara, Aris, Tamara, Luna, Putri, Luna. Aku selalu tak sempat mengangkatnya. Aku terlalu lama memerhatikan nama mereka dalam kebingungan, kehampaan. Rasa takut dan sedih menghantuiku. Seakan ada rasa bersalah yang dalam, menusuk inti jantungku yang kuyakini sudah tidak lagi berdetak.

"Halo," sapaku.

"Halo, Rana," sapa Aris kembali padaku.

"Ada apa tadi nelfon beberapa kali?"

"Aku harus kasih tau kamu sesuatu. Bisa ketemu?" Ajaknya. Aku terdiam membisu.

"Dimana?"

"Amsterdam?" Tanyanya. Amsterdam adalah tujuanku dalam dua hari. Namun menyadari bahwa suaranya terdengar begitu rendah dan sepi, aku memutuskan untuk berangkat mendahului Bang Anggar dan Mba Nia.

"Oke. Jam 11, bisa?" Tanyaku.

"Yeah, di depan Anne Frank Huis," balasnya, aku mengangguk dan mengucapkan sampai jumpa.

✖️

Untuk pertama kalinya setelah lama tidak bersedih, aku menitikkan air mata. Tamara bukanlah teman dekatku, maupun pemeran utama dalam ceritaku, namun ia adalah pemeran utama dalam ceritanya. Ceritanya bukanlah cerita yang harus kutangisi, atau kau tangisi. Ceritanya adalah cerita yang harus dipahami, yang dimengerti. Bahwa tak semua penderitaan harus di derita, namun harus dijalani.

✖️

Amsterdam

Aku turun dari kereta lalu menuju tempat pemberhentian taksi untuk segera menuju Anne Frank Huis. Jamku sudah menunjukkan pukul 10:45 pagi dan suasana sudah berubah menjadi hangat. Ramainya kota Amsterdam, dibalut lembut kabut sejuk yang meliputi sebagian besar negara di Eropa. Udara seperti ini tidak sering kau temui di Indonesia. Maka aku mencoba untuk bernapas sebanyak-banyaknya.

Aku memberhentikan taksi beberapa blok jauhnya dari Anne Frank Huis. Aku ingin bertemu Aris dalam kesunyian. Aku tidak mau terlihat angkuh. Aku tidak mau terlihat ironis. Aku berjalan menuju Anne Frank Huis, di kananku terdapat sebuah sungai kecil diramaikan oleh perahu berwarna-warni. Amsterdam bukanlah kota romantis. Dan inilah yang kubutuhkan saat itu.

Aku melihat Aris dari kejauhan. Ia mengenakan jaket hijau. Matanya lelah. Ia juga melihatku.

"Kau datang," sapanya.

"Pasti datang."

"Jadi...aku harus mulai dari mana?" Tanyanya sambil mengajakku untuk berjalan mengelilingi sebagian kecil Amsterdam.

"Dari manapun yang kamu mau,"

"Jadi..aku punya tujuan kenapa aku ada di sini. Dan di Eropa. Dan..di manapun yang aku udah datengin." Aris memulai suatu ceita. Dengan suaranya yang sepi..dan hampa. "Tamara sakit udah lama. Aku diminta sama papanya supaya aku jagain dia. Papaku sama papanya dulu rekan kerja baik, tapi sempet terjadi salah paham, trus mereka saling tusuk dari belakang. Papaku sekarang kerja sama papanya. Aku awalnya terpaksa untuk jagain dia, tapi akhirnya aku tau kalo dia butuh aku. Papanya Tamara tau aku mau keliling dunia. Rencana ini sempet ku gagalin, tapi papaku bilang berangkat aja bareng Tamara. So I did. Jadi aku kesini buat Tamara. Aku mau ada buat dia di bulan terakhirnya. Dan sekarang dia cuma punya paling lama lima hari."

"Maaf aku udah salah sangka."

"Aku yang minta maaf karena gak ngejelasin," ucapnya. Kamu berhenti sesaat. Lalu ia berjalan kearahku. "Aku pengen ngaku sama kamu."

"Apa?" Dadaku berdegup kencang. Aku tahu dia tahu itu.

"Aku cinta kamu."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 29, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RealitaWhere stories live. Discover now