Bab Tigabelas

54 5 1
                                    

19 Juni, Atlanta, Georgia.

Terik matahari pagi menghangatkan tubuhku. Bersatu padu dengan dinginnya hembusan angin pagi. Aku menarik nafas panjang, mengenakan mantel merah dari Ibu. Aku melilitkan scarf hitam di leherku sebelum menyelempang tas kecil dan menggenggam kamera ku. Atlanta selalu ramai. Dua hari pertamaku dimulai dengan menyusuri padatnya jalanan pagi, disapa klakson-klakson mobil yang berseru. Aku kembali lagi ke perpustakaan yang kudatangi kemarin lusa. Lonceng kecil berbunyi seraya aku membuka pintu kacanya perlahan. Pria penjaga, yang namanya adalah Pudge, menyapaku dengan gembira. Raut wajahnya yang tadi lesu, menjadi cemerlang setelah melihatku. Ia segera menghampiriku dengan sebuah buku tebal di dekapannya.

"Irana! You have to read this book!" Sahutnya semangat. Bisikan lagu classic bermain di belakang. CD-nya selalu diulang, tetapi aku menyukainya. "Buku ini benar-benar menyenangkan."

"Oh, ya? Tentang apa?" Tanyaku, memerhatikan tampilan sampul bukunya. "Emma." Bacaku. Sampulnya berbaham beludru berwarna merah muda, tulisannya kayu yang di cat warna emas. Tulisan nama Jane Austen terlihat hebat, mengkilap dalam hitam. Dasarnya polos, secara harfiah, begitu saja, tanpa ada gambar apapun. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Enyah kata orang; jangan menilai buku dari sampulnya. Tetapi aku tak peduli. Aku selalu menilai buku dari sampulnya. Dan aku jatuh cinta seketika pada Jane Austen.

Aku sudah menyelesaikan The Chronicles of Narnia, kemarin. Pudge merasa sangat kagum padaku. Aku bukanlah pencinta berat buku, tetapi aku lebih memilih membaca daripada pergi keluar.

"So, how long will you be staying?" Suaranya pelan, nadanya tinggi. Ia duduk di mejanya, di meja kasir.

"Lima hari," jawabku, "and this is my third day."

"Oh? Too bad. You'll be going in two," suaranya serak, tetapi wajahnya tak menampilkan raut sedih maupun kecewa. "I hope you'll come by then to say goodbye."

"Don't worry, I will. Aku datang kesini setiap hari, mengganti buku di tempatmu. I won't be able to leave without saying goodbye." Kataku dengan senyuman kecil. Ia menghela nafas, tersenyum padaku. Pudge adalah satu-satunya orang Atlanta yang berkomunikasi denganku tidak hanya soal bisnis. Kami berdua saling bercerita, soal rencana dan memori. Aku datang tak hanya untuk membaca, tetapi untuk menikmati sunyinya perpustakaan itu, menikmati aroma buku-buku berdebu yang tercampur dengan aroma pengharum ruangan, membuatku rileks dengan lagu klasik. Aku menyukainya. Jika mungkin, aku ingin kembali kesana setiap hari dalam hidupku.

Seorang anak berkisar umur lima tahun berlari kedalam perpustakaan. Pudge berteriak gembira, membuatku menoleh kearah mereka yang saling memeluk. Pudge memang sering membahas cucunya, Lily yang berumur lima tahun. Matanya biru, rambutnya cokelat gelap. Pipinya kemerahan. Seorang wanita masuk menghampirinya, memeluk Pudge erat sebelum tersenyum bahagia.

"I miss you so much, Dad," kata wanita tersebut. Aku tersenyum melihat kebahagiaan mereka. Mataku tertuju pada anak itu, yang lalu menatapku.

"Hello," sapanya padaku tanpa senyuman. Melihat ekspresinya yang nihil, aku tersenyum ramah.

"Oh, hello," sapaku.

"Kau siapa?"

"Aku..Irana," jawabku. Wanita tersebut, yang mungkin adalah ibu dari anak kecil tadi, mulai memerhatikanku sengan senyuman. Rambutnya cokelat kemerahan, matanya hijau pekat. Kecantikannya adalah fakta, tak lagi relatif.

"Ya, dia Irana," sahut Pudge sebelum duduk dibalik mejanya, "dia datang kesini setiap hari, menghabiskan setidaknya tiga jam untuk membaca sebuah buku."

"That's cool. I wish I have more time to read," kata anak tersebut, "I'm Lily."

"Of course, I know you. Pudge has told me so much about you," aku berdiri lalu menghampirinya, merendahkan tubuh agar tinggiku sama dengannya, lalu menjabat tangannya. "It's really nice to finally see you."

Aku menandai bukuku, meletakkan buku Emma di meja yang selalu ku tempati. Lily duduk disampingku, ibunya meletakkan stok buku baru pada rak-rak di setiap lorong. Aku mencintai harum buku baru, juga buku lama.

"Apa tujuanmu kesini, Ira?" Tanya Mrs. Bree yang akhirnya selesai dengan buku-bukunya.

"Umm," untuk mencari Aris.

"Katanya ia datang untuk mengejar cintanya," Pudge tertawa kecil.

"Wow, that's lovely," sahut wanita tersebut seraya duduk disamping Lily. "I once travelled to SF to see my boyfriend, too. He turns out to be Lily's dad."

"That's wonderful," sahutku lembut. Kesunyian di dalam perpustakaan menghanyutkanku, membuat kami bertiga berbicara sehalus mungkin, mencoba untuk tida menghancurkan kehangatan yang sudah ada.

Aku menyelesaikan buku Emma setengah jam setelah Lily, Mrs Bree, Pudge dan aku berbincang tentangku; dengan siapa aku datang, tujuan setelah Atlanta dan darimana asalku. Aku menjawab tanpa rasa berat. Aku suka menjawab pertanyaan-pertanyaan tentangku, walaupun aku kurang terbuka.

✖️

21 Juni, Atlanta.

Tak melihat Aris sekalipun, aku tak merasa kesal. Walaupun sedikit dari kepercayaan diriku runtuh, karena mungkin saja aku tak akan bertemu dengannya, aku tetap ingin mencarinya ke seluruh bagian dunia.

Di bandara, kami duduk di dekat jendela. Menyaksikan sibuknya lalu lintas di atas langit. Aku mendekap secangkir kopi ditanganku, menghangatkan diri dari dinginnya suhu ruangan. Sungguh, suhu di dalam gedung jauh lebih rendah daripada suhu di luar. Angin musim panas memang kencang, berhembus dengan semangat. Tetapi terik matahari memberi kesan hangat. Aku kurang menyukai matahari Atlanta, dan sangat bersyukur akan segera berangkat ke California.

Aku tak sempat bertemu dengan Pudge. Pagi itu, sebelum berangkat ke bandara Hartsfield-Jackson, aku bertemu Martha Bree, ibu Lily yang sehari sebelumnya menjaga perpustakaan Pudge. Aku tak melihat sosok pria tua menyenangkan tersebut. Martha memberi nomor telfon Pudge padaku, jika saja membutuhkan sesuatu. Aku menitipkan salam, tetapi tak lengkap rasanya jika aku tak mengucapkan selamat tinggal dengan langsung.

"This Paulton Bree, who is this?" Aku tersenyum mendengar suaranya.

"Hey, Pudge. It's Rana."

"Oh, hai! Ada apa? Ini sudah jam sembilan, dimana kau?" Tanyanya, kaget aku tak datang.

"Aku tadi sudah datang, ingin pamit, tetapi kau belum datang. Aku sempat bertemu Martha," jawabku jujur. Aku tak ingin meninggalkan kota itu. Tak peduli seberapa panas Atlanta saat itu, anginya menyeimbangkan kenyamanan kota ramai tersebut, kesunyian perpustakaan membuatku jatuh cinta lebih dalam.

"Ah, sayang sekali! Sudahkah kau terima titipanku?"

"Yes, but I haven't had the chance to unwrap it," kataku, lalu ia tertawa perlahan.

"Unwrap it now, dear, and tell me what you think," aku mengambil kotak berisi Pudge-knows-what dari tasku. Aku membukanya.

"Oh my god, thanks Pudge," aku membaca sampulnya. Pride and Prejudice. "Aku menyukainya! Aku sudah sangat menginginkan buku ini."

"Baguslah," sahutnya.

"Ah, pesawatku sudah boarding. Sampai jumpa, Pudge." Kataku seraya berdiri, mencari Bang Anggar dan Mba Nia yang daritadi menghilang entah kemana.

"Aku senang bertemu denganmu, kuharap kita bisa bertemu lagi," balasnya lembut.

"Say goodbye from me to Lily," jawabku, berjalan mendekati sensor keamanan.

"Pasti. Safe flight, Rana."

"Terima kasih, Pudge. Untuk semuanya," lalu aku mematikan telfon genggamku.

--

RANA MAU TERBANG LAGI GUYS. GILA BELA BELAIN JETLAG DEMI LELAKI GA PEKA ITU. NEXT CHAPTER HAS AN AMAZING SURPRISE. Ha thanks for reading please vote and comment.

💗💗💗💗💗 te qiero mucho bb

RealitaWhere stories live. Discover now