Chapter 16

0 0 0
                                    

"Akhirnyaaa kita bisa napas merr"

"Ah... Iya"

"Kenapa sih lu ngelamun teruss... Kemasukan lu nanti *

"Engga kenapa Napa, ngomong ngomong kapan saya bisa pergi "

"Aelahh lu pergi gimana kita yang kerja aja cuman duaan sekarang sama orang dapur, udah lembur dah lu sekarang"

"....."

Alasan ia datang ke tempat kerja ya karena ia perlu Ke Hq bukan ingin bekerja...

Helemi merasa masam dilidahnya mengetahui ini.

"Jangan mengeluh gitu... Lagian Yuna juga ga datang sih sekarang harusnya kan dia yang jaga"

Helmi membayangkan Yuna sedang tidur tiduran disofanya saat ini... Salah ia juga menyuruh untuk Yuna tidak masuk dan ganti dia.

("Harusnya bisa lebih rapih ")

Ia merasa kecewa dengan dirinya sendiri, hal hal ini menjadi kacau sedikit karena ia tidak merapihkan segalanya dengan baik.

"Ah...."

"Kenapa?"

"Bang saya permisi kamar mandi dulu"

"Hadehh"

Senior itu menggelengkan kepala, sambil menepuk nepuknya.

Tidak terpikirkan lagi bagi Helmi untuk bisa pergi sekarang tanpa diketahui.

Semuanya sudah ada dalam persiapan, tinggal dijalankan. Tidak bisa lagi ia menunda nunda

Pergi kedalam masuk keruang ganti, Helmi mengambil tas dan segera pergi melalui Ventilasi atas ruang ganti.

Tidak ada jalan lagi selain ini. Kalau ia keluar pasti melewati seniornya dan didalam tidak ada pintu lagi keluar.

"Baiklahh"

Ventilasi pada gedung HQ lumayan sempit untuk dilalui, Napas Helmi sendiri menjadi terasa panas.

"Bila benar... Tinggal satu belokan lagi"

Helmi mengingat peta yang ia buat dalam beberapa waktu tentang keseluruhan bangunan, ini sangat membantunya

Ia bersyukur sudah mempersiapkan hal ini dengan baik kecuali hal sebelumnya

"Semoga aja ga ada yang melenceng"

.

.

Rian berlari masuk kedalam Hq meninggalkan mobil di basement, menuju kantor nya terlebih dahulu.

"Bagaimana saya meyakinkan mereka... Terlebih saya tidak tau siapa lawan siapa kawan"

Bergumam lembut sambil berlari, benak Rian penuh dengan banyak pikiran.

Tak ada kira ia mengetahui rencana para pemberontak itu, Rian seperti manusia tanpa kepala.

Tidak tahu harus apa selain hanya bisa mengira tempat Hq adalah target utama nya...

"Ha!?"

"Ada bomb lagi... Gila emang teroris"

"...."

Sebuah Tv besar dalam satu tiang terlihat berita masuk tentang pengeboman. Rian mau tak mau menilik ketempat itu.

"Beberapa dikota dijawa, Serta diprovinsi lain antar Kepulauan... Gila bener"

"Sepertinya serangan ini besar besaran ya"

Mata penuh cemas dari mereka yang melihat berita itu, mulai saling berbisik dan bergumam.

"Sialan..."

Seakan sekring dalam benak Rian tersambung, mata nya terbuka lebar seiring keringat yang bercucuran.

("Target mereka bukan cuman satu tempat... Engga tapi...")

Senyum menggigil begitu menjadi terasa saat semua itu menjadi jelas.

"Kak Rian..."

"Helmi"

Tas gendong bersama jaket tebal dipakai menutupi diri Helmi.

Kedua mata bertemu, dan Rian langsung saja tanpa basa basi seperti menangkap ikan yang baru basah, Helmi ditarik menjauh ketempat sepi tanpa perlawanan.

"Dimana!!!"

"Apa kak?"

"Sialannn!! Hidup banyak orang dipertaruhin bangsat!!!"

"....."

"Kalo lu.... nanggung ini sendiri... Lu gabakal mungkin bisa..."

"Karena saya bukan awaken"

"Iyaa!!!"

...............

Debug!

Ugh!!!!

Rian bisa merasakan bawahnya seperti masuk kedalam dengan begitu ngilu, Tendangan itu sangat tepat pada kemaluan Rian.

Turun kebawah bersimpun ia melihat jauh dengan mata menyipit, Helmi pergi berlari.

Rian menyadari betapa buruk ia memilh kata... akibat tidak bisa lagi menunggu dengan nyawa banyak orang sudah dipertaruhkan.

("tapi ga nyangka dia marah gara gara ini")

Apakah ini alasannya juga Helmi tidak ingin meminta bantuan... rian tidak pernah berpikir helmi sesensitif itu tentang menjadi awaken...

Mau bagaimanapun rian tadi emang salah.

Butuh beberapa waktu sampai ia bisa pulih dan berdiri kembali, tanpa banyak waktu yang ia ketahui tersisa, Rian tetapkan perlu mencari Helmi untuk membawa dirinya kepara teroris pemberontak itu.

Gedung HQ dimana para awaken itu besar, setidaknya ada beberapa lantai yang dikhususkan sendiri bagi para petugas pemerintah, dilain hal ada pula lantai pemberlanjaan dengan penginapan ataupun juga penyimpanan....

Lantai yang menjulang tinggi dengan juga luas nya seperti lapangan bola, butuh effort yang tinggi dan keburuntungan yang sangat kuat seperti tadi untuk menemukan Helmi.

"mencari jarum ditumpukan Jerami"

Gumaman nada rendah Rian, melintasi banyak pandanganya keseluruh tempat dibawah lantai.

Saat ini ia berada di lantai tempat banyak penginapan diatas lantai pemberlanjaan tempat tadi bertemu Helmi, ia tidak bisa melihat satu hidung pun yang berbentuk Helmi.

"...."

Tringg!! Tring!!!

"kalau ga ada perlu jangan nelpon"

"tunggu! Tunggu ka!!!, jangan dimatiin"

Suara itu suara dari Tia, Rian sendiri tidak memeriksa siapa nama orang yang menelpon, untung sekali ia tidak mematikan langsung.

"ada apa?"

"kenapa-"

"cepet..."

"ahiya iyaa, kak dibagian cctv ada permasalahan, sepertinya-"

"kamu urus aja sendiri bilang saja itu disuruh saya, udah"

Rian mematikan telpon, dan lansung kembali lagi berjalan. hingga nyaris saat ia menjauh dari tempat tadi berdiri, Rian mengingat tadi ucapan Tia

Rian tersenyum manis dan mengucapkan syukur berterimakasih kepada tia dalam hatinya terdalam.

"jarang jarang tia ngebantu..., mungkin lain kali saya traktir dia"

Bukannya jarang tia membantu, Rian saat berjalan menyadari dirinya sendiri yang emang bersi keras tidak mau untuk dibantu.... Sehingga mereka semua yang ada disekitar Rian tidak disadari telah membantu banyak.

Ia paham bahwa dirinya sendiri tidak ingin orang terlibat masalah ini, seakan bara api lalu itu tidak padam...

"saya berhutang banyak kayanya..."

Celes Tia, serta pula Helmi serta rekan rekan lain emang akan senang hati membantu, mungkin karena ada kemungkinan masalah nya dulu itu, membuat ia takut dan ingin menanggung nya sendiri.

AmurokoWhere stories live. Discover now