CHAPTER 24

920 141 54
                                    

Di ujung salah satu cafetaria taman

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.


Di ujung salah satu cafetaria taman. Ketukan jari telunjuk di tengah meja menjadi bentuk kebimbangan Joan Lee siang ini. Sempat menyapu wajah dengan kedua tangan, Lee di hadapkan pada sebuah pilihan. Akankah dia menyantap makanannya dengan tenang, atau tetap pada pendiriannya. Yakni menahan gelisah sambil sesekali mencuri pandang.

Lumayan cantik, penilaiannya.

"Kalau gadis itu benar-benar memenuhi kriteria dan mau untuk menjualnya, kita bisa pulang lalu bersantai tenang malam ini. Atau ..." Lee terdiam melirik. Ekspresi penasaran Jiwoo yang terus mendengarkan membuatnya tergelitik untuk memancing.

"... semua bonus untukmu?" tawarnya.

Bangsat memang. Baru kali ini Jiwoo mendengar sebuah tawaran yang cukup kurang ajar, sekaligus menggiurkan. Berburu virgin di tengah acara kencan?

Ini keterlaluan! Akal pikiran Jiwoo mendadak beku.

"Jangan mengada-ada. Kau tidak lihat, ibunya sakit!" tunjuk Jiwoo iba. Seorang wanita berwajah pucat, memakai jaket usang berwarna cokelat tua turut menemani. Jiwoo menduga, itu adalah ibu dari sang gadis.

"Justru karena itu, bukan? Bisa saja mereka sedang membutuhkan uang. Aku hanya sedang memberinya jackpot!" dalih Lee. Alasan saja. Sebenarnya dia hanya tidak ingin kena omel oleh Suga karena telah mengabaikan bosnya, Vhi.

"Oh ya ampun!"

Yoo Jiwoo memijit kening memikirkan. Sedang sebaliknya, Lee tanpa keraguan beranjak dari tempat duduk lalu mulai mendekati target.

Dari penglihatan Jiwoo, ia mengamati. Rupanya Lee memilih untuk membeli bunga sebagai awal basa-basi. Terlihat sangat alami saat berbincang. Sampai-sampai Jiwoo berpikir, akan menjadi sangat berbahaya jika daddy tampannya itu dibiarkan berkeliaran seorang diri. Jika begini terus masa depannya bisa terancam.

  
 
"Tolong berikan mawar merah yang paling cantik, dengan ukuran buket paling besar!" pinta Lee seraya berbalik. Ia tersenyum manis menatap gadisnya. Mencoba memberi tahu bahwa semua baik-baik saja.

"Untuk kekasih anda?" tunjuk ibu dari penjual bunga tersebut dengan sangat ramah.

"Bukan," sahut Lee. "Calon istri saya," ucapnya meralat.

Cukup percaya diri mengatakan dan sepertinya ibu itu terlihat tidak terlalu yakin. Menurutnya penampilan Jiwoo terlihat seperti terlalu muda untuk menikah. Akan tetapi Lee tidak peduli. Seperti biasa, dia selalu berpikir —biarkan saja begitu. Toh, sejak kemarin juga tidak ada kata-kata pengakuan satu sama lain. Mempertegas batas hubungan pun tidak. Suka-suka Joan Lee saja mau bilang apa. Yang jelas dia kembali mengingatkan, "Bunganya harus besar!"

Jiwooku suka yang besar-besar, batin Lee tersenyum miring.
   

Tak lama kemudian, Lee meminta waktu sejenak untuk berbicara. Sedikit menjauh dari stand bunga, Lee menyerahkan selembar kartu nama kepada gadis yang lebih muda. Sedikit berbisik saat mengutarakan niat. Seperti biasa, penolakan adalah jawaban pertama yang Lee dapati. Bagaimana tidak? Dasar kepercayaanlah alasannya. Wajar jikalau gadis itu kemudian merasa takut. Dihampiri oleh pria asing yang tiba-tiba menanyakan sesuatu tentang privasi. Dibanding kesopanan, itu lebih seperti —sesuatu yang mengerikan. Namun Lee buru-buru meyakinkan bahwa identitas dan semua hal yang berhubungan dengannya pasti aman, sebab klien yang menanti adalah orang-orang dari kalangan atas yang tidak mungkin dia bocorkan informasinya.

BLACK MONEY DUSTNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ