CHAPTER 30

688 90 27
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Maafkan aku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



"Maafkan aku. Bahkan sampai akhir pun, aku tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk kalian."

Penyesalan itu datang dari sosok pria berhidung mancung yang tengah duduk menghadap meja. Garis halus di sekitar mata menandakan bahwa usianya tak lagi muda. Pandangannya kosong menatap ke bawah. Tak elak ketika sang putra menekuk siku di atas meja, sosok berbaju tahanan nomor 977 itu pun memberanikan diri untuk mengangkat wajah.

"Siapa bilang hidupku tidak layak? Aku sekolah, juga mendaftar kuliah seperti biasa. Aku bisa membelikan Nara baju yang dia mau, makan enak tiga kali sehari, juga membawa ibuku pergi ke salon untuk membuatnya tetap terlihat cantik. Tanpamu, kami semua baik-baik saja!"

Jeon Woobin menunduk bersalah. Sejatinya pria itu sedang menyesalkan keberadaan borgol yang membelenggu. Tatapan penuh harapnya tadi menjadi sayu seiring waktu.

"Tidak adakah cara untuk membawa mereka datang? Untuk terakhir kalinya, aku ingin melihat putriku sebelum mati," ungkapnya berkaca-kaca.

"Jangan mengukir kenangan buruk. Aku tidak ingin Nara tumbuh dewasa dengan mengingat bahwa ayahnya adalah pembunuh sadis yang telah menghabisi puluhan nyawa tanpa berpikir panjang!" ejek Jungkook. Kedua bola matanya naik dan turun menilai respon.


Pria Jeon itu menatap kepergian sang putra dengan linangan air mata yang tertahan di garis pipi. Mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Begitu pun saat Jungkook menoleh. Bayangan dua orang polisi yang tadi menghimpit satu tahanan berjalan kontan lenyap seketila, membawa serta perpisahan yang bisa jadi tak kan pernah ia sesali seumur hidupnya.

Hampa. Selama ini Jungkook tak bisa meraba bentuk kasih sayang ayahnya. Bahkan ketika dirinya merintih riuh di tengah sakit, pemuda malang itu hanya bisa bersabar menerima nasib. Sebagai tulang punggung keluarga, Jungkook tak boleh sakit. Tidak pula boleh mengeluh terlalu banyak. Karenanya Jungkook berusaha untuk tetap bangkit. Tidak ada kamus terpuruk dalam hidupnya. Seberat apa pun, jalan terjal di depan mata, tetaplah harus dilalui.



Empat tahun setelahnya.

"Satu, dua, tiga,..."

Di antara lorong gedung pusat keramaian, Jungkook menjilat ujung bibirnya menghitung. Tiga gepok uang berhasil ia bawa lari tanpa perlawanan yang berarti. Awalnya pemuda itu hanya makan santai biasa di sebuah cafe. Tidak sebelum kemudian ia berjalan ke arah toilet, lalu mendapati meja kasir kosong ditinggal karyawan.

BLACK MONEY DUSTWhere stories live. Discover now