P 2. Perumahan Kumuh

4.3K 309 7
                                    

Hujan mendadak turun setelah ketiganya selesai mengenalkan diri masing-masing. Aris dan Kalvin pun mengajak Adli ke bawah, ke daerah perumahan kumuh yang menjadi rumah mereka. Ada banyak yang tinggal di tempat itu selain Aris dan Kalvin, tapi juga si pemimpin yang menghadang Adli beberapa menit yang lalu.

Tidak lama mereka berjalan. Adli menghentikan langkah mereka, "Bentar, deh. "

Aris dan Kalvin pun berhenti, menatap bingung pada Adli yang menghentikan mereka.

"Kenapa, Lie? " tanya Aris dan Kalvin kompak.

"Gimana kalo nanti orang-orang di tempat kalian itu marah ke gue? Karena gue udah buat sebagian dari kawanan lo pada tadi meninggal. Terus juga gimana kalo si Lein itu bilang ke mereka sambil nyebarin gosip tentang gue? " mendadak Adli kini khawatir. Ia bukan bermaksud membunuh pemuda-pemuda tadi, itu hanya sebagai perlindungan dirinya. Apalagi ada nyawa yang harus ia lindungi selain nyawanya sendiri!

Anw, Lein itu adalah nama si pemimpin yang mencegat Adli sebelumnya. Adli di kasih tahu oleh Aris dan Kalvin, walau kata mereka si Lein itu sebenarnya juga anak buah dan mereka berdua di paksa buat ikut mencegat mangsa yang lewat di gang itu.

Kalvin dan Aris saling melempar pandang satu sama lain sebelum akhirnya menjawab. "Emh, Lie gak perlu takut. Di sana orangnya gak ada yang baik, terus juga Bang Lein gak bakal bilang ke mereka semua karna dia udah ada pawangnya, dan pawangnya itu adalah orang yang menguasai wilayah kita ini. " jelas Kalvin panjang lebar.

Bingung! Maksud dan kebenaran ini tidak bisa Adli respon, "Gak baik gimana maksud lo pada? Terus kenapa gue gak boleh takut, ntar kalo mereka rame-rame mau bacok gue gimana? " Adli benar-benar khawatir tentang ini, tapi kedua pemuda itu malah mempermainkannya.

"Terus juga, maksudnya pawang si Lein itu gimana? Dia udah punya pacar gitu? " Adli masih tidak paham dengan semua ini.

"Iya, " Kalvin mengangguk, "Dan soal Lie takut sama warga di wilayah kita itu yang gak baik, itu artinya mereka gak bakal ngurusin urusan orang biar pun Bang Lein nyebarin gosip yang aneh-aneh tentang Lie." jawab Aris.

"Soal pawang Bang Lein. Kita juga gak tau maksudnya gimana, soalnya kita juga tau itu dari rumor yang warga di sini edarkan." Kalvin menambahkan.

'Oh, gitu. T-tapi, gue tetep gak mau ke sana, kalo misal mereka mau bunuh gue gimana? 'Kan Dede aja belum lahir, gue milih kabur dari keluarga karna gue mau nge-hidupin nyawa Dede, bukan kabur mau lenyapin Dede.' ucap Adli dalam batin. Membuat lelehan kristal tiba-tiba mengalir dengan isak 'kan kecil.

Kerentanan dari orang-orang yang hamil, ya begini. Perasaannya mudah tersakiti dan sensitif sekali, bahkan bisa membuatnya berfikir negatif.

Kedua pemuda itu tersentak, gelagapan melihat Adli yang tiba-tiba saja menangis dengan isak 'kan yang cukup meluluhkan hati mereka.

"Lie, Lieee... Lie kenapa?? Lie gak papa?? " Kalvin memeluk Adli, pria kecil itu hanya diam di peluk sama Kalvin. Namun, isak 'kan tak berhenti keluar.

"Pin, kita ke rumah, ayok! Itu mau hujan lagi." Aris merasakan angin yang cukup besar menghantam mereka, seolah mengatakan kalau ia akan kembali tiba.

Kalvin hanya mengangguk, merangkul Adli yang masih terisak dengan Aris yang memimpin jalan.

~ ~ Perumahan Kumuh ~ ~

Saat sampai di sebuah rumah kecil. Di yakini rumah tersebut adalah rumah kosong, tapi cukup bersih untuk di jadikan tempat tinggal.

"I-ini rumah siapa, Ris? Pin?" tanya Adli sembari sesenggukan.

Aris tersenyum kecil nan sendu, "Maaf kotor, ya Lie. Lie duduk di sini dulu, aku mau bersihin tempat tidur sama dapur Lie." Aris begitu saja pergi meninggalkan Kalvin dan Adli di sebelah kursi kayu.

Rumah ini begitu kecil dan sempit, bisa di huni seseorang paling tidak sekitar dua orang. Dapur dan kamar pun bisa terlihat dari Adli berada sekarang, hanya berbatas dengan tirai yang lusuh berwarna cokelat.

"Lie tunggu di sini bentar, gue mau bantu Aris dulu, ya." izin Kalvin kemudian berdiri.

"Emh, " Adli mengangguk kecil, namun itu tak terlihat oleh Kalvin karena ia lebih dulu pergi sebelum Adli mengangguk.

'Mereka sangat periang, sepertinya aku benar memilih mereka untuk di jadikan teman di sini.' kata Adli di dalam hati, sampai-sampai ia tak menyadari kalau ia kini tersenyum. Dimana dulu banyak yang mengharapkan senyumnya, tapi itu sangat sulit untuk di dapat.

Mengingat teman-teman membuat Adli memiliki perasaan rindu yang menggebu-gebu ingin bertemu, entahlah ini efek dari kehamilannya atau bukan, yang Adli pengen sekarang hanya bertemu dengan teman-temannya!

"Ugh, a-aku bilang gak, ya?" gumam Adli ragu dengan keputusannya yang ingin meminta kedua pemuda itu untuk mencari 'kan teman-temannya.

"Huhh~ udah selesai, Lie. " Aris mengelap keringat yang mengalir di keningnya dengan lengannya sembari keluar dari dalam kamar, di belakangnya terlihat Kalvin yang menenteng se-nampan air minu dan membawanya ke meja kayu yang ada di hadapan kursi Adli duduki.

"Minum dulu, Lie. Maaf, ya, cuma bisa ngasih ini. Di sini kita gak ada yang jual minuman, adanya sumur air. " ucap Kalvin yang aslinya tak sanggup memberikan hanya air putih pada Adli, pada seseorang yang kini sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri.

Adli menggeleng dengan tatapan tak suka, "Vin, gak boleh ngomong gitu. Aku gak papa, kok, di kasih air putih doang. " kemudian mengambil satu gelas air yang Kalvin bawa itu, lalu meminumnya sampai tandas.

Hawa dingin tiba-tiba menembus tulang rusuk ketiganya. Aris melihat luar jendela, dan ternyata langit semakin gelap yang hampir menutupi semua bintang yang bersinar itu.

"Lie, kayanya gue sama Kalvin harus pulang, deh. Di luar mau hujan lagi, takutnya dimarahin orang tua di rumah. "

Adli mendongak melihat Aris yang masih berdiri dengan wajah yang sangat cemas dan khawatir, tapi di balik itu Adli melihat sesuatu yang baginya bukan rasa cemas ataupun khawatir.

'Apa Aris ketakutan?' tanya Adli dalam hatinya.

"Emh, iya. Kalian pulang aja, gue gak papa sendiri. Makasih udah cariin tempat buat gue tinggal. " ucapnya membuat Kalvin dan Aris tersenyum lebar, mereka memeluk Adli kemudian berpamitan.

"Sepertinya ada yang gak beres sama perumahan ini. Keknya harus gue selidiki. " gumam Adli, menutup pintu rumah setelah kepergian Kalvin dan Aris.

Jendela yang tadi sempat terbuka juga Adli tutup, lantas ia pun ke kamar yang berdekatan dengan dapur. Ia lelah dan ingin segera tidur.

Baru saja Adli merebahkan punggungnya di kasur, "Keras banget, bisa pegel asli punggung gue kalo tidur kek gini. Kasurnya keras betul!" gerutu Adli pada kasur yang tidak memiliki kesalahan itu.

Akhirnya ia mencoba tidur dengan keadaan kasur yang benar-benar sangat membuatnya tidak nyaman. Netra kelabu yang lembut menatap atap kayu yang mengeluarkan suara gaduh karena di luar sedang hujan lebat.

"Kayanya besok aja, deh, ngasih tau ke Aris sama Kalvin minta nyariin temen-temen gue... Hmph! " Adli segera berlari ke dapur, membilas sesuatu yang membuat perutnya terasa di aduk dan menghasilkan rasa mual.

Di tempat cuci piring yang lesehan Adli berjongkok sembari terus memuntahkan yang membuatnya mual. "Huekk, hueekkk... Hikss, s-sakit, hiks... huekk." Adli mengadu sakit karena mual nya tak berhenti-henti mengeluarkan air liurnya, dan itu sangat sakit.

Selesai mengeluarkan cairan bening seperti air liur itu, Adli terduduk lemas bersandarkan dinding kayu yang kotor. Netra kelabu nya berair, "Hiks, gue lupa bawa obat dari dokter lagi... " rutuknya baru menyadari kalau ia pergi tanpa membawa obat dari dokter.

Adli menunduk, menyingkap bajunya dan lalu mengusap perutnya yang masih rata. "Dede, jangan bikin Papa susah, ya? Nanti kita kerja bareng-bareng buat bisa hidup, " ia tersenyum sendu.

TBC

Yuhuuuuu~

PERJAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang