P 6. Pastel atau Martabak?

2.2K 179 7
                                    

Ini bingung kasih judul, ya wee.

✧HAPPY READING ALL✧

Bagai tersambar petir di siang bolong. Kalvin yang tengah memijat kaki Adli itu tersentak terdiam, Aris pun menunduk dengan mata yang membulat menatap Adli. Dan Erin yang menatap bingung dengan pertanyaan Adli.

"Maksudnya?" ucap ketiganya serentak, agak kaget karena mendengar pertanyaan yang Adli lontarkan tersebut.

"Iya, lo percaya gak? Kalo misal, nih. Ada cowok yang bisa hamil?" dengan tenang nada tersebut di lontarkan Adli, tatapan polosnya seakan meminta Erin untuk mengiyakan apa yang ia katakan.

"Jan bercanda, Van. Lawakan lo gak lucu!" Adli yang kini kebingungan, ia hanya bertanya. Itu tidak ada yang salah menurutnya. Ia hanya tak mau mengagetkan mereka dengan mengatakannya secara langsung, tapi sepertinya Adli tak menduga dengan apa yang sedang menyerbu pikiran ketiganya.

Adli bangun dari pangkuan Aris, ia pamit untuk mengambil air di dapur. Meninggalkan keheningan yang sangat tak mengenakkan di ruang tamu.

"Lo, " Erin menarik kerah baju Aris, "Pasti lo 'kan yang bikin Evan hamil!?" Erin menebak. Wajahnya memerah karena amarah, sedangkan Aris tak menduga sikap Erin yang mendadak kasar.

"Bang, gue sama Kalvin sedikit pun gak ada nyentuh Lie. Gue emang pas ketemu Lie mau merkosa dia karna di ajak Bang Lein, tapi itu gak kejadian, Bang! Lie itu jago bela diri, dia aja ngalahin semua anak buah Bang Lein sendirian. Tapi, Bang! Gue gak ngapa-ngapain Lie sama sekali." Aris membela diri juga Kalvin, meski pemuda itu hanya diam. Aris tetap membelanya juga.

"Lepas, Bang. Aris bakal kehabisan nafas," cicit Kalvin, ia berusaha melepaskan cengkraman tangan Erin pada leher Aris. Erin hanya terdiam dengan tatapan menahan amarahnya.

Dengan cepat Erin melepas cengkraman nya, batinnya berteriak malu dengan apa yang ia lakukan sekarang. Merutuki perbuatannya yang sudah semena-mena terhadap Aris yang ia tuduh, bahkan ia sendiri tak tahu apa dan apakah benar Adli hamil anaknya Aris.

'Bodoh, Rin! Lo bodoh! Gak salah semuanya bilang gue masih bocah. Itu semua gara-gara sikap lo yang gak bisa nahan amarah sedikit pun.' ucap Erin dalam hati.

Mengusap kasar wajahnya, kemudian Erin menatap sendu pada Aris dan Kalvin yang menatap takut padanya. "Maaf, "

"Gue gak bisa ngontrol emosi, lo paham, lah. Saat ada orang yang lo sayang, terus tiba-tiba dia punya masalah, dan yang paling tersakiti adalah diri sendiri. Bukan dia. Itu yang gue rasakan."

Aris menggeleng dengan perasaan campur aduk, disisi ia merasa senang karena Erin menyadari kesalahannya, tapi disisi lain ia sedih saat ucapan Erin yang menyentuh sesuatu di dalam lubuk hatinya.

"Iya, Bang. Gue tau rasanya gimana. Gue udah di buang dari keluarga saat kecil, tapi gue masih seneng, kok, karna gak bisa ngerasain gimana rasanya punya masalah." kata Aris, senyumnya tipis namun mengiris hati. Erin yang mendengar itupun terkejut, tak menyangka akan lantunan yang akan membalas ucapannya.

"A-ah, maaf, ya Ris. Gue gak bermaksud..." Erin menyentuh tangan Aris dengan lembut dan mengusapnya dengan ibu jarinya. Telapak tangan Erin seolah di siram air dan minyak, sangat tak enak dengan ucapannya sendiri.

Aris menggeleng pelan, mengatakan kalau itu tidak masalah buatnya. Sampai suara pintu terbuka membuat Aris dan Erin yang tadinya berpegangan, reflek dilepas.

Ternyata yang masuk adalah Arsan, Hara, dan Jey yang sudah sampai dengan tentengan mereka masing-masing. Tentunya tentengan tersebut berisi pesanan dari Adli.

PERJAKAWhere stories live. Discover now