P 7. Keputusan

2.5K 144 5
                                    

"Gila lo, Van! Gila! Lo udah tau di dalem perut lo itu ada nyawa! Kenapa lo masih aja nerima tantangan dari orang?! Apalagi kayaknya taruhan yang lo buat itu juga anak lo?! Gila, Van. Gila!!" Erin berteriak kesal serta frustasi. Erin kenal, sangat kenal dengan tabiat Adli kalau sudah menyangkut masalah tantangan. Entah tantangan tersebut yang memulai adalah Adli atau orang lain.

"Enggak, lah. Gue yang bikin taruhan itu, siapa yang menang dia gak boleh ngusik hidup gue dan anak gue, justru kalau yang menang orang. Maka, gue harus nurutin kemauan orang itu, sekalipun itu gue harus mati." ucap Adli, masih dengan nadanya yang santai.

Perkataan Adli membuat mereka tercengang. 'Kan? Siapa yang berani mengambil resiko sebesar ini hanya untuk hal kecil?.... ah, hampir lupa. 'Kan mereka belum tahu apa penyebab Adli mengambil resiko sebesar itu, dan apalagi hal tersebut juga menaruhkan sebuah taruhan antara hidup dan mati.

"Ris, Vin. " panggil Adli, di tengah keheningan itu hanya Adli yang bicara setelah argumennya mengalahkan argumen Erin.

Kedua pemuda yang disebut namanya dengan perlahan mengangkat wajah mereka, ragu untuk menatap Adli yang memanggilnya.

"Lo ingat gak, soal tadi pagi? Yang dimana semua warga datengin dan kumpul di rumah ini." tanyanya dibalas anggukan oleh keduanya.

"Ingat, mereka kenapa?" Aris bertanya, aslinya ia mengurungkan niat untuk mengobati tangan Adli yang kena wajan panas. Tadi, saat Adli terus mengambil buah atau makanan yang ada di hadapannya, Aris tak sengaja melihat tangan kiri Adli yang memar, dan akhirnya saat ia ingin mengobati, Adli lebih dulu bercerita saat ia belum membahas masalah tangan itu.

"Itu, mereka mau bales dendam karena gue udah bunuh anak mereka tadi malam." Erin menepuk jidatnya, tak paham dengan isi pikiran sang ketua yang juga adalah sahabat terbaiknya. Apa tadi katanya? Udah bunuh anak orang? Terus, orang tuanya balas dendam? Benar-benar gila.

"Pantesan, orang lo duluan yang mulai. Jelas aja mereka marah." gumam Jey, ntahlah sepertinya mereka sudah paham betul gimana tingkah pria kecil itu.

Sedangkan Hara dan Arsan hanya bisa menghela nafas lelah, "Terus? Karena itu, lo bikin tantangan, dan taruhannya anak lo sendiri?" tanya Arsan mempersingkat dan jelas semuanya.

Adli menampilkan cengiran khasnya yang membuat gigi bertaring mungil itu terlihat, "Lo tau jawabanya kalo lo udah bisa bikin persoalan. Itu kata pak Jiro, hehe..."

Semuanya yang ada di sana menghembuskan nafas berat, sedangkan orang yang mengalaminya terlihat sangat santai. Ya, walau mereka tak tahu saja kalau Adli sedari tadi sudah hampir menumpahkan kristal beningnya, kalau saja tidak ada makanan yang mengganjal mulutnya.

~ ~ Keputusan ~ ~

Kini dua hari telah berlalu, semenjak cerita Adli tempo hari. Cerita yang amat sangat menggemparkan anggota inti gang motor Ragvan. Masa dimana mereka diuji dengan tingkah sembrono sang ketua yang tak ada bedanya saat tawuran biasanya.

Arsan berpikir, mungkinkah Adli adalah anak kelas 12 yang tidak naik kelas selama dua tahun? Dari sikap dan perilaku Adli, Arsan seperti melihat seseorang yang lebih tua darinya. Hanya saja badan Adli itu kecil. :)

Mentari sudah menyambut pagi Adli yang tinggal di rumah kecil itu, para sahabatnya sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Namun, dalam dua hari itu juga, Adli selalu mendapatkan tamu para sahabatnya yang berkunjung.

Mereka membuat kesepakatan bersama. Kalau Adli tetap ingin melanjutkan tantangannya dengan para warga disini, maka sebagai sahabat adli, keempatnya pun menawarkan diri untuk selalu menjaga adli dan bayi di dalam kandungannya sampai lahir dan sehat tanpa adanya cacat.

PERJAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang