P 5. Khawatir

2.5K 196 8
                                    

Keduanya mengangguk, mereka saling melempar pandang satu sama lain sebelum Aris akhirnya membuka suara. "Gue Aris Adilian dan temen gue Kalvin Aksara, panggil gue Aris dan dia Apin-- auch!" Aris memekik lantaran lengannya yang di cubit dengan ganas oleh Kalvin.

"Apa, sih? Main cubit cubit aja lo!?" menatap Kalvin tajam, sedang Kalvin sendiri memilih buang muka.

"Panggil gue Kalvin aja, jangan dengerin apa kata ni bocah, Bang." ucap Kalvin membuat mereka mengangguk paham.

"Jadi, siapa yang nyuruh lo berdua kesini? Musuh kita aja gak pernah ada yang tau soal markas ini." Jey menatap mereka berdua dengan tatapan penuh intimidasi. Memang benar, walau tempat ini sangat strategis untuk ditemukan oleh musuh. Namun, nyatanya tempat ini sangat terlindung dari serangan luar.

"Yang ngasih tau kita tuh. Adli, Galian Adlievan--"

"Stop, gue tau siapa dia," Arsan memotong ucapan Kalvin, "Sekarang kasih tau kita dimana dia?" tanyanya terkesan tak sabaran.

Semua yang ada di situ serentak berdiri, "Lo berdua kasih tau kita dimana dia! Kalo mau nebeng ayokk!"

"Yoi, Bang! Gas keun."

Akhirnya tanpa berlama-lama lagi. Mereka segera berangkat, tapi mengambil motor para gang Ragvan terlebih dahulu di parkiran sekolah. Kemudian membawa Kalvin dan Aris pulang sekalian melihat Adli.

~ ~ Khawatir ~ ~

Di rumah kecil, terlihat seorang pemuda kecil yang tengah membersihkan rumah yang layak disebut gubuk itu. Heheq

Tiba-tiba saja ada suatu rasa yang nempel di antara lidahnya. Rasa sebuah martabak manis yang sering ia makan bersama teman-temannya disaat jam istirahat sekolah.

"Mau martabak, ugh~" Adli mengistirahatkan tubuhnya di lantai yang sudah beralaskan karpet. Sehingga tidak akan membuat bokongnya keram.

Tempat itu terletak di ruang tamu, semua meja dan kursi kayu itu sudah Adli pindahkan kebelakang rumah. Kini semuanya terlihat rapi, dan serta kasur yang tak lupa juga Adli jemur guna mengurangi sedikit rasa keras kasur tersebut yang sudah lama tidak di tempati.

Bibirnya mengerucut, matanya berair, rasa ingin itu sangat memabukkan untuk Adli. "Hiks, mau martabak, Mom~ hiks, mau martabak."

Adli tersentak kala pintu rumah terbuka. Terlihat teman-temannya dan teman barunya yang baru saja datang dan memasuki rumah Adli.

Rumah yang begitu kecil dan sempit. Kini terlihat penuh sekali sebab anak-anak remaja itu yang memiliki tubuh besar, membuat Adli merasakan pengap.

"Evan!" Erin memeluk sahabatnya dengan erat, seakan mengatakan jika ia tak ingin berpisah kembali dari Adli meskipun dalam jangka satu detik pun.

"Ugh, Erin~ Evan mau martabak." sontak, mereka membulatkan mata serta mulutnya. Adli merengek, dan kini matanya semakin dibanjiri oleh kristal bening yang mengalir deras, serta bibir Adli yang melengkung ke bawah.

Semuanya menatap Kalvin dan Aris, seolah meminta penjelasan dengan apa yang terjadi dengan ketua mereka. Ketua gang Ragvan yang terkenal dingin dan kejam, yang tak kenal ampun saat membasmi musuhnya dan tentunya tidak menye-menye tentang apa yang ia lakukan.

Kini? Ah, apa Adli terlihat lucu? Bagaimana juga air mata yang berlinang di mata bulatnya yang besar itu, serta sebuah rengekan yang keluar dari mulutnya.

Dunia pasti sudah gila mendapatkan seorang yang kejam dan ramah disaat bersamaan pada semua orang itu, kini menjadi sosok seorang anak yang manja dan yang suka merengek seperti bayi yang menginginkan asi dari Ibunya.

Sedang Adli menggoyang-goyangkan lengan tangan Erin dan terus merengek pada sahabatnya itu. "Erin, mau martabak Mpok Aminah~ hiks, mau martabak~"

Erin menatap mereka bertiga, "Beliin, nyoh sana. Gue yang jaga."

Hara, Jey, dan Arsan menunjuk wajah mereka masing-masing. Erin mengangguk sedang Adli, "Enggak, San aja yang pergi! Jey sama Hara cari buah stroberi sama jeruk!" titah Adli pada mereka bertiga.

Kalvin dan Aris hanya garuk kepala saat Hara, Jey, dan Arsan menatap mereka tajam. Hey, mereka tidak tahu apapun tentang sikap Adli saat ini, loh!

"Apin~" panggil Adli, Kalvin yang dipanggil sontak menatap Adli dengan wajah yang memerah, dan itu disaksikan dengan jelas oleh mereka semua.

"A-apa, Lie?" beringsut Kalvin duduk di samping Adli, Aris perlahan juga mendekati mereka yang duduk.

"Aris."

"Ya?" jawab Aris, kepalanya menoleh menyamping melihat Adli yang memanggilnya.

Tanpa mereka duga, Adli merangkak menghampiri Aris yang berada di sebelah Kalvin. Keluar dari dekapan Erin yang memeluknya.

"Apin pijitin kaki Adli, terus Aris. Adli bole pinjem kakinya bentar buat rebahan?" Aris mengangguk dengan senyum saat melihat Adli yang menatapnya dengan wajah sangat ingin merebahkan kepalanya pada pangkuan Aris.

"Erin, mau peluk tangan Erin. Sinian." pinta Adli pada Erin yang hanya menatapnya sedari tadi. Erin mengangguk dan beringsut perlahan berada di samping Adli dan berhadapan dengan Aris karenanya.

Ketiga pemuda yang hanya berdiri diam itu kini berpamitan untuk melaksanakan keinginan dari sang ketua, Adli.

Adli memejamkan matanya, tapi tak tidur. Ia membayangkan kemarin lalu saat ia kabur dari rumah sakit dan menyatakan pada keluarganya kalau ia tidak ingin berada di keluarga itu lagi.

Jujur, hal yang baru saja ia lakukan itu memang di sengaja. Hanya untuk mengobati rasa rindu saat beberapa hari berpisah dengan keempat sahabatnya. Walau, ya itu membuat mereka heran plus kaget karena tingkahnya.

Alasan dibalik semua itu hanya satu, yaitu tidak ingin mereka mengkhawatirkannya lebih jauh. Cukup menggelikan Adli sendiri dengan tingkah laku yang ia perbuat, tapi entah kenapa ia suka itu.

'Beri Papa kekuatan, ya Dede. Buat bisa bilang tentang kamu dan kejadian kemarin saat Papa bilang ke kakek dan nenek kamu kalau tidak ingin berada dalam keluarga itu lagi. Papa sayang Dede, sayang banget. Kalau Papa kalah permainan, Dede sama Om-om ini ya nanti. Biar ada yang jagain.' batin Adli, membuatnya tanpa sadar meneteskan kristalnya kembali dengan mata terpejam.

"Erin, kenapa kalian diam?" Adli bertanya tanpa membuka kelopak matanya. Kalvin, Aris, dan Erin yang sedari tadi hanya ngelamun akhirnya terlonjak kaget saat mendengar pertanyaan Adli.

Bukannya menjawab, Erin malah bertanya kala netranya menangkap kristal bening mengalir dari sebelah mata Adli yang terpejam. "Lo nangis, lagi? Evan, kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa Tante Zalieva nangis sambil memohon ke kita berempat buat nyari lo? Apa yang udah lo lakuin, Evan?" tanya Erin bertubi-tubi.

"Gue gak mau ada di keluarga itu lagi, Rin. Gue gak mau." ucap Adli dengan tenang.

"Kenapa? Apa alasan lo gak mau ada di keluarga itu lagi?"

Adli perlahan membuka kelopak matanya, menunjukkan netra gelap nan sendu menatap Erin. "Lo percaya gak kalo ada cowok yang bisa hamil?"

TBC

Gomen, hum (◞‸◟ㆀ) paket El gak kondusif lagi. Apalagi ini masa libur or weekend, gue gak punya uang buat beli paket. Maaf ya telat, untuk minggu ini mohon maklumi juga karna hanya bisa up dua chapture 🙏💗

Mau up langsung dua hari lalu, tapi satu chap aja belum selesai. Gue lagi banyak kendala di keluarga, jadi mohon sabar ya. 🧐

Ini juga di paksain bikin, padahal takut kalo ceritanya gak nyambung. Gue sih masih hati-hati sama Writer Block ye, makanya gue up segini dulu.

PERJAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang