P 9. Next, Match

1.5K 113 7
                                    

Di sebuah ruangan bernuansa putih serta semerbak obat-obatan dan alat-alat yang melekat pada tubuhnya, Adli kini terbangun dari alam bawah sadarnya.

Kedua manik bulat cerah dan iris kelabu nya memandangi tempat ia berada saat ini, ia terpikir 'Aku, di RS waktu itu.' duganya yang ternyata benar, kala saat itu ada seorang Dokter yang memasuki ruangan dengan satu suster dan diikuti para sahabat Adli.

"Dokter Erik, Adli kenapa? Apa yang terjadi sama dede? Jawab, Dok!" Adli tampak pucat, ia takut terjadi apa-apa kepada janin di dalam perutnya.

Satu-satunya Dokter yang mengetahui keadaan Adli hanya Dokter Erik, Dokter yang dulu memeriksanya pertama kali.

Dokter Erik menatap Adli, "Apa kamu belum makan?" tanya Erik dengan serius.

Adli terdiam sebentar, mengingat-ingat sebelum pertandingan kedua itu akan berlangsung. "Emh, Adli rasa belum, Dok."

Deru nafas gusar dihembuskan dengan berat, seketika membuat suasana ruangan menjadi serius. "Bayi dalam kandungan Adli tidak kenapa-napa, hanya saja, ia belum sarapan membuat perutnya keram. Hal itu dikarenakan Adli memiliki mag, apa Adli sendiri tahu? Saya rasa Arsan sudah saya peringatkan." Erik melirik si pemuda yang namanya ia sebutkan, Arsan yang namanya di sebut hanya mendelik kecil dan menggumamkan sesuatu.

Sedangkan Adli sendiri mengangguk, "Iya, Dok. Mommy dan Daddy udah ngasih tau." balas Adli membuat Erik mengangguk paham.

"Jadi, ini bukan karena kandungan saya? Dan hanya mag?"

"Iya, hanya mag."

Erik setelah meminta suster untuk melepas infus yang dipasangkan pada tangan Adli, lalu memintanya untuk keluar dari ruangan itu.

"Bang, liat ponsel gue gak?" ah, hampir lupa. Selain Erik adalah seorang Dokter, Erik juga dikenal sebagai kakak kandung dari Arsan. Makanya, Adli bersikap formal seperti itu hanya di hadapan orang lain, tapi tidak dengan orang terdekat.

Adli juga baru ingat kalau ia beberapa hari lalu ingin kembali ke rumah sakit ini untuk mengambil ponsel nya. Namun, karena ada sedikit hambatan beberapa waktu lalu, niat Adli itu menjadi urung.

"Oh, jadi ponsel pake ces hello kitty ini ternyata milik lo, ya Dik." Erik mengeluarkan sebuah ponsel dari jas panjang berwarna putihnya. Menodongkan ponsel ber-cas hello kitty itu pada si empu pemilik ponsel.

"Thanks, Bang." Adli melempar senyum manis kemudian menerima ponsel nya kembali.

"Iya, sama-sama."

Tak lama berada di sana, mereka berpamitan dengan Erik.

~ ~ Lanjut, penentuan ~ ~

Deru motor berhenti di sebuah arena tinju yang parkirannya sangat penuh, bahkan hampir tidak bisa mereka―gang Ragvan memarkirkan motor, karena penuh. Namun, tak peduli dengan kendaraan beroda dua tersebut berada di mana. Mereka hanya fokus pada pertandingan yang akan Adli lakukan, dan ini adalah lomba terakhir, lomba penentuan.

Kini semuanya berjalan memasuki tempat pertandingan tinju yang akan diadakan. Dengan sekitar 10 anggota Ragvan yang mengikuti Adli dari belakang.

Memasuki ruang tinju diadakan, Adli sudah tampak melihat si pria tua itu berada di ujung arena sambil meminum air mineral dan dengan pundak yang dipijat oleh seorang wanita.

"Lie." panggilan tak asing itu memberhentikan jalan kesebelas anak Ragvan itu, terutama nama panggilan itu hanya tertuju pada satu orang.

"Aris? Kalvin? Kalian kenapa ada di sini?" tanya Adli pada kedua pemuda yang memanggilnya. Aris dan Kalvin membalas kalau ia khawatir dengan keadaan Adli, dan juga mereka meminta Adli untuk segera membatalkan pertandingan ini karena tadi saja Adli sempat masuk rumah sakit hanya karena berhadapan dengan si pria tua.

Tadinya, semua warga yang menyaksikan berdirinya Adli dan juga si pria tua di tengah arena tinju mengira kalau Adli kesakitan karena takut dengan pria tua itu. Namun, si pria tua itu tentu sudah paham dengan apa yang terjadi pada Adli. Sekarang? Hm, kita tunggu apa yang akan pria tua itu katakan.

"Bocah!" panggil si pria tua membuat Aris yang ingin menjawab pertanyaan dari Adli itu jadi urung.

"Kayaknya lo kalah, dan gue anggap hasil kita se―"

"Nggak, saya gak terima kalau hasilnya seri! Nggak ada jalan pintas selain saya tanding dengan bapak. Saya tak suka ada orang yang tak berbuat adil, Pak." Adli membangun pendirian sebagai seorang yang suka berbuat adil, kejadian apapun itu dan dalam keadaan apapun, Adli tetap bersikukuh kalau apa yang sudah diucapkan dengan adil dalam kerja sama harus di tuntaskan dengan sedemikian rupa. Tentunya harus tetap dalam keadaan adil.

Sudut bibir pria tua itu terangkat sebelah, menaikkan sebelah alisnya seolah menantang, "Oke, kalo gitu. Gua gak bakal tanggung jawab kalo bayi dalam perut lo itu mati." sontak, ucapan pria itu membuat Adli melotot tajam seakan pria tua itu adalah seorang musuh bebuyutan yang menyebalkan dan harus Adli bunuh sekarang juga.

"Sorry, Dli." ucap Arsan dari belakang Adli, seolah-olah sudah mengerti dengan apa yang terjadi, Adli hanya menghela nafas kecil dan mengusap wajah manisnya dengan kasar.

"Udahlah, gak guna maaf lo buat sekarang. Coba lain kali." tutur Adli membuat Arsan hanya bisa terdiam mematung.

Adli pun melangkah maju dan beriringan dengan si pria tua untuk memasuki arena pertarungan. Para juri sudah bersiap di pinggir lapangan, tak lupa juga raut wajah gelisah dari semua anggota Ragvan yang menonton sang ketua. Begitu pun dengan Aris dan Kalvin yang sangat takut karena keadaan Adli.

Pertandingan berlangsung setelah Adli dan pria tua yang mengganti pakaian mereka. Dengan Adli yang menggunakan baju bela diri dengan sabuk hitamnya, dan pria tua yang melepas bajunya dan yang tertinggal hanya boxer serta sarung tinju di tangannya.

Keduanya pemanasan dengan tatapan yang masing-masing terkunci satu sama lain. Namun, memiliki kilatan yang berbeda. Dari pria tua yang menunjukkan tatapan mengejeknya kalau Adli akan kalah karena kini ia sudah tahu bagaimana cara melumpuhkan pemuda itu, sedangkan Adli menampilkan tatapan tajam yang sangat berapi-api untuk menjatuhkan harga diri pria tua itu.

"BERIKAN SALAM PENGHORMATAN MASING-MASING." kata MC yang mengarahkan pada kedua pria beda usia itu untuk melakukan penghormatan sebagaimana cara mereka.

Adli membungkukkan tubuhnya 50° sembari menyatukan kedua tangannya, dan pria tua itu hanya menabrakkan kedua tangannya seperti meninju dan siap menghajar Adli.

"Lo bakal mati di tangan gue, bocah."

Adli kembali menegakkan tubuhnya, menatap amat tajam pada pria tua itu. "Moving on to the game, I don't care. What is certain is that anything is irregular. All will submit to me."

"Ha? Lo ngomong apaan?"

Adli berdecak, "Intinya. Apapun yang tak beraturan, semua akan tunduk padaku."

TBC

Sorry telat, viewers El~

Maapkeun too karna akhir bab nya selalu ngegantung 🙏🙏🌹

PERJAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang