03

589 52 6
                                    

Pagi ini seperti pagi biasanya, Gita sudah standby di depan rumah Indah. Duduk di atas motor yang terparkir sambil memakan sarapannya—memakan roti lapis.

Sarapan Gita telah habis namun gadis yang ditunggu tak kunjung muncul.

“Indah kemana sih? Udah setengah jam juga tapi belum keluar.” Gumamnya, sesekali Gita membunyikan klakson motornya.

Tin... tin... tin...

Tak lama dari itu, akhirnya gadis yang ia tunggu pun muncul dari balik pintu. Berlari kecil ke arahnya.

“Aduh... maaf ya aku agak lama, tadi bangunnya kesiangan.” Sesal Indah saat berada di hadapan Gita.

Tersenyum tipis, Gita menggeleng pelan, “Gapapa kok, emang semalem kamu tidur jam berapa?” tanyanya sembari memakainkan Indah helm.

“Udah lewat tengah malam sih, soalnya ngerjain tugas yang udah masuk deadline.” Cengiran dia tunjukkan sebelum naik ke atas motor dan memeluk Gita.

“Pantesan semalem chat aku ga dibales, ternyata lagi fokus ngerjain tugas.” Motor dijalankan dengan kecepatan rata-rata.

“Maaf ya...” menyandarkan kepala di punggung Gita seraya mengeratkan pelukan.

Gita hanya mengangguk pelan, meski tengah berkendara namun pikirannya masih memikirkan kepulangan temannya beberapa hari yang lalu.

Dia bergelut dengan pikirannya sendiri, memikirkan ke depannya bakalan seperti apa? Terbawa suasana sehingga tanpa sadar dia menaikkan kecepatan motornya, membuat Indah yang berada di boncengannya terkejut.

“Git... pelan-pelan hey bawa motornya! Jangan ngebut!!” Sedikit berteriak agar kalimatnya terdengar oleh Gita.

Tak menggubris, Gita semakin memacu laju motornya—mengabaikan segala omelan Indah yang berada di belakangnya.

Mereka sampai lebih cepat dari biasanya. Gita memarkirkan motornya di gedung fakultas Indah.

Gadis ayu itu bergegas turun, dia segera melepas helm lantas menatap Gita tajam, “Kamu kenapa sih? Kok bawa motornya ngebut gitu? Kalo kenapa-napa gimana?”

Sebelum menjawab, Gita menghela napas pendek. “Maaf tadi aku takut kamu kesiangan.” Ucap Gita asal, dia merapihkan rambut Indah yang sedikit berantakan akibat ubahnya tadi.

Berdecak pelan, gadis itu menyerahkan helmnya kepada Gita. Tanpa sepatah kata pun Indah pergi dari hadapan Gita.

Tanpa ada niat untuk mengejar sang kekasih, dia hanya menatap nanar kepergian Indah. Helaan napas terdengar sangat kencang. Dia sendiri tak paham kenapa dia seperti ini, ketakutannya membuat dirinya tak bisa berpikir lurus.

☆☆☆☆☆

Hari semakin siang, terlihat dari terik matahari yang semakin menyengat.

“Aduh... gila hari ini panas banget.” Keluh seorang gadis yang baru saja sampai di depan toko buku.

“Nyesel deh tadi ga minta tebengan sama Ashel.” Ketika dia hendak mendorong pintu kaca, ada tangan lain yang ikut mendorong, sehingga tangan keduanya tak sengaja bersentuhan.

Memekik pelan, gadis manis itu menoleh untuk melihat siapa itu, “Eh... Kak Gita?!” sedikit terkejut karena orang itu adalah Gita.

“Kathrin...” sapanya dengan senyum tipis, dia membukukan pintu agar gadis itu dapat masuk terlebih dahulu.

“Duluan.” Mempersilahkan Kathrina untuk masuk duluan sementara dia mengikuti dari belakang.

“Kakak mau beli buku?” tanya anak remaja itu sebagai pembuka obrolan mereka.

NelangsaWhere stories live. Discover now