16

515 43 3
                                    




Limabelas menit berlalu setelah bel masuk berbunyi, namun kelas XII MIPA 3 masih terlihat ricuh. Beberapa siswa ada yang sibuk bermain game online di pojok kelas dan bernyanyi tak jelas, beberapa siswi pun heboh dengan dunia ghibah mereka.

Termasuk trio primadona sekolah—Ashel, Marsha dan Kathrina, mereka asik mengobrol, lebih tepatnya kedua sahabatnya itu mendengarkan cerita Kathrina pagi tadi.

“Please, Kak Gita gentle banget serius...” imbuh gadis Leo dengan hebohnya.

“Ada kemajuan nih kayaknya.” Ucap Ashel diakhiri tawa kecil.

“Serius, gue ga nyangka kalo Kak Gita bisa se-sweet itu.” Timpal Marsha yang menopang dagunya, menatap Kathrina tak percaya.

“Mungkin kulkasnya udah mulai mencair, jadi sifat manisnya mulai keluar satu persatu. Gue harus bikin Kak Gita makin mencair.” Tekad Kathrina semakin kuat. Melihat respon Gita  yang mulai sedikit peduli membuat dia semakin ingin berjuang lebih keras.

“Tapi nanti Kak Indah gimana Kath? Lu jangan lupain fakta kalo masih ada Kak Indah.” Sebuah fakta yang memang tak akan pernah mereka lupakan.

Meski kedua sahabatnya mendukung apa yang akan Kathrina lakukan, tapi tak dapat dipungkiri juga jika ketiganya masih menghormati Indah sebagai sosok kakak bagi ketiga gadis remaja itu.

Mereka bertiga terdiam setelah celetukan Marsha, untung saja kalimat gadis itu tak mengundang mood buruk Kathrina. Hanya saja sedikit mengusik pikiran sang gadis Leo.

Kericuhan kelas seketika menghening kala sang kepala sekolah masuk ke dalam kelas, diikuti seseorang di belakang tubuh tuanya.

Pak Heri—sang kepala sekolah, berdiri di depan kelas. Menatap seisi kelas dengan senyum ramahnya.

“Pagi anak-anak...” sapa Pak Heri yang disambut antusias oleh anak-anak di kelas setelah melihat kedatangan beliau yang tidak sendirian.

Sedangkan tiga serangkai yang memang masih melamun, belum menyadari kehadiran sang kepala sekolah.

“Baiklah, melihat ke antusiasan kalian bapak tidak perlu basa-basi lagi. Seperti yang kalian tau, bahwa dia—Gita.” dengan segera Pak Heri merangkul pundak orang di sampingnya, senyum pria tua itu semakin lebar saat hendak mengenalkan kembali sosok kebanggaannya.

“Salah satu alumni yang sangat bapak banggakan, mulai hari ini akan mengajar di sekolah ini. Khususnya di kelas kalian, menggantikan tugas Bu Devi sebagai wali kelas yang sedang cuti hamil.” Jelas kepala sekolah masih dengan senyum yang mengembang di kedua sudut bibirnya.

“Pak, saya rasa... bapak agak berlebihan deh.” Bisik Gita pelan.

“Kamu itu, suka suka saya lah.” Balas Pak Heri.

Gita yang diperlakukan seperti itu cukup malu, karena menurutnya, Pak Heri terlalu berlebihan dalam mengenalkan dirinya. Toh dia berada di sekolah ini pun hanya sekitar beberapa bulan saja.

“Baiklah, kalau gitu bapak undur diri saja. Perkenalannya lanjut aja tanpa bapak.” Pria paruh baya itu pun undur diri, meninggalkan kelas dengan tawa kecilnya.

Kelas kembali ricuh setelah Pak Heri pergi, semuanya anak-anak kelas berebut ingin bertanya kepada sosok yang selalu menjadi kebanggaan sekolah mereka itu.

“Kak Gita aslinya cakep juga ya...”

“Kak Gits, udah punya pacar belum?”

“Eh, ini kita manggilnya Kak Gita atau apa nih?”

“Miss Gita ga sih?!”

“Harusnya mas Gito.”

“Cocoknya sih dipanggil sayang.”

NelangsaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant