06

456 45 18
                                    




"Git! Tunggu!" Suara dari arah belakang menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan menemukan Oneil yang berjalan menghampirinya.

Alis Gita mengerut, menatap Oneil heran. Pasalnya tadi dia pergi paling awal namun kenapa dia masih ada disini?

"Lho, bukannya tadi lu udah balik duluan ya Niel?"

"Gue sengaja nunggu lu disini, ada yang mau gue omongin." Lengannya merangkul pundak Gita, mengajak si Cancer pergi dari area parkir.

Gita mengikuti langkah Oniel yang membawa mereka ke taman yang tak jauh dari studio musik—lebih tepat disebut basecamp untuk mereka.

Rangkulan dilepas, Oniel menghampiri bangku taman lalu duduk disana. Meninggalkan Gita yang masih berdiri di dekat gerbang masuk taman.

Tidak ada percakapan diantara mereka, dan Gita pun masih berdiri di tempatnya. Irisnya tak lepas dari Oniel yang terdiam—menatap nanar langit tanpa bintang.

"Git, lu tau ga kenapa gue tiba-tiba ikut ayah gue ke Jepang?" itu kalimat pertama yang keluar dari mulut Oniel setelah cukup lama mereka terdiam.

Gita tak menjawab, dia ikut terdiam, menunggu apa lagi yang akan Oniel ucapkan selanjutnya,

"Gue pengen liat lu bahagia." Ucapnya pelan, tapi itu cukup jelas untuk masuk ke dalam pendengaran Gita. Mungkin karena suasana yang sunyi jadi suara sekecil apa pun dapat didengar.

Sejujurnya dia tau apa yang dimaksud Oniel, masalah ini terlalu pelik untuk diceritakan. Namun intinya ini menyangkut hati ketiganya—Oniel, Indah, dan Gita.

"Tapi lu ga harus pergi dari kita Niel." Ucap Gita lemah, dia menghampir Oniel, lantas duduk di sampingnya dengan punggung yang besandar pada kepala kursi taman.

"Gue tau salah, dengan perginya gue dari kalian. Indah jadi marah besar sama gue." Tertawa pelan, teringat kembali pertemuan pertamanya dengan Indah setelah empat tahun tak berjumpa.

Dari samping, dengan sangat jelas Gita dapat melihat wajah berbinar sang sahabat. Senyum itu berarti banyak.

"Oh iya, gimana hubungan kalian?" kini mereka saling bertatapan.

Senyum tipis menjadi andalan si Cancer, "Yaa... baik,semuanya berjalan lancar."

Oniel mengangguk paham, "Baik-baik lu sama Indah. Kalo sampe gue denger dia nangis gara-gara lu, gue ga bakal segan-segan buat rebut dia dari lu."

Terdiam, kalimat Oniel terdengar tak main-main. Ada kesungguhan yang terpancar dari kedua iris kelamnya.

Mencoba untuk tenang, anggukan pelan—menetralkan rasa cemas yang hinggap pada dirinya.

“Ga bakal, gue pasti berusaha yang terbaik buat Indah.”

“Baguslah kalo gitu.” Berdiri dari tempatnya, sejenak Oneil menatap Gita.

“Sob, gue tau ini mungkin bakalan bikin hubungan kita agak merenggang. Tapi kali ini gue ga bakalan mundur buat perjuangin apa yang hati gue mau.”

Tubuh Gita menegang setelah Oneil menyelesaikan kalimatnya. Sedikit menengadah untuk menatap sang sahabat karib. Senyum tipis menghias paras jenaka Oniel.

“Duluan ya bro...” tangannya menepuk pundak Gita beberapa kali, lantas dia pun meninggalkan si Cancer sendiri di taman yang sepi itu.

Bahunya meluruh, menghela napas panjang sesudah Oniel tak lagi terlihat dari pandangannya. Diusap kasar wajah menggunakan telapak tangan yang mulai terasa mendingin.

“Hah! Akhirnya kekhawatiran gue muncul juga.” Gumam Gita dengan kepala menunduk lesu.



☆☆☆☆☆


NelangsaOnde histórias criam vida. Descubra agora