17. Cara Halus

9.1K 704 56
                                    

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤSatu minggu ini, Hilmi jadi semangat sekali bekerja, pergi selalu lebih pagi dan pulang lebih lama, alasannya tidak lain dan tidak bukan adalah Laila

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
Satu minggu ini, Hilmi jadi semangat sekali bekerja, pergi selalu lebih pagi dan pulang lebih lama, alasannya tidak lain dan tidak bukan adalah Laila. Sedangkan Laila malah merasa sebaliknya. Pertama, Laila risi karena tau jika dia diterima karena mengenal pemilik perusahaan. Kedua, Hilmi seperti sengaja mengerjainya terus menerus, selalu berusaha untuk menyuruh Laila mengerjakan tugas yang sebenarnya bukan job desk Laila. Laila tidak nyaman dengan pandangan teman satu divisinya saat Hilmi berkali-kali memanggilnya, terlebih, temannya sudah tau jika Laila adalah seorang janda.

"Laila."

Laila mengangkat wajahnya, Zildan lagi. Pasti Hilmi kembali memanggilnya.

"Iya Pak?" Tanya Laila,
"Nanti setelah istirahat, kamu dipanggil Pak Herman ya."
"Pak Herman? Ada apa ya Pak?"
"Kurang tau, udah gitu aja. Jangan lupa ya."

Laila mengangguk lalu berterima kasih. Setelah Zildan kembali hilang di balik lift. Laila menghela napas panjang. Malas sekali harus ke lantai lima dan berkemungkinan bertemu dengan Hilmi.

"Kamu dekat banget ya sama keluarga Pak Herman?" Tanya Erna, teman Laila.
"Engga, Mba. Cuma aku dulu pernah mondok di pesantren istrinya Pak Herman, jadi cuma kenal."
"Sama bos muda juga?"
"Iya."

Erna mengangguk, "bos muda itu kelihatan banget suka sama kamu. Sat set banget."

Laila tidak menjawab, dia enggan membahas masalah itu di kantor. Kembali melanjutkan pekerjaannya sebelum nanti harus mempersiapkan diri untuk naik ke lantai lima.

"Boleh mengundurkan diri aja ga sih, Mba? Ga ada denda kan ya?" Tanya Laila pelan setelah beberapa menit hening.
"Loh kenapa?" Tanya Erna,
"Ga nyaman, Mba, kerja di tempat yang kita kenal sama atasannya."
"Jalani aja dulu, masa training kamu tiga bulan kan?"
"Iya sih."
"Setau aku sih bisa aja mengundurkan diri selama masa training, tapi menurut aku ya lanjut aja dulu, nanti kalo udah tiga bulan masih ga nyaman, nah baru deh boleh keluar."

Laila menghela napas, padahal pekerjaanya kali ini cukup nyaman, teman sekantornya juga baik. Tapi dia tidak nyaman berdekatan dengan Hilmi, bukan benci atau tidak suka, tapi Laila malah merasa bersalah jika terlalu lama berhadapan dengan Hilmi. Dia tidak bisa tutup mata dengan apa yang sudah terjadi sebelumnya dan berlagak seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

Telepon di meja berdering. Laila langsung mengangkat panggilannya dan mengucapkan salam.

"Laila tolong belikan nasi padang ya, tiga bungkus. Yang satu ayam bakar sama tunjang, yang dua bebas terserah kamu. Kalo udah, nanti simpan di pantri, terus buatkan teh sekalian ya, kaya biasa."

Laila menghela napas, panggilan dari Hilmi. "Kenapa harus saya, Pak? Kan ada Pak Zildan, ada OB juga."

"Kamu ga mau?"

"Mau, Pak. Mau." Jawab Laila langsung mematikan panggilannya tanpa mengucapkan salam lagi.

"Bos muda lagi?" Tanya Erna, Laila mengangguk lesu membuat Erna tertawa.

HiLalWhere stories live. Discover now