19. Lailanya Hilmi

10.2K 732 37
                                    

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤHari itu berakhir dengan Laila yang izin pulang lebih cepat

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.


ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
Hari itu berakhir dengan Laila yang izin pulang lebih cepat. Tubuh dan hatinya benar-benar butuh beristirahat, banyak yang sedang Laila kerjakan belakangan ini karena berharap dengan begitu pikirannya bisa sedikit teralih, tapi percuma saja, saat Laila sendirian dan tidak melakukan apa pun seperti saat ini, pikirannya akan kembali memikirkan Hilmi. Laila menangis, meringkuk di dalam selimut. Jika sudah seperti ini, apa yang harus dia lakukan?

Bisa saja saat ini Laila langsung menerima Hilmi, tapi bagaimana nanti kedepannya? Apalagi dengan kondisi sekarang. Laila sudah memikirkan hal ini jauh sebelum dia menerima perjodohannya dengan Gilang. Laila pikir, dia dan Hilmi tidak akan pernah bisa berlayar. Mereka ada di pelabuhan yang berbeda, Laila melihat Hilmi sudah sangat siap berlayar dengan kapal hebatnya. Tapi, lihatlah Laila, dia hanya wanita yang menyedihkan, wanita yang bahkan perahu kecil pun gagal dia layarkan.

Laila mengambil ponselnya yang berdering, menerima panggilannya saat melihat nama bapaknya.

"Assalamualaikum, Pak."
"Waalaikumsalam, La. Bapak udah di Jakarta, tapi Bapak bingung harus naik apa ini?"
"Bapak di Jakarta? Ngapain to Pak?"
"Ibu maksa buat jenguk kamu, ya udah kita ke Jakarta naik kereta."
"Ya Allah, Pak. Kenapa ga bilang aku dulu. Bapak ada di stasiun mana?"
"Pasar Senen."
"Ya udah Bapak Ibu naik taksi aja, nanti aku kasih tau alamatnya."
"Jauh ga La? Kita bisa naik angkot kok, kasih tau aja naik angkot apa."
"Lumayan, Pak. Gapapa naik taksi aja biar langsung sampe. Nanti aku yang bayar kalo udah di sini,"
"Ya udah kalo gitu, sms ya alamatnya biar Bapak kasih ke supirnya."
"Iya, Pak. Hati-hati ya."
"Iya, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."

Laila memijat kepalanya yang masih terasa nyeri bahkan setelah meminum obatnya. Melihat jam dinding yang sudah menunjukan hampir pukul enam sore, sebentar lagi adzan. Lebih baik Laila bersiap untuk sholat sambil menunggu ibu dan bapaknya.

Di tempat lain, Hilmi baru selesai membereskan mejanya dan bersiap untuk pulang. Kantor sudah sepi, jam pulang sudah hampir satu jam lalu, Hilmi menghela napas pelan, satu bulan ini Hilmi sedang berusaha melakukan sesuatu, dia bolak-balik ke Malang setiap minggu, tapi sepertinya tidak menghasilkan apa pun. Setidaknya dia berusaha, itu pikirnya.

Sekali lagi Hilmi menghela napas, mungkin jika memang bukan jodoh, mau dipaksa bagaimana pun, dia dah Laila tidak akan pernah bisa bersatu. Sepertinya mulai sekarang, dia harus kembali belajar move on.

Hilmi menyipitkan matanya saat melihat orang yang tidak asing di depannya. Hilmi kembali turun dari mobil dan berjalan ke depan halaman kantornya, menghampiri orang yang dia kenal.

"Pak Ilham?" Tanya Hilmi,

Kedua orang di depannya berbalik lalu tersenyum lega saat melihat Hilmi, "Gus Hilmi, assalamualaikum, Gus"

"Waalaikumsalam, Bapak sama Ibu dari mana?" Tanya Hilmi sambil menyalami keduanya.

"Kita dari Malang, Gus. Mau jenguk Laila, tapi kita bingung, tadi supir taksinya berhentiin kita di tengah jalan karena mogok."

HiLalМесто, где живут истории. Откройте их для себя