20. Ya Udah

9.5K 782 83
                                    

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤSejak pulang kerja kemarin sore, tubuh Laila tidak berhenti menggigil

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
Sejak pulang kerja kemarin sore, tubuh Laila tidak berhenti menggigil. Laila pikir, jika tubuhnya digerakan, dia akan lebih baik, karena biasanya juga seperti itu, tapi kali ini ternyata malah sebaliknya.

"Makan dulu, La. Ibu beli bubur di depan."

Laila membuka matanya, wajahnya pucat pasi tapi hidungnya memerah karena flu.

"Udah dibilangin ga usah kerja dulu, ngeyel banget kamu ini. Untung sekarang ada Ibu Bapak, kalo kamu sendirian gimana nanti? Mau di kontrakan sampe pingsan? Lihat, firasat Ibu benar kan Pak? Anak ini ga bisa jauh-jauh kalo sendirian. Dulu waktu sama Gilang aja masih suka ngerengek pengen pulang. Apalagi sekarang."
"Udah to Bu. Anaknya sakit malah diceramahi. Sakit mungkin emang karena udah waktunya aja, belum lagi cuaca lagi ga jelas. Udah biarin aja. Ayo bangun dulu La. Minum obat."

Laila memanyunkan bibirnya, itu memang benar, saat dulu masih menikah dengan Gilang, Laila kerap menelepon orang tuanya dan meminta untuk pulang, padahal jika Laila berbicara dengan Gilang, pria itu akan langsung mengizinkan Laila untuk menengok kedua orang tuanya.

Laila bangun lalu mengambil mangkuk berisi bubur, mulai memakannya setelah membaca doa, "itu kan udah lama, sekarang ga gitu. Lihat, udah berapa bulan aku di sini, ga ada kan telepon minta pulang." Ucapnya di sela makan.

"Oh iya, apa maksud kamu semalam bilang Bu Nyai Aisyah pengen ketemu kita?" Tanya bapak,
"Katanya Bu Nyai pengen silaturahim, ajak Bapak sama Ibu buat makan malam."

Bapak mengangguk, "bilang sama Bu Nyai, kita mau."

Laila langsung menghentikan gerakannya menyuap makan. Laila menatap bapaknya yang dengan santai mengatakan itu padahal tau jika Laila sedang menghindari Hilmi,

"Satu bulan kemarin, udah empat kali Gus Hilmi datang ke rumah—"
"Ke rumah?" Potong Laila,

"Iya, ke rumah kita di Malang. Awalnya Bapak juga kaget, dia datang pagi-pagi sebelum Bapak ke pasar. Dia bilang mau melamar kamu lagi, waktu itu Bapak ga bisa jawab apa-apa. Kedua kalinya Gus Hilmi datang, dia masih ngomong hal yang sama, tapi yang kedua kali dia minta tolong Bapak buat bicara sama kamu, minta tolong buat yakinkan kamu, saat itu Bapak juga ga bisa jawab apa-apa, karena Bapak pikir, kalo kamu mau pasti kamu udah jawab mau. Bapak pikir dia ga bakal datang lagi, tapi dia tetap datang lagi, waktu datang yang ketiga sama keempat, dia udah ga ngomong apa-apa tentang niatnya melamar kamu, dia cuma bilang mau silaturahim, Gus Hilmi bantu bapak bawa barang ke pasar, yang terakhir bahkan Gus Hilmi ikut jualan di pasar, dia bilang cari pengalaman, seru katanya. Dia seharian ada di pasar, teriak-teriak tawarin dagangan kita, hari itu juga jadi banyak ibu-ibu yang mampir ke kios kita karena ada Gus Hilmi." Bapak berhenti sejenak, menyesap kopi hitamnya yang sudah dingin.

"Yang terakhir, Gus Hilmi sekali lagi minta sama Bapak pas dia antar kita ke sini. Bapak tetap ga bisa jawab apa-apa, La. Keputusan ada di kamu. Bapak sama Ibu sebagai orang tua kamu, cuma mau ingatkan, permintaan Bapak dulu emang egois, Bapak sadar, tapi Bapak juga ga punya pilihan. Tapi sekarang, kamu udah sendiri lagi, Gilang juga udah bahagia, begitupun orang tuanya. Sekarang tinggal kamu, La. Kamu harus cari kebahagiaan kamu sendiri, entah itu emang sama Gus Hilmi atau engga, itu terserah kamu. Tapi ingat, kamu harus pilih yang buat kamu bahagia. Jangan kamu bilang kamu ga mau sama Gus Hilmi tapi kamu malah menderita sendiri, pun sebaliknya."

HiLalWhere stories live. Discover now