1) Si Kembar yang Malang

45 11 7
                                    

"Pagi ini, aku dibangunkan oleh suara teriakan

Berasal dari teras bangunan bagian selatan

Semua orang berteriak; hanya Mel dan Mo yang bergerak sigap di antara kobaran api—kian meradang

Haruskah aku ke sana? Bila iya, kelak terjadi penyelamatan atau kekacauan?

Segenap tubuhku dikuasai ragu

Kuat hasrat ini 'tuk membantu

Apa daya, aku harus menuruti ibu

Bila tidak, sesuatu yang buruk 'kan terjadi pada saudari kembarku."

Gadis di hadapanku lalu membuang napas panjang. Ditatapnya diriku begitu dalam sebelum kembali berbisik.

"Detik demi detik terasa begitu lambat

Aku merasa keterbatasan di kediamanku sendiri kian menjerat

Dari pojok paviliun aku memukul, menggigit kuku, mencakar, menghujat

Lantas, melalui tayangan holo kudengar saudari kembarku meneriakkan sesuatu—membuatku terperanjat.

Percakapan lain terdengar; sang elok ... wanita yang melahirkanku ... sekarat?

Sebagian dari diriku bersorak, sebagian yang lain tertelan kepiluan, sangat

Bukankah sebaiknya ia memang jenat?

Karena dengan demikian, tak ada lagi sang penghambat."

Oh, Arindi Silvania. Puisimu sarat akan harapan terdalammu, bukan? Karena itulah kau berbisik. Kau tak ingin ibumu mendengarnya. Atau bahkan Mel dan Mo. Semua kegiatanmu terpantau kamera, tapi mungkin tidak dengan suaramu. Dan kau merasa sedikit diuntungkan dalam hal itu. Bukan begitu, sayang?

Sebenarnya, kebakaran itu memang kenyataan. Tepat terjadi di suatu pagi pada awal tahun. Hanya saja waktu itu kau dan saudari kembarmu masih terlalu kecil untuk memahami yang tengah terjadi. Ada untungnya juga sejak dulu aku ditempatkan di paviliun ini. Kalau tidak, mungkin aku pun turut terlalap api.

Belum lagi, dulu beban hidup kalian jauh lebih ringan. Juga, ketika itu tak ada korban jiwa.

Maaf, Arindi. Seandainya aku punya tangan untuk memeluk dan bibir yang dapat berucap, akan kugunakan momen ini sebaik mungkin untuk menghiburmu.

Sayangnya, aku hanyalah benda mati. Atau setidaknya begitulah menurut manusia. Bergeming adalah kodratku. Memantulkan bayangan ialah sifatku. Pendapatku tak dapat tersampaikan pada entitas manusia.

Seandainya memang hal ini terekam kamera, kau pasti akan terlihat seperti sedang bernyanyi. Cerdik sekali, sayang.

"Kau tahu," ucapmu seraya melipat beberapa bajumu. Keenggananmu untuk membiarkan hal itu dilakukan oleh asisten artifisial—Mel maupun Mo—sungguh membuatku terkesan. "Dari sekian banyak benda yang ada di sini, kaulah yang paling aku benci."

Baiklah. Kurasa aku tahu alasannya.

"Melalui dirimu kami dapat melihat tampilan fisik, tapi tidak dengan sifat atau polah kami."

Sebenarnya, aku setuju. Dan terima kasih karena kau lagi-lagi menganggapku temanmu, Arindi. Buktinya kau kerap bicara padaku.

Sebelah tanganmu tergantung di udara. "Tapi ... itu bukan kemauanmu, bukan? Itu keinginan pembuatmu."

Betul sekali, Arindi sayang.

"Nah, tapi ada satu hal yang kusuka darimu. Kau sama sekali tak tersentuh teknologi sampah apa pun itu. Usiamu barangkali sudah berdekade-dekade."

Itu juga benar. Hampir saja aku akan dimodifikasi menjadi cermin plus holo. Uh, tak sudi aku. Sudah cukuplah kau terkurung bertahun-tahun di paviliun ini bersamaku. Terima kasih lagi karena telah mempertahanku. Aku mengenalmu sejak dirimu semasih berada dalam kandungan ibumu.

Ah, ibu. Layakkah orang yang telah melahirkanmu dipanggil demikian, Arindi? Mengingat ia kurang memanusiakan darah dagingnya sendiri. Aku sungguh turut prihatin ....

"Sebentar lagi kita akan berpisah, kau tahu," lanjutnya seraya memasukkan susunan lipatan pakaianmu ke dalam lemari. "Nanti, Arinda yang akan berada di sini."

Terkurung di sini, koreksiku. Dan bagaimana perasaanmu akan hal itu? Baik kau maupun saudari kembarmu mau tak mau harus patuh pada aturan wanita biadab itu. Aku tahu kau mendambakan kebebasan, tapi bahkan di luar sana kau harus bertindak sesuai kemauan ibumu, bukan? Malang sekali nasibmu—nasib kalian berdua, maksudku.

"Ah, aku tak bisa membayangkan seandainya Arinda yang terkurung di sini. Bisa jadi dia lebih tegar, sih."

Sudah, sudah. Ini waktunya istirahat, sayang. Beristirahatlah. Beruntung kau tak perlu lagi tidur di mesin torpor sialan itu. Nah, begitu. Lakukan ritual malammu dan pastikan kau hangat di balik selimut.

Aku akan memastikan malam ini berjalan dengan khid ... oh, sial.

Ibumu datang, Arindi. Tepat pukul dua dini hari.

Dan wanita biadab itu memasukkan sesuatu ke dalam lemari ini.

◊▷◁◊

Fiyuh. Kelar juga tantangan hari pertama DWC ini. Yeay! Tema hari ini: Buatlah cerita yang berawalan, "Pagi ini, aku dibangunkan oleh..."

Moga masih masuk tema hoho. Btw, ternyata setelah kupikir-pikir, disambungin aja dengan cerpen Putri Boneka. Alhamdulillah masih bisa pakai sudut pandang benda mati.

Sang PengamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang