26) Jati Diri

2 1 0
                                    

"Benarkah? Kau bertemu dengan Sherina? Pasti seru!"

Kau mengangguk. "Ya ... anehnya, lemari itu juga yang menyelamatkan kami."

Kau dan saudarimu tengah sibuk di ruangan lain, tapi kami dapat mendengar suara kalian.

Mengenai Sherina, dia sudah kembali pada bentuk semula. Arinda benar-benar mengidolakannya ketika Arindi masih tertidur di mesin torpor.

"Anggap mimpi sajalah, ya," gumammu ragu.

"Mimpi atau bukan, kurasa petualangan kalian sungguh memberi kesan."

Kau tersenyum, senang kembaranmu tak menyepelekan pengalamanmu. Ya. Kukatakan pengalaman, karena kalau mimpi ... berarti kita semua berada dalam mimpi yang sama? Ini terlalu absurd untuk dianggap sebagai realita, memang.

Jadi, untuk sementara mari menganggap hal itu sebagai mimpi.

Sejujurnya ... aku khawatir kau akan terpikir untuk menyingkirkan kami. Alih-alih takut, kau menganggap pengalamanmu itu sebagai hal yang amat berkesan. Kau bahkan meminta ibumu untuk membelikan tas ransel ikonik di film Sherina. Oh, ralat. Petualangan Sherina, maksudku.

Aku sungguh tak bisa membayangkan bila kau trauma dengan keberadaan kami.

Apa mungkin nanti kita akan menjadi portal lagi?

Entah. Memang ada banyak kemungkinan. Itu jawaban si gagang.

Aku mengerti perasaanmu. Kau pasti ingin turut meyakinkan Arinda bahwa pengalaman kita itu terasa nyata pula bagi kita semua, kan?

Laci benar. Nyatanya, Arinda toh tak meragukan. Itu sudah lebih dari cukup.

Ah, iya. Kalian ingat ketika aku, laci, dan gagang terkejut karena kami mengira Arindi menghilang? Kebiasaan-kebiasaan Arindi seolah digantikan oleh Arinda dalam sekejap.

Nyatanya, Ndi yang menyesuaikan kebiasaan Nda. Caranya melipat baju, menyisir, berdandan, bahkan mengoleksi pernak-pernik berwarna biru ... semuanya ditiru dari kembarannya sendiri.

Oh, Arindi yang malang. Apa yang terjadi pada jati dirimu? Kalau bukan Oliv yang membuatmu begini, siapa lagi?

"Ndi, coba kau buka kotak ini."

Uh, sayang sekali aku hanya bisa mendengar dari sini. Aku sangat penasaran dengan benda yang mereka bahas.

Ndi lantas terkesiap. Ia tampak mengagumi alat itu.

"Ini dari Resko. Kurasa lebih cocok kalau kau yang menggunakannya."

"Lho, kenapa tidak kau saja, Nda?"

"Aku kurang suka harmonika."

Oooh. Ternyata harmonika. Boleh juga selera musik si Resko itu.

"Tapi ... aku belum bisa memainkannya."

"Aku akan mengajarimu. Sini."

Lalu, keduanya menjauh. Suara mereka pun meninggalkan kami. Aku senang kok kalau keterampilanmu bertambah, Ndi.

Kemudian, suara harmonika memenuhi hampir seisi paviliun. Permainan merdu pastinya dihasilkan dari Arinda, sedangkan Ndi masih melatih pola pernapasannya. Tak apa. Teruslah berlatih, Ndi.

Nah. Akhirnya kau berlatih di kamarmu sendiri. Kau harus tahu aku amat senang mendapati dirimu kian sering memainkannya. Pernapasanmu kini lebih stabil. Lagu singkat kau berhasil mainkan dengan apik.

Untunglah Oliv membolehkanmu bermain harmonika meski di hari-hari tertentu. Selain melukis, kau tampak menjadi diri sendiri melalui permainan musik. Ternyata benar. Seperti yang pernah Geri katakan, 'seni membuat kita waras. Berkarya adalah cara terbaik untuk melakukannya.'

Asal kau tahu. Kau sangat bersinar ketika menjadi dirimu sendiri, Ndi. Apalagi tiap kali kau memainkan harmonika di dekat jendela. Rasanya begitu syahdu. Kuharap, kau masih sempat melakukannya sekalipun nanti kau sering tampil di hadapan publik.

Waktumu kini kurang dari satu tahun, Ndi. Setelahnya, publik akan menyambut eksistensimu. Aku agak menghawatirkanmu, Ndi. Tapi semoga itu memang jalan terbaik buatmu, buat kalian berdua.

Dan Nda ... aku tidak tahu apakah ia akan senang bila tiba gilirannya tinggal di paviliun bersama kami.

Apa pun yang akan terjadi nanti, kuharap kalian sama-sama tangguh dan tetap memiliki visi serta misi yang sejalan.

◊▷◁◊

Tema hari kedua puluh enam:

Buatlah cerita yang mengandung 3 kata ini: Biru, Harmonika, Jendela. Minimal 500 kata. Kata harus ditulis secara berurutan dari Biru-Harmonika-Jendela.

Contoh: Langit hari ini berwarna biru. Aku mengambil harmonikaku dan memainkannya di dekat jendela.

Sang PengamatWhere stories live. Discover now