3) Topeng Belaka

16 5 4
                                    

"Wedang ronde biasa, satu porsi."

Zaman boleh berubah. Penggunaan asisten artifisial kian digalakkan (terkhusus humanoid dibatasi). Namun, agaknya selera pria berkulit kuning langsat itu tetap tak tergerus waktu.

Di bawah keremangan cahaya neon, pria itu duduk di kursi paling ujung, sengaja menjauhi pengunjung lain. Tak terlalu berhasil sebenarnya karena warung minuman itu agak terpencil di lingkungan yang sepi.

Sang asisten artifisial yang tengah menyiapkan pesanan di sela-sela kesibukannya menekan tombol-tombol pada layar holo. Tubuhnya berbentuk persegi panjang dengan empat tangan berbentuk capit di bagian ujung serta dua kaki yang senantiasa bergerak gesit. Tak lama kemudian, si pria tersenyum mendapati dua pengunjung lain beranjak menjauh seiring langit yang kian membasahi bumi.

Dengan begini, ia akan semakin leluasa.

"Wah, wah. Ada pelanggan setia rupanya," ucap seorang pria gempal yang datang dari balik tirai.

Keduanya berjabat tangan cukup erat. Setelah berbasa basi singkat, si pelanggan setia mengutarakan keinginannya.

"Karena aku belum lupa pekerjaan sampinganmu ...." Dikeluarkannya sebuah kalung dari dalam tas pinggang, "kuharap kau masih sudi membantuku, Ten."

Ten membuang napas panjang. Diamatinya kalung itu. "Kau ingin aku menjualnya, Yos?"

Yos tergelak. "Aku memang tidak sesibuk dulu, tapi aku tidak sefrustrasi itu sampai mencuri dan menjual hasil curian." Ia lantas menyendok air jahe sebelum kembali membuka mulut. "Ini kalung yang sama persis dengan yang dimiliki keponakanku. Aku mau kau sedikit memodifikasinya. Menyadap hingga tingga bulan ke depan sudah lebih dari cukup."

"Ah," gumam Ten. "Kukira kau ingin memantau pasanganmu atau apa."

"Ck. Ini jauh lebih penting. Aku curiga wanita itu telah membunuh kakakku."

Ten mengangkat alis seolah bertanya 'wanita itu? siapa?' lalu detik selanjutnya Yos menunjuk layar holo yang tengah menampilkan sebuah iklan.

Seorang wanita belia dengan rambut tergerai indah membelai lembut wajahnya sendiri; sungguh mulus dan bersih tanpa cela. "Mau cantik luar dan dalam? Pakai Glimglow dari sekarang."

Sebelum kerutan di dahi Ten semakin dalam, Yos berujar, "maksudku bukan si model, tapi founder dari merk produk kecantikan itu."

Ten membelalakkan mata. "Olivia-Olivia itu?"

"Kakakku ayah dari dua keponakanku. Suami dari Olivia Ravanti."

Kelopak mata Ten terbuka jauh lebih lebar. Mulutnya membulat dan ia seakan lupa cara bernapas. Pria itu lalu bertanya, "bukankah itu kecelakaan? Longsor, bukan?"

"Kesannya memang kecelakaan, tapi kau pasti akan sama curiganya denganku bila mengenal wanita itu. Aku tahu ini memang gila. Kuharap ini hanya prasangkaku saja, tapi tetap saja aku merasa perlu membuktikannya."

Ten terkekeh dan menggelengkan kepala. "Melawan wanita seperti Olivia? Bung, kau bisa dituntut balik karena sudah menyadap keluarganya bila ketahuan."

"Tentu aku menyadari kemungkinan itu. Setidaknya aku mendapat kepastian dulu, lah." Ia lantas mengunyah ronde dengan begitu khidmat. "Soal bayaran tak perlu khawatir. Aku akan bayar lebih dengan tunai. Ini untuk sekarang." Yos menyerahkan beberapa lembar uang yang jumlahnya lumayan.

Ten bersiul panjang. "Seharga dengan kalung ini?" Ia sedikit berkelakar.

"Bisa saja, tapi mungkin dananya sudah siap ketika anakmu sudah seusia denganmu saat ini." Yos lantas tersenyum menyeringai. "Asal kau tahu, aku sampai harus menjual salah satu asisten artifisialku agar bisa membeli kalung itu. Apalagi custom."

"Ck. Ck. Ck. Pelanggan setiaku ternyata paman dari anak-anak Olivia Ravanti. Kau tahu, istri dan anak perempuanku pengguna setia Glimglow. Mereka seperti tersihir oleh produk itu."

Memang benar. Hampir semua perempuan di wilayah Nusanesia begitu memuja Glimglow. Oh, omong-omong ini pendapat pribadiku. Sudah tak terhitung berapa kali Olivia Ravanti menghadiri acara-acara terkait Glimglow serta menjadi narasumber terkait kewirausahaan. Di layar sekaligus berbagai tayangan, ia memang terlihat sempurna. Sayangnya kesempurnaan itu hanyalah topeng belaka.

Sekali lagi, kejadian yang baru saja kusampaikan berdasarkan kesaksian cermin mungil yang terdapat pada kalung berlian milik Arindi. Secara pribadi aku salut pada keberanian Yos—beberapa hari setelah kalung Arindi berhasil 'dimodifikasi', ia bercengkerama dengan si kembar sebelum kemudian menukar kalung Arindi yang asli dengan kalung yang telah ia siapkan. Ya, betul. Kalung ini berbeda dengan yang memberi kesaksian terkait longsor. Malang nasib Yos karena agaknya ia tak mendapatkan hasil yang diharapkan. Buktinya, ia belum kelihatan lagi batang hidungnya hingga kini. Aku sih yakin dia masih hidup. Barangkali ia mencoba taktik lain. Semoga saja begitu.

◊▷◁◊

Puji syukur. Tuntas menulis tema hari ketiga: Warung. Haha gatau kenapa aku pun tetiba kepikiran wedang ronde. Anget bin mak nyos apalagi kalau dimakan di musim dingin haha. Adakah di sini penggemar wedang ronde juga? 

Sang PengamatKde žijí příběhy. Začni objevovat