15) Mimpi Alen

10 2 0
                                    

Mungkin kalian penasaran, apakah kami pernah tertidur atau tidak. Aku sendiri sih awalnya tak menyadari hal itu. Selama ada cahaya, cermin senantiasa 'bekerja'.

Di beberapa kesempatan, keadaan benar-benar gelap gulita. Saat itu rasanya aku bisa sedikit lebih tenang dan beristirahat. Terkadang aku iri dengan cermin kecil karena waktu istirahat mereka lebih panjang.

Waktu istirahatku sendiri singkat. Pertama, ketika aku masih di toko lalu beberapa kali di kamar Ndi (kadang ia mematikan semua lampu ketika tidur).

Awalnya aku tak paham. Cahaya membutakanku, lantas aku berjalan! Aku punya kaki!

Seseorang memanggilku—kurasa memang seseorang, sih. Bahasanya asing, tapi entah kenapa aku paham bahwa ia mengajakku untuk bergabung dengan yang lain.

Lalu aku menanyakan, sejauh apa?

Dia—yang aku sendiri ragu apakah ia laki-laki atau perempuan, sebagaimana aku meragukan penampilan fisikku yang tiba-tiba memiliki tangan dan kaki—hanya tersenyum dan menarik tanganku. Kami berlari di atas jalur putih yang amat terang. Ah, pemandangan di sini aneh sekali. Sulit menentukan mana pijakan dan mana langit. Semuanya berpendar.

Lho, ini di mana?

Kemudian, lampu kembali menyala. Aku tak menyangka mimpi itu—ya, mimpi, mengutip Ndi—menyambung ke waktu istirahatku yang berikutnya.

Di mimpi itu, aku bercengkerama dengan tiga individu lain. Kami tertawa. Kami berpelukan hangat. Perlu waktu untuk menyadari tawa paling lepas lolos dari mulutku sendiri.

Lalu, individu yang paling lembut dan keibuan mengucapkan semacam 'sampai jumpa', begitu pula yang lain. Mereka kemudian satu per satu terurai menjadi butiran cahaya.

Lho, ke mana mereka?

Sialnya, hanya sampai itu saja. Apa aku terpengaruh tayangan-tayangan di holo dan juga dialog si kembar? Tapi kok, nyata sekali rasanya. Seperti manusia sekaligus bintang.

Lalu, keajaiban terjadi. Itu pun setelah aku—maksudku kami, karena aku bagian dari sebuah lemari, ingat?—ditempatkan di paviliun ini.

Aku awalnya mengira ini bukan kenyataan, tapi gagang lemari yang biasanya terdiam tiba-tiba menyapaku.

"Alen, kau sudah ingat?"

"Eh?"

"Alen, aku tahu kau masih bingung. Kau mungkin belum banyak mengingat kami, tapi tak apa. Aku hanya ingin memastikan kau bisa mendengarku."

"A-aku Alen? Manusia bintang?"

"Hahaha! Sudah sejauh itu rupanya ingatanmu. Ya, ya. Alen, aku senang kita berkumpul kembali."

"Oh, be-begitu, ya?" Aku berusaha mengingat-ingat nama maupun sebutannya.

"Sudah, tak perlu dipaksakan, Alen." Itu suara si laci atas. Lho, dia bisa berinteraksi juga rupanya? "Aku sih hanya ingin bilang, kami menyayangimu."

"O-oh, halo ... senang bertemu kalian. Sepertinya dulu kalian orang tuaku, ya? Dan kalau aku tak salah ingat, bukannya kita seharusnya berempat?"

Gagang lemari seperti berubah sendu. "Ya, Alen. Kau benar. Saudaramu sayangnya bukan bagian dari lemari ini."

Aku pun jadi berubah murung ... oh, jadi begini rasanya punya perasaan?

"Sayang sekali. Baiklah. Apa kalian tahu di mana ia berada?"

Baik gagang maupun laci terdiam untuk beberapa saat. Laci kemudian menjawab pertanyaanku.

"Itulah masalahnya, Alen. Kami sama sekali tak tahu di mana saudaramu sekarang."

◊▷◁◊

Makin absurd? Jelas. Hahahaha. Makasih udah mampir ya eniwei. See ya~

Tema hari kelima belas: Buatlah cerita yang ternyata sang tokoh utama dan seluruh keluarganya adalah alien dari galaksi lain.

Sang PengamatWhere stories live. Discover now