17) Penyerangan

4 2 0
                                    

"Makanlah ini."

Gis tersentak. Seingat dirinya, ia tak seharusnya berada di antara orang-orang yang berbicara bahasa asing—kendati anehnya ia pahami kata per kata. Mata mereka seperti bulan sabit. Sebagian besar monolid.

Dan sekarang, Gis juga mengenakan seragam sebagaimana yang lain.

"Ck. Tumben kau tak ingin permen karet. Dulu, kau yang membujukku untuk sering-sering mengunyahnya agar tetap waspada."

Gis tertegun. Butuh waktu beberapa menit hingga ia menyampaikan maksud. "Ya, aku simpan dulu."

Ia kembali terkejut. Tak menyangka ia melontarkan bahasa yang sama dengan mereka. Satu permen karet telah tersimpan di kantung seragamnya.

Gerakan Gis yang sederhana itu membuatnya menelan ludah. Staminanya prima. Pandangannya jelas. Otot kedua kakinya tak mengeluh sedikit pun dengan gerakan yang cukup tiba-tiba itu. Alih-alih kembali duduk, ia berjalan ke luar gedung.

Gis mengamati dengan cermat. Tempatnya berteduh menyerupai sebuah markas.

Dan apa perannya di sana? Yang jelas, ia merasa tubuhnya agak berkeringat. Apa ia baru saja melakukan latihan otot?

Gis hendak mengamati lebih jauh ketika mendengar seruan dari kejauhan.

"Tiga puluh menit lagi kita akan latihan menembak!" Seorang pria yang agaknya berpangkat tinggi berteriak pada mereka yang tengah menikmati ransum. Gis tidak lapar; jadi ia memutuskan untuk melangkah mendekati pria yang tengah menggunakan keker itu.

"Sudah sarapan?" tanyanya.

Gis masih berusaha menyembunyikan keterkejutannya. "Sudah. Kolonel?" Ia menelan ludah lagi seolah memang mengetahui pangkat pria itu.

"Tentu saja. Ah, sungguh pagi yang sempurna untuk memulai hari."

Gis menunduk dan memakan permen karetnya—mengurangi kecanggungan. Di kejauhan, serangkaian senjata disiapkan di atas meja. Ketika ia masih kecil, ia selalu mendamba untuk menggunakannya. Sekarang? Mendadak ia merasa lututnya seperti jeli.

Suara dengungan terdengar di cakrawala. Keker sang kolonel lantas mengarah pada sumber suara.

"Aneh. Seharusnya tidak ada pesawat kita yang melintas di ketinggian itu," ujarnya.

"I-itu seperti bukan pesawat komersil," tambah Gis.

Sang kolonel membulatkan mata. Ia kemudian menghadap ke arah gedung.

"SIAGA! Semuanya, tinggalkan gedung. SEKARANG! Awasi serangan dari udara!"

Derap langkah menyusul kemudian. Di bawah jemari tangan kanan, mata Gis kembali menatap langit guna mengamati sebuah objek dijatuhkan dari pesawat itu.

"KOLONEL! Sesuatu dijatuhkan dari pesawat itu!" Gis memberi peringatan, tapi suaranya kalah oleh riuh dari para prajurit lain. "Kolonel!"

Gis lantas mencari-cari sebuah benda berbentuk corong. Kedua matanya menjelajah, lalu menemukan sebuah megafon tergantung di dalam ruangan. Untung saja ia dapat melihatnya melalui jendela.

Suara gemuruh dari langit kian mendekat. Gis mempercepat langkahnya. Tepat ketika ia sampai di ambang pintu, orang yang sebelumnya menawarkan permen karet pada Gis berteriak padanya agar segera keluar dari ruangan.

Gis tak gentar. Hanya megafon yang dapat membantu mereka semua. Entah ia yang bicara, atau sang kolonel.

Sialnya, detik ketika Gis keluar seraya membawa megafon, tubuhnya terlempar ke dalam ruangan. Sebuah benturan tak terhindarkan. Ia tak memiliki waktu untuk mengaduh karena hal selanjutnya yang ia tahu, cahaya menyilaukan serta gelombang panas luar biasa menjadi penutup kisahnya.

◊▷◁◊

Oh, tidak. Itu tentu bukan kejadian yang kulihat. Aku menyimak Gis menceritakan itu semua dalam bentuk pesan suara ketika ia tengah seorang diri. Agaknya ia gemar melakukan itu akhir-akhir ini. Aku sendiri penasaran, apakah pengalaman tersebut mimpi Gis atau bagaimana? Sepertinya sih mimpi.

◊▷◁◊

Tema hari ketujuh belas: Buat cerita dengan tokoh utama hari ke-13 yang terbangun sebagai seorang prajurit pada Perang Dunia II.

Nah, kurasa kalian bisa menebak ini kejadian di mana, jadi tak perlu kujelaskan lagi, ya?

Sang PengamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang