11) Kecurigaan

9 4 0
                                    

Ini masih cerita ketika aku masih dalam proses pembuatan. Saat itu, aku baru mengenal gempa bumi. Rasanya seperti seluruh bumi bergetar. Aku sih pasrah saja bilapun usiaku tak panjang. Biasanya, benda sepertiku akan diabaikan dan benda-benda seperti perangkat gawai, uang, perhiasan, dan semacamnya menjadi prioritas untuk diselamatkan.

Nyatanya, aku ditakdirkan untuk bertahan lebih lama. Bangunan ini pun cukup kokoh sehingga tidak ambruk. Dan karena itulah, aku dapat menyaksikan kejadian pasca bencana tersebut.

"Apa rencanamu selanjutnya, Jo?" tanya Gis.

"Entahlah. Peristiwa minggu lalu mendatangkan tsunami yang cukup berdampak bagi keluargaku. Ibuku masih di rumah sakit. Istriku tak bisa berdagang. Anak-anakku sementara tak bisa sekolah. Si sulung masih menunggu sumbangan kaki palsu."

"Sumbangan dari?"

"Perusahaan Argoda. Katanya, ini semacam pertanggungjawaban sosial dari perusahaan."

Gis terkekeh seraya melepas kedua sarung tangan. "Oh. Kebetulan sekali, ya. Ayah dari direktur perusahaan Argoda tengah mencalonkan diri menjadi cawapres pemilu tahun depan. Mungkin memang pikiranku ngawur, tapi semoga saja agenda itu bukan aji mumpung."

Jo berhenti mengamplas kayu. "Kalau ngawur sih, aku juga bisa, Gis. Bagaimana kalau ternyata gempa dan tsunami itu sengaja dibuat? Kalaupun memang benar,, apalah dayaku untuk memprotesnya?"

Keduanya lantas tertawa. Gis agaknya cukup terkejut Jo dapat berpikir demikian. Barangkali, tertular darinya.

Ah, manusia. Aku belum sepenuhnya jadi saja sudah harus menyaksikan kecurigaan semacam ini.

◊▷◁◊

Tema hari kesebelas: pasca tsunami

Sang PengamatWhere stories live. Discover now